Hati Senang

2-2 Hikmah Penghembusan Nafas Dalam Firman Tentang Syits – Fushush-ul-Hikam Mutiara Hikmah 27 Nabi

FUSHŪSH-UL-ḤIKAM
MUTIARA HIKMAH 27 NABI
Penulis: Ibn ‘Arabī

(Diterjemahkan dari judul asli: The Bezels of Wisdom)

Alih Bahasa: Ahmad Sahidah dan Nurjannah Arianti
Penerbit: PENERBIT DIADIT MEDIA

Kembali pada persoalan pemberian ilahi, kami telah menyebutkan bahwa pemberian ini bisa berasal dari Esensi ataupun dari Nama-nama Ilahi. Adapun karunia atau pemberian dari jenis pertama, hanya berasal dari pembukaan rahasia-diri (tajallī) ilahi, yang hanya terjadi dalam sebuah bentuk yang sesuai dengan kecenderungan esensial penerima terhadap penyingkapan semacam ini. Jadi, penerima tidak melihat apa-apa selain bentuknya sendiri dalam cermin Realitas. Dia tidak melitas Realitas Sendiri, yang tidak mungkin, meskipun dia mengetahui bahwa dia hanya bisa melihat bentuk sejatinya di dalam-Nya. Sebagaimana dalam hal sebuah cermin dan orang yang melihatnya, dia melihat bentuk di dalamnya, tetapi dia tidak melihat cermin itu sendiri, meskipun ia mengetahui bahwa ia hanya melihat dirinya dan citra-citra lain melalui cermin. Allah membuat perbandingan ini sehingga penerima tajallī ilahi mengetahui bahwa Yang dia lihat itu bukanlah Dia. Analogi cermin adalah sesuatu yang paling dekat dan dipercaya bagi sebuah penyingkapan tajallī.

Cobalah, ketika anda melihat diri anda di sebuah cermin, lihatlah cermin itu sendiri! Anda akan mendapatkan bahwa anda tidak bisa melakukannya. Hal ini memang demikian, di mana banyak orang menyimpulkan citra yang dicerap terletak di antara cermin dan mata orang yang melihat. Ini merepresentasikan pengetahuan terbesar di mana mereka sangat ahli dalam masalah ini. Persoalan yang sebenarnya telah kami simpulkan, dan tentu saja telah kami bahas, terdapat dalam al-Futūḥāt-ul-Makkiyyah. (51) Jika anda mengalami hal ini secara ruhaniah, maka sebagai wujud ciptaan, anda telah “berpengalaman” sebanyak mungkin, sehingga anda tidak perlu mencari dan juga tidak melelahkan diri dengan banyak usaha untuk melakukan yang lebih tinggi dari ini, karena tidak ada yang lebih tinggi, tidak juga ada yang lain selain Diri-Nya Sendiri. Masalah ini seluruhnya cenderung pada kerumitan dan ambiguitas.

Beberapa orang di antara kita, ada yang mengakui ketidaktahuannya sebagai bagian dari pengetahuan mereka, dengan menyatakan – di mana Abū Bakar adalah salah satunya – bahwa “Ketika seseorang menyadari tidak bisa mengenal Allah, adalah mengenal.” (62) Namun, ada yang lain di antara kita yang mengetahui, tetapi tidak mengatakan hal semacam ini. Pengetahuan mereka menanamkan pada mereka kebungkaman daripada keyakinan ketidaktahuan. Ini adalah pengetahuan tertinggi tentang Allah, yang hanya dimiliki olehh Tanda Para Rasūl (Khātam-ur-Rasūl) dan Tanda Para Wali (Khātam-ul-Awliyā’). (73) Jadi, tidak satu pun dari para nabi dan rasūl mencapainya kecuali dari Lentera Tanda Rasūl (Mishkāt-ur-Rasūl-il-Khātim). Demikian juga para wali, tidak bisa mencapainya kecuali dari Lentera Tanda Wali (Misykāt-ul-Waliyy-il-Khātim), sehingga akibatnya, tidak satu pun di antara rasūl bisa mencapainya, ketika mereka melakukan hal demikian, kecuali dari Lentera Tanda Wali.

Hal ini karena tugas para rasūl dan para nabi – nabi yang aku maksudkan adalah pembawa Syariah – berakhir, sementara Kewalian (al-Walāyah) tidak pernah berhenti. Jadi, para rasūl, sebagaimana juga para wali, hanya mencapai, apa yang telah kami sebutkan, dari Lentera Tanda Wali. Bahkan, dalam hal ini, lebih banyak persoalannya pada wali-wali yang lebih rendah. Sebab, meskipun Tanda Rasūl mengikuti Hukum yang dibawa oleh Tanda Rasūl, ini sama sekali tidak menghilangkan maqamnya, atau berbeda dengan apa yang telah kami katakan, karena dalam satu hal, dia berada di bawah rasūl dan, dalam hal lain, lebih tinggi. Apa yang telah kami gagas di sini didukung oleh peristiwa-peristiwa di bawah takdir kita sendiri, sebagaimana ketika penilaian ‘Umar lebih baik dalam hal tawanan perang yang diperoleh di Badr, sebagaimana juga masalah penyerbukan pohon kurma. (84).

Tidak perlu bagi orang yang sempurna untuk menjadi superior dalam setiap hal dan pada setiap tingkatan, karena manusia dari Ruh hanya berhubungan dengan preseden dalam tingkatan-tingkatan pengetahuan Allah, yang merupakan tujuan mereka satu-satunya. Mengenai fenomena melampaui dari wujud-wujud ciptaan, mereka tidak menaruh perhatian dengan hal-hal semacam ini. Oleh karena itu, ingatlah baik-baik apa yang telah kami katakan.

Nabi menyamakan tugas nabi dengan sebuah tembok dari banyak bata, lengkap kecuali dengan satu bata. Dia sendiri adalah bata yang hilang itu. Namun, sementara Nabi melihat kurangnya satu bata, Tanda Wali memahami bahwa ada dua bata yang hilang. Bata-bata dari tembok itu adalah perak dan emas. Karena ia melihat dirinya sebagai penutup jurang pemisah, Tanda Wali itulah yang menjadi kedua bata itu dan yang melengkapi tembok itu. Alasan bagi penglihatannya terhadap kedua bata adalah bahwa secara batiniah dia mengikuti Hukum (Syar‘) Tanda Rasūl, yang direpresentasikan oleh bata perak. Ini adalah aspek lahiriahnya dan aturan-aturan yang dia anut di dalamnya. Namun, secara batiniah, ia menerima secara langsung dari Allah apa yang secara lahiriah diikuti, karena dia merasakan Perintah ilahi sebagaimana adanya, ia dalam esensinya, yang direpresentasikan oleh bata emas, ketika malaikat menyampaikannya pada Rasūl. Jika anda memahami uraian-uraian saya, anda memperoleh pengetahuan yang paling bermanfaat. (95)

Setiap nabi, dari Ādam hingga nabi terakhir, memperoleh apa yang dia punyai dari Tanda Nabi akan manifestasi fisik, meskipun ia datang terakhir dalam temporalnya. Sebab, dalam realitas esensialnya, ia selalu ada. Nabi mengatakan: “Aku adalah seorang Nabi ketika Ādam masih berada di antara air dan tanah liat.” (106) sementara nabi-nabi lain juga demikian, ketika mereka diutus dalam misi-misi mereka. Dengan cara yang sama, Tanda Wali adalah seorang wali, “Ketika Ādam masih berada di antara air dan tanah liat”, sementara wali lain menjadi wali hanya ketika mereka memperoleh semua kualitas ilahi yang pasti, karena Allah menyebuat Diri-Nya sebagai Pelindung Yang Terpuji (al-Waliyy-ul-Ḥamīd). (117).

Tanda Rasūl, sebagaimana juga pada seorang wali, mempunyai hubungan yang sama dengan Tanda Wali, sebagaimana para nabi dan rasūl lain juga mempunyai hubungan dengannya, karena dia adalah wali, rasūl, dan nabi.

Adapun Tanda Wali, ia adalah Wali, Pewaris, orang yang pengetahuannya berasal dari Sumber (al-Ashl), yang menyaksikan semua tingkatan wujud. Kewalian ini merupakan di antara kemuliaan Tanda Rasūl, Muḥammad, yang pertama dari Komunitas para rasul dan Tuan Manusia, sebagaimana dia pulalah yang membuka pintu gerbang terhadap perantaraan. Yang terakhir ini adalah sesuatu yang unik baginya dan tidak sama bagi semua rasul. Dalam keadaan inilah, ia bahkan mendahului Nama-nama Ilahi, karena Sang Pengasih tidak menengahi dengan Sang Pemarah, dalam hal yang semata-mata menguji, hingga perantara dibuat dengan-Nya. Adalah dalam hal perantara sehingga Muhammad mencapai ketinggian. Siapa pun yang memahami tingkatan-tingkatan dan maqam-maqam ini, tidak akan menemui kesulitan untuk memahami persoalan ini.

Ada dua macam karunia yang berasal dari Nama-nama Allah: karunia murni, seperti kesenangan di dunia yang tidak meninggalkan noda di Hari Kiamat, yang diberikan oleh Allah Yang Maha Pengasih, dan karunia campuran, seperti obat yang terasa pahit yang menyebabkan kelegaan, yang merupakan suatu pemberian Allah dalam Keilahian-Nya, meskipun dalam Keilahian-Nya tersebut Dia selalu menganugerahkan pemberian-Nya melalui medium dari salah satu pemegang Nama.

Catatan:

  1. 5). Al-Futūḥāt, I, hlm. 162 dan seterusnya.
  2. 6). Bdk. Abū Nasr as-Sarrāj, Kitāb-ul-Luma‘, diedit oleh R.A. Nicholson, 1914, hlm. 36 [teks ‘Arab].
  3. 7). Bdk. At-Tirmidzī, Kitābu Khatm-ul-Auliyā’, diedit oleh O. Yaḥyā, Beirut, 9165.
  4. 8). Bdk. A. Guillume, Life of Muḥammad, O.U.P., 1955, hlm. 301.
  5. 9). Bdk. Bukhārī, LXI: 18.
  6. 10). Ibid., LXXVIII: 28.
  7. 11). Al-Qur’ān, XLII: 28.
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.