Keharusan Memohon Hidayah
Setelah menegaskan bahwa hanya kepada Allah beribadah dan hanya kepada Allah meminta pertolongan, seorang hamba mesti menyadari keharusan dan rasa butuhnya untuk memohon petunjuk atau hidayah dengan mengucapkan: “Tunjukkan kami
Sesungguhnya rezeki dapat mendatangkan kemaslahatan dunia dan akhirat karena meliputi rezeki tubuh, rezeki hati, dan rezeki ruhnya, sedangkan Allah adalah sebaik-baik pemberi rezeki.
jalan yang lurus.” (al-Fātiḥah (1): 6). Firman Allah ini mengandung pengertian yang luas. Secara umum, ayat ini menegaskan permohonan seorang hamba kepada Allah agar Dia menunjukkan kepadanya perkara-perkara yang benar sehingga hatinya selalu tertuju kepadanya, menetapinya dengan teguh, dan menyeru orang lain untuk mengikuti jejaknya serta dapat bersabar menghadapi gangguan dari mereka yang diserunya. Apabila seorang hamba telah melampaui kelima tahapan ini maka menjadi sempurnalah hidayah yang diraihnya. Jika salah satu atau beberapa dari kelima tahapan itu dilewati atau tidak dijalankan maka berkurang pula kesempurnaan hidayah yang didapatkannya. Sebagai penegasan, setiap hamba harus (1) memohon kepada Allah agar ditunjukkan pada berbagai urusan yang benar (ḥaqq), lalu (2) memohon agar hatinya terpusat untuk menjalankan semua urusan itu, kemudian (3) menetapi jalan kebenaran itu dengan teguh dan istiqāmah, (4) menyeru orang lain untuk mengikuti jalan yang benar itu, dan (5) bersabar ketika menghadapi gangguan atau rintangan dalam upayanya menyeru orang lain.
Setiap hamba butuh hidayah atau petunjuk dari Allah baik dalam urusan lahir maupun batin. Ia menghajatkan arahan dan bimbingan Allah dalam semua perkara dan urusan yang harus dilakukan atau ditinggalkan. Ada banyak alasan dan sebab mengapa setiap hamba membutuhkan hidayah dari Allah dalam menjalani kehidupannya.
Pertama, seorang hamba membutuhkan hidayah dalam bentuk pertobatan, atau ampunan dari Allah. Sebab, sepanjang hidupnya, sangat mungkin ia melakukan berbagai perbuatan yang tidak disertai hidayah, baik dari sisi pengetahuan, pengamalan, maupun niat atau kehendak untuk melakukannya. Karena itu, ia butuh pertobatan dari semua perbuatan itu, dan tobatnya itu merupakan bagian dari hidayah.
Kedua, seorang hamba membutuhkan hidayah dalam bentuk rincian atau detail suatu perkara. Sebab, sering kali ia menghadapi suatu urusan yang hanya diketahui pokoknya sementara detail urusan itu sama sekali tidak diketahuinya. Maka, ia membutuhkan hidayah untuk mengetahui rinciannya.
Ketiga, seorang hamba membutuhkan hidayah dari Allah untuk melengkapi pengetahuannya tentang sesuatu. Kadang-kadang ia menghadapi beberapa urusan yang salah satu seginya telah ia ketahui dan ia pahami sedangkan segi lainnya belum ia ketahui. Karenanya, ia membutuhkan hidayah agar pengetahuannya tentang urusan itu lebih lengkap dan hidayahnya menjadi lebih sempurna.
Keempat, setiap hamba kerap menghadapi berbagai urusan yang menuntutnya untuk mendapatkan petunjuk berkaitan dengan apa yang akan terjadi di masa depan. Ia membutuhkan bekal berupa hidayah agar lebih siap menghadapi apa yang akan terjadi.
Kelima, setiap hamba menghadapi berbagai urusan sementara hatinya dalam keadaan kosong dari keyakinan terhadap urusan yang sedang dihadapinya. Maka, ia membutuhkan hidayah dari Allah mengenai urusan tersebut sehingga ia memiliki keteguhan dalam menghadapi setiap urusannya.
Keenam, sering kali seorang hamba menghadapi urusan yang diyakininya berbeda dari keadaan yang sebenarnya. Maka, ia memerlukan hidayah untuk memperbaiki keadaan hatinya dari keyakinan yang batil dan meneguhkan hatinya pada keyakinan yang benar.
Ketujuh, ada beberapa urusan berkaitan dengan hidayah yang telah dikuasainya, tetapi ia tidak punya kehendak dan kekuatan untuk merealisasikannya. Karenanya, ia perlu membangun kehendaknya dengan hidayah yang dimohonkan kepada Allah.
Kedelapan, ada beberapa urusan lain berkaitan dengan hidayah, sementara ia tidak punya kemampuan untuk merealisasikannya padahal ia benar-benar membutuhkannya. Ia membutuhkan hidayah agar diberi kekuatan dan kemampuan untuk merealisasikannya.
Kesembilan, seorang hamba kerap menghadapi sejumlah urusan yang berjalan sesuai dengan petunjuk yang diyakini, dikehendaki, diketahui, dan diamalkannya. Namun, ia merasa tidak cukup dengan semua itu, karena ia membutuhkan keteguhan dan keistiqamahan untuk menjalankan dan terus menjaganya. Dalam keadaan seperti ini, ia sangat membutuhkan hidayah. Karena itulah Allah yang Maha Penyayang mewajibkan kepada hamba-hambaNya pada siang dan malam hari untuk memohon hidayah kepada-Nya melalui shalat, doa, dan ibadah-ibadah lainnya. Shalat lima waktu menjadi media dan jalan paling penting bagi seorang hamba untuk memohon hidayah kepada Allah.
Ayat selanjutnya dalam Surah al-Fātiḥah menegaskan bahwa jalan untuk meraih hidayah ini berbeda dari jalan orang yang dimurkai dan orang yang sesat. Kedua kelompok itu adalah orang Yahudi dan orang Nasrani dan kelompok lain yang mengikuti jalan keduanya.
Berdasarkan kriteria hidayah ini berarti manusia terbagi ke dalam tiga golongan:
Pertama, golongan manusia yang dianugerahi nikmat, karena berhasil meraihnya dan mereka pun dapat menjaga serta mensyukuri nikmat tersebut. Mereka juga menyadari bahwa setiap orang akan mendapatkan nikmat sesuai dengan jerih payah yang dilakukan masing-masing dalam menjalankan ikhtiar lahiriah dan ketaatan kepada Allah.
Kedua, golongan manusia yang sesat, yaitu mereka yang tidak dianugerahi hidayah dan tidak diberi kemampuan serta jalan untuk meraihnya.
Ketiga, golongan manusia yang dimurkai, yaitu orang yang mengetahui kebenaran tetapi tidak mau bergerak dan berupaya untuk meraihnya, kemudian mengamalkannya sebagaimana yang dituntut dari mereka.
Kelompok orang yang sesat adalah orang yang menyimpang dari jalan hidayah. Mereka kebingungan karena tidak menemukan jalan untuk sampai kepadanya.
Kelompok orang yang dimurkai adalah orang yang kebingungan dan menyimpang dari hidayah, karena tidak mau mengamalkan kebenaran sesudah mengenal dan mengetahuinya.
Shalat merupakan salah satu bentuk penghambaan kepada Allah. Semua ucapan dan gerakan yang dilakukan dalam shalat menggambarkan kerendahan, kehinaan, dan ketundukan hamba di hadapan Tuhan. Seluruh anggota tubuh, hati, dan pikiran dipusatkan dan dihadapkan hanya kepada Allah.
Golongan pertama adalah golongan orang yang telah dianugerahi nikmat. Mereka menegakkan hidayah dan agama yang benar dari sisi pengetahuan, pengamalan, dan keyakinannya.
Sementara, golongan yang sesat adalah kebalikannya, yaitu mereka yang keluar dari jalan hidayah dan kebenaran baik dari sisi ilmu maupun amal.
Golongan yang dimurkai adalah mereka yang tidak mau memperhatikan dan menolehkan pandangan sedikit pun ke arah jalan hidayah. Mereka mengetahui dan mengenal jalan itu, tetapi tidak mau mendekati, mengikuti, dan mengamalkannya. Hanya Allah yang dapat memberikan taufik menuju kebenaran.
Makna Ᾱmīn dan Mengangkat Dua Tangan.
Dianjurkan bagi orang yang shalat mengucapkan āmīn di penghujung doa (akhir Surah al-Fātiḥah) disertai harapan besar bahwa Allah memperkenankan, meridai, dan mengabulkan permohonannya. Lafal itu meneguhkan segala harapan dan permohonannya sehingga ia dapat meraih, memastikan, dan mewujudkannya. Karena itu, kedengkian orang Yahudi sangat besar terhadap kaum muslim manakala mereka mendengar kaum muslim mengucapkan āmīn dengan suara yang keras dalam shalatnya.
Kemudian setiap hamba diperintahkan mengangkat kedua tangan saat hendak rukuk untuk menghormati perintah Allah. Gerakan kedua tangan itu merupakan hiasan dalam shalat yang sekaligus menegaskan penghambaan seorang hamba di hadapan Allah, sebagaimana gerakan yang dilakukan anggota tubuhnya yang lain. Selain itu, gerakan mengangkat kedua tangan itu juga mengikuti teladan atau sunnah Rasulullah. Mengangkat kedua tangan adalah pakaian dan keindahan shalat serta penghormatan kepada syair-syair Allah.
Kemudian ia diperintahkan mengucapkan takbir setiap kali melakukan perpindahan dari satu rukun shalat ke rukun lainnya. Perintah itu sama seperti perintah untuk mengucapkan talbiyah kepada orang yang menunaikan ibadah haji ketika mereka beralih dari satu syiar ke syiar lainnya. Maka, takbir adalah syiar dalam shalat sebagaimana talbiyah adalah syiar dalam ibadah haji. Dan, takbir merupakan ciri khas ibadah shalat agar setiap hamba menyadari bahwa inti dan rahasia shalat adalah menghormati Allah dan mengagungkan-Nya dengan menyembah hanya kepada-Nya.