Selanjutnya, seorang hamba mengucapkan: “rabb-il-‘ālamīn – Tuhan semesta alam.” (al-Fātiḥah [1]: 2) Dalam frasa itu terkandung makna penghambaan diri yang berarti pengakuan seorang hamba bahwa Allah adalah Tuhan, tuan, dan pemilik dirinya. Ia mengakui dan meyakini bahwa Allah adalah pencipta dirinya, yang memberinya rezeki, yang mengatur urusannya, dan yang memberinya kecukupan. Dan Dia juga adalah Tuhannya semata, sesembahannya, Pelindung dan tempat ia mengadu saat mendapat musibah. Maka, tiada rabb selain Dia dan tiada Tuhan selain Dia.
Lalu hamba yang shalat mengucapkan: “ar-raḥmān-ir-raḥīm – Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (al-Fātiḥah [1]: 3). Dalam kalimat itu terkandung makna penghambaan diri seorang hamba, khusus bagi Allah. Kalimat itu juga meneguhkan kesaksiannya bahwa rahmat Allah yang meliputi seluruh semesta, juga melimpahi dirinya.
Keluasan rahmat Allah mencakup segala sesuatu dan meliputi semua makhluk-Nya. Setiap yang ada di dalam wujud ini menerima bagian masing-masing dari rahmat Allah, terlebih lagi rahmat yang khusus bagi hamba-Nya, rahmat inilah yang dapat membuatnya mampu berdiri di hadapan Tuhannya, seakan-akan dikatakan kepadanya: “Berdirilah hai Fulan.” Dalam sebuah atsar disebutkan bahwa Jibril setiap malam diperintah membangunkan si fulan dan menidurkan si fulan lainnya.
Berkat rahmat Allah, seorang hamba dapat berdiri melayani-Nya, bermunajat kepada-Nya dengan membaca kalam-Nya, meminta rahmat kepada-Nya dengan permintaan yang mendesak dan berdoa kepada-Nya memohon hidayah, rahmat, dan kesempurnaan nikmat-Nya demi kepentingan dunia dan akhiratnya. Ini jelas termasuk rahmat Allah khusus buat hamba-hambaNya yang beriman dan tulus beribadah kepada-Nya. Jadi, rahmat Allah benar-benar meliputi segala sesuatu sebagaimana nikmat-Nya dan juga ilmu-Nya yang mencakup segala sesuatu.
رَبَّنَا وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَ عِلْمًا
Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu. (al-Mu’min [40]: 7)
Orang-orang yang tidak menyadari dan meyakini keberadaan rahmat Allah adalah orang yang terusir dan terhalang. Sebab, mereka tidak akan mendapatkan rahmat Allah yang khusus ini. Mereka benar-benar termasuk kelompok orang yang dijauhkan dari rahmat dan kasih-sayangNya.
Kemudian seorang hamba membaca ayat: “māliki yawm-id-dīn – Yang menguasai Hari Pembalasan” (al-Fātiḥah [1]: 4) Ayat ini mengandung makna penghambaan diri seorang hamba yang mengakui kehinaan dan kerendahan dirinya di hadapan Allah sehingga ia tunduk patuh kepada-Nya. Ia juga berharap diselamatkan dari kehinaan dan dianugerahi kemuliaan kelak di hari pembalasan itu. Sebab, pada hari itu Allah akan menegakkan hukum dan timbangan keadilan yang sebenarnya. Ayat itu juga menyiratkan makna bahwa seorang hamba harus mencegah dirinya dari melakukan kezaliman dan kedurhakaan; bahwa Hari Pembalasan pasti akan terjadi tanpa ada keraguan di dalamnya; dan bahwa semua keputusan hukum di antara semua makhluk-Nya pada hari itu ada di tangan Allah. Hari itu adalah hari di saat Allah mengadakan pembalasan kepada semua makhluk-Nya sesuai dengan amal mereka masing-masing, yang baik maupun yang buruk, semuanya akan mendapatkan balasan setimpal. Itu merupakan bagian dari pujian kepada-Nya sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
وَ قُضِيَ بَيْنَهُمْ بِالْحَقِّ، وَ قِيْلَ الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
Dan diberi putusan di antara hamba-hamba Allah dengan adil dan diucapkan: “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (az-Zumar [39]: 75).
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa semua makhluk pada hari itu memuji kepada-Nya, baik dari kalangan ahli surga maupun ahli neraka. Semua makhluk memuji Allah atas keadilan dan kemurahan-Nya.
Dalam Surah al-Baqarah ayat 20, Allah menegaskan bahwa: “Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam”. Ayat itu menjelaskan bahwa setiap pujian hanya milik Allah dan hanya layak untuk-Nya. Karenanya, ketika seorang hamba memuji Allah dalam shalatnya, Allah menjawabnya dengan mengatakan: “hamba-Ku telah memuji-Ku.”
Dalam ayat yang lain Allah menegaskan sifat-Nya sebagai “Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (al-Fātiḥah [1]: 3). Karenanya, ketika seorang hamba mengucapkan “ar-rahmān-ir-rahīm” dalam shalatnya, Allah menjawab: “Hamba-Ku telah menyanjung-Ku.” Sebab, ungkapan sanjungan (ats-tsanā’) mengandung arti pengulangan pujian dan penyebutan kembali sifat-sifat yang terpuji sehingga pujian termasuk dalam pengertian sanjungan kepada-Nya. Firman Allah yang menegaskan sifat-Nya sebagai: “Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” menunjukkan bahwa Allah memiliki sifat penyayang.
Setelah memuji dan menyanjung Tuhan dengan segala pujian, seorang hamba kemudian menyifati Tuhannya dan menegaskan kedudukan-Nya sebagai penguasa Hari Pembalasan. Dia adalah Raja yang
Kesempurnaan penghambaan diri dalam rukuk terwujud bila pelakunya merasa kecil dan tidak berarti di hadapan Allah. Perasaan kecil, rendah, dan hina itu akan menghapuskan dari dalam hatinya semua perasaan besar, angkuh, dan sombong.
sesungguhnya, Yang Maha Menguasai alam dunia dan alam akhirat. Pengakuan dan penegasan itu mengandung makna yang menonjolkan keadilan, kebesaran, keagungan, dan keesaan Allah serta kebenaran para rasul. Dengan demikian, sanjungan ini termasuk dalam kategori pengagungan (at-tamjīd). Karena itulah Allah memberikan jawaban: “Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku.” Sebab, dalam pengagungan terkandung makna sanjungan terhadap sifa-sifat kebesaran, keagungan, keadilan, dan kebaikan Allah.
Setelah seorang hamba dalam shalatnya mengucapkan: “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.” (al-Fātiḥah [1]: 5). ia dianjurkan untuk berhenti sejenak menunggu jawaban Allah, yang mengatakan: “Ini antara Aku dan hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang dimintanya.”
Renungkanlah makna penghambaan diri yang terkandung dalam ayat di atas. Firman Allah dalam Surah al-Fātiḥah itu menegaskan hak-hak yang sebenarnya hak seorang hamba dan hak Allah. Perhatikanlah perbedaan kalimat yang merujuk kepada Allah dan kalimat yang mengacu kepada hamba-Nya. Pahamilah rahasia keberadaan salah satu di antara keduanya untuk Allah sedangkan yang lainnya untuk hamba-Nya, dan bedakanlah antara makna tauhid yang terkandung dalam kalimat. “Hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.” Selamilah rahasia kedua kalimat ini yang terletak di pertengahan Surah al-Fātiḥah, persis antara dua macam sanjungan dan dua bentuk doa. Renungkan pula mengapa frasa iyyāka na‘budu didahulukan sebelum frasa iyyaka nasta‘īn, dan mengapa pula ma‘mūl (iyyāka) didahulukan atas ‘āmilnya (yaitu na‘budu dan nasta‘īn) meskipun pada akhirnya ‘āmil disebutkan di bagian ujung secara ringkas. Perhatikan pula pengulangan dhamīr (iyyāka) dalam satu ayat yang sama, dan selamilah maknanya.
Dalam ayat kelima surah al-Fātiḥah, frasa iyyāka na‘budu didahulukan dari frasa iyyāka nasta‘īn. Ini mengandung makna bahwa ibadah, yaitu pengamalan dan pengalaman seorang hamba dalam melakukan ketaatan dan pengabdian kepada Allah didahulukan daripada haknya untuk memohon pertolongan kepada Allah. Ibadah hanya ditujukan kepada Allah, sementara meminta pertolongan hanya dilakukan hamba-Nya. Allah adalah zat yang disembah dan Allah pulalah satu-satunya yang patut dimintai pertolongan agar hamba dapat beribadah kepada-Nya. Frasa iyyāka na‘budu mengandung arti bahwa hanya Engkau satu-satunya tujuan dan yang kami maksudkan dalam setiap ‘ibādah (penyembahan/pengabdian) yang kami lakukan. Frasa ini menunjukkan bahwa amal saleh yang tulus dan ilmu yang bermanfaat dapat menuntun seorang hamba untuk mengenali dan mencintai Tuhannya, serta bersikap jujur dan tulus kepada-Nya. Ibadah yang tersimpul dari frasa na‘budu merupakan kewajiban yang harus dilakukan manusia kepada Allah. Frasa ini menegaskan bahwa penyembahan dan ketaatan merupakan hak Allah yang harus ditunaikan hamba-hambaNya. Kemudian, frasa selanjutnya, yaitu nasta‘īn menjelaskan hak hamba untuk memohon dan mendapatkan pertolongan dari Allah. Frasa ini mengandung arti bahwa setiap hamba membutuhkan pertolongan dari Tuhannya agar bisa menjalankan semua urusan yang berkaitan dengan kepentingannya. Inilah yang menjadi hak hamba sebagaimana ditegaskan dalam hadis qudsi yang menyebutkan jawaban Allah atas permohonan hamba.
Setiap ibadah yang dilakukan bukan kepada Allah dan bukan atas pertolongan Allah pastilah batil dan sia-sia. Demikian juga, setiap permintaan tolong yang tidak ditujukan hanya kepada Allah pasti akan berakhir dengan kekecewaan dan kehinaan.
Renungkanlah pengetahuan tentang berbagai hal yang bermanfaat bagi para hamba serta berbagai hal yang dapat menghindarkan mereka dari bencana. Cermati pula berbagai hal yang bertentangan dengan makna penghambaan diri dan segala sesuatu yang akan menyimpangkan seorang hamba dari kedudukannya sebagai hamba yang rendah dan hina di hadapan Allah. Kedua frasa itu saling berkaitan dan saling menegaskan. Seorang hamba harus beribadah hanya kepada Allah, dan hanya kepada Allah pula ia harus memohon pertolongan agar dapat menjalankan ketaatan.
Renungkanlah, sesungguhnya seluruh ayat al-Qur’an dari awal sampai akhir bertutur seputar pengertian dua frasa ini, yaitu iyyāka na‘budu wa iyyāka nasta‘īn. Tidak hanya kandungan ayat-ayat al-Qur’an, tetapi juga semua penciptaan, perintah, pahala, dan siksa, di dunia dan di akhirat, juga mengacu pada dua frasa tersebut, yakni kemestian beribadah hanya kepada Allah dan kemestian memohon pertolongan hanya kepada Allah. Kedua frasa ini mengandung tujuan paling agung dan jalan paling sempurna. Perhatikan pula bagaimana makna-makna itu dihadirkan dengan menggunakan dhamīr atau kata ganti mukhathab yang hadir bukan kata ganti orang ketiga gaib. Frasa itu mengandung arti seakan-akan kita sedang berhadapan langsung dengan-Nya (iyyāka – hanya kepada-Mu). Sebenarnya tema ini membutuhkan penjelasan lebih panjang dan berlembar-lembar kitab. Seandainya tidak akan membuat kita menyimpang dari pembahasan yang sedang kami jelaskan, tentu kami akan menerangkannya. Karena itu, barang siapa yang ingin mengetahui penjelasan mengenai tema ini lebih dalam, sila lihat kitab Marāḥil al-sā’irīn bayna manāzil iyyāka na‘budu wa iyyāka nasta‘īn, dan juga kitab al-Risālah al-Mishriyyah.