Syaikh-ul-Islam Ibn Taimiyah – semoga Allah menyucikan ruhnya dan menerangi tempat peristirahatannya – pada suatu hari berpesan kepadaku: “Apabila anjing penjaga ternak menggonggongimu, jangan berupaya menghardik dan menjauhkan anjing itu agar tidak mengganggumu. Namun, mintalah tolong kepada penggembala pemilik anjing itu agar menghindarkan dan menjauhkannya darimu.”
Apabila seorang manusia meminta perlindungan kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk, niscaya Allah akan menjauhkan setan darinya.
Dengan demikian, hati seorang hamba akan terpusat dan sepenuhnya dihadirkan untuk memahami makna ayat-ayat al-Qur’an yang dibacanya. Hatinya akan dibawa berkeliling di dalam tamannya yang indah, menyaksikan semua keajaibannya yang memukau akalnya. Akhirnya, ia dapat memetik dan mengeluarkan sebagian perbendaharaan dan simpanan yang keindahannya tidak pernah terlihat mata, belum pernah didengar telinga, dan belum
Untuk memerangi dan melawan godaan setan, seorang hamba dianjurkan memohon perlindungan kepada Allah. Seakan-akan dikatakan kepadanya: “Tiada kemampuan bagimu untuk melawan musuh yang satu ini. Maka, mintalah perlindungan kepada-Ku, niscaya Aku melindungimu darinya, mendekatlah, dan masuklah kamu dalam lindungan-Ku
pernah terbetik dalam hati seorang manusia pun. Sesudah itu, tidak ada lagi hambatan yang menghalang-halangi dirinya dari pencapaian itu selain nafsu dan setan. Sebab, nafsu akan mudah dipengaruhi serta dibujuk setan dan selalu tunduk patuh kepadanya. Namun, jika setan dapat dijauhkan dari diri (dan nafsu) dengan memohon perlindungan kepada Penguasa Semesta, niscaya hamba akan meraih kedudukan yang mulia, dan semakin dekat ia pada kebahagiaan dan keselamatan.
Ketika seorang hamba mulai membaca al-Qur’an maka keadaannya sama dengan orang yang berdiri di hadapan Allah seraya berbicara dan bermunajat (berbisik) kepada-Nya. Karenanya, ia harus sangat berhati-hati agar tidak melakukan sesuatu yang dapat menyebabkannya mendapat murka dan amarah Allah. Jangan sampai ia bermunajat dan berbicara kepada-Nya, sementara hatinya berpaling dari-Nya dan perhatiannya tertuju kepada selain-Nya. Sikap seperti itu hanya akan menyebabkannya mendapat murka dan amarah Allah. Hamba yang bersikap seperti itu bagaikan orang yang diundang seorang raja, kemudian ia dibawa menghadap kepadanya dan sang raja mengajaknya berbicara. Namun, alih-alih memusatkan perhatian kepada sang raja, ia justru memalingkan kepalanya, menoleh ke kiri dan ke kanan, dan sama sekali tidak berusaha memahami pembicaraan sang raja. Dalam keadaan seperti itu, dapat dibayangkan, betapa besar amarah sang raja kepadanya.
Maka, tentu lebih besar lagi murka Allah, raja diraja, penguasa semesta jika seorang hamba menghadap kepada-Nya, tetapi kemudian hatinya berpaling dari-Nya dan tidak memusatkan perhatiannya kepada-Nya.
Setelah bertakbir, memuji Allah, dan mengawali munajat kepada-Nya dengan menghaturkan sanjungan, lalu memohon perlindungan-Nya dari godaan setan, seorang hamba yang mendirikan shalat diharuskan membaca Surah al-Fātiḥah. Ketika membaca surah itu, ia dianjurkan berhenti sejenak setiap kali usai membaca ayat demi ayat surah itu untuk menunggu jawaban Tuhannya, seakan-akan ia mendengarkan-Nya ketika Tuhan menjawab: “Hamba-Ku memuji-Ku,” setelah ia mengucapkan firman-Nya:
الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. (al-Fātiḥah [1]: 2)
Setelah ia mengucapkan:
الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (al-Fātiḥah [1]: 3)
Hendaklah ia berhenti sebentar menunggu jawaban dari-Nya yang mengatakan: “Hamba-Ku telah memanjatkan puji dan sanjungannya kepada-Ku.”
Setelah ia mengucapkan:
مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ
Yang menguasai di hari Pembalasan. (al-Fātiḥah [1]: 4)
Hendaklah ia menunggu jawaban dari-Nya yang mengatakan: “Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku.”
Setelah mengucapkan:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَ إِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan. (al-Fātiḥah [1]: 5).
Hendaklah ia menunggu jawaban dari Allah yang mengatakan: “Ini antara Aku dan Hamba-Ku.”
Setelah membacakan firman-Nya:
اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus. (al-Fātiḥah [1]: 6).
Hendaklah ia menunggu jawaban-Nya yang mengatakan: “Untuk hamba-Ku apa yang ia minta.”
Barang siapa dapat merasakan manisnya shalat, ia pasti meyakini bahwa tidak ada sesuatu pun yang dapat menggantikan kedudukan takbir dan bacaan Surah al-Fātiḥah. Sama halnya, ia juga akan meyakini bahwa tidak ada satu perbuatan pun yang dapat menggantikan kedudukan qiyam, ruku‘, dan sujud. Setiap perbuatan yang dikerjakan dalam shalat memiliki rahasia, pengaruh, dan maknanya masing-masing yang semakin meneguhkan penghambaan dan kedudukan seorang hamba di hadapan Allah. Semua bagian shalat itu tidak akan bisa diraih melalui perbuatan-perbuatan lain. Begitu juga, setiap ayat dalam Surah al-Fātiḥah mengandung makna tersendiri yang meneguhkan kehambaan seseorang, memiliki citarasa tersendiri yang tidak dapat dijumpai pada bacaan-bacaan lainnya.
Ketika seorang hamba mengucapkan firman-Nya:
الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. (al-Fātiḥah [1]: 2)
Ia akan merasakan di balik kalimat ini makna yang mengukuhkan semua asma dan sifat Rabb Yang Maha Mulia. Ia akan menyucikan dan memuji Allah. Ia akan menyucikan Allah dari segala keburukan, baik dalam perbuatan, sifat, maupun asma-Nya. Ia menyadari, mengakui, dan meyakini sepenuhnya bahwa hanya Allah Yang Maha Terpuji dalam semua perbuatan, sifat dan asma-Nya. Dia Maha Suci dari semua cacat dan kekurangan dalam semua perbuatan, sifat dan asma-Nya
Semua yang dilakukan Allah mengandung hikmah, rahmat, kemaslahatan, dan keadilan. Tidak ada sesuatu pun yang menyimpang atau yang keliru. Semua sifat-Nya merupakan sifat yang sempurna dan predikat yang agung, begitu pula asma-asmaNya, semuanya baik dan sempurna.
Barang siapa dapat merasakan manisnya shalat, ia pasti meyakini bahwa tidak ada sesuatu pun yang dapat menggantikan kedudukan takbir dan bacaan Surah al-Fātiḥah.
Pujian kepada Allah telah memenuhi dunia dan akhirat, langit dan bumi, serta semua yang ada antara keduanya dan juga meliputi seluruh makhluk. Seluruh semesta berbicara memuji-Nya; semua makhluk dan segala sesuatu berlangsung di dunia ini untuk merealisasikan pujian kepada-Nya. Semuanya ada untuk memuji kepada-Nya. Bahkan, keberadaan dan ketiadaan segala sesuatu sesungguhnya bertujuan untuk merealisasikan pujian kepada-Nya. Pujian kepada-Nya merupakan sebab keberadaan segala sesuatu di alam wujud ini, dan pujian kepada-Nya merupakan tujuan semua yang ada, dan semua yang ada menjadi saksi bagi keberadaan pujian kepada-Nya. Allah mengutus para nabi dan rasul untuk merealisasikan pujian kepada-Nya. Dia juga menurunkan kitab-kitabNya untuk merealisasikan pujian kepada-Nya. Surga diramaikan para penghuninya berkat pujian kepada-Nya, dan neraka diramaikan para penghuninya karena pujian kepada-Nya, sebagaimana keduanya hanya ada berkat pujian kepada-Nya.
Dia diimani dan ditaati semata-mata untuk merealisasikan pujian kepada-Nya, dan penyebab orang durhaka kepada-Nya adalah karena melalaikan pujian kepada-Nya. Tidak ada sehelai daun pun yang jatuh melainkan karena memuji kepada-Nya, tiada satu atom pun yang bergerak di alam semesta ini melainkan karena memuji kepada-Nya. Dia adalah Tuhan yang tetap dan selamanya terpuji meskipun tidak ada seorang hamba pun yang memuji-Nya.
Sebagaimana Dia adalah Tuhan Yang Tunggal lagi Esa meskipun tiada seorang hamba pun yang mengesakan-Nya. Dia adalah Tuhan yang sebenar-benarnya meski tiada seorang pun menuhankan-Nya. Maha Suci Allah yang memuji diri-Nya melalui lisan orang yang memuji, sebagaimana yang disebutkan Nabi s.a.w. dalam sabdanya:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ
Sesungguhnya Allah telah berfirman melalui lisan Nabi-Nya: “Allah mendengar siapa pun yang memuji-Nya.”
Pada hakikatnya, hanya Dia sendiri yang memuji diri-Nya, melalui lisan hamba-Nya, karena sesungguhnya hanya Dia yang menggerakkan hamba-Nya untuk mengucapkan pujian kepada-Nya melalui lisan dan hatinya. Maka, segala puji hanya milik-Nya, semua kerajaan hanya milik-Nya, di tangan-Nya segala kekuasaan, di bawah kuasa-Nya semua kebaikan dan hanya kepada-Nya dikembalikan semua urusan, baik yang terang-terangan maupun yang samar dan tersembunyi.
Pengetahuan tentang ini hanyalah bagian kecil dari pengetahuan tentang penghambaan diri melalui pujian, tak ubahnya setetes air yang diambil dari samudra penghambaan diri kepada-Nya yang sangat luas.
Hal lain yang termasuk dalam makna penghambaan diri melalui pujian adalah kemestian seorang hamba untuk mengetahui bahwa pujiannya kepada Allah merupakan nikmat dari Allah yang harus ia syukuri. Apabila ia bersyukur kepada Allah atas nikmat itu, berarti ia berhak mendapatkan pujian lain karena pujian yang telah dipanjatkannya dan demikian seterusnya.
Seandainya seorang hamba menghabiskan semua napasnya untuk memuji Tuhannya atas satu nikmat di antara limpahan nikmat-Nya, tentu semua itu tidak akan cukup menjadi pujian bagi-Nya. Ia harus melakukan yang lebih banyak dan lebih besar lagi. Ia harus terus memuji-Nya berkali-kali lipat lebih banyak dan lebih sering dibanding yang telah dilakukannya, dan melebihi semua upaya yang telah ia kerahkan untuk memuji-Nya. Tiada seorang pun yang dapat mencapai kata cukup dalam memuji Allah dan menghaturkan sanjungan kepada-Nya. Tak seorang hamba pun mencapai kata tuntas dalam mengagungkan Tuhan-Nya. Seandainya seorang hamba memuji-Nya dengan semua pujian, ia tetap masih berutang kepada Allah dengan semua nikmat yang telah Dia anugerahkan kepadanya, segala nikmat yang harus ia syukuri setiap saat. Apabila seorang hamba memuji kepada Allah karena dipalingkan-Nya nikmat dari dirinya, ia tetap harus memuji kepada Allah karena telah memberi ilham kepadanya untuk tetap memuji-Nya.
Al-Auzai mengatakan bahwa ia pernah mendengar seseorang mengucapkan pujian berikut: “Segala puji hanya bagi-Mu baik karena nikmat yang telah didapat maupun karena bencana yang terletakkan.”
Di antara sikap penghambaan diri melalui pujian ialah pengakuan seorang hamba akan ketidakmampuannya untuk memuji, dan bahwa ia dapat memuji semata-mata berkat pertolongan Allah. Sebab, hanya Allah yang memberikan ilham kepadanya untuk memuji. Dia Maha Terpuji dan satu-satunya yang pantas dipuji, karena Dialah yang menggerakkan lisan dan hatinya untuk memuji kepada-Nya. Seandainya tidak ada ilham dari Allah, niscaya tiada seorang pun yang mendapat petunjuk untuk memuji-Nya.
Termasuk juga sikap penghambaan diri melalui pujian adalah memuji Allah atas keberadaan seorang hamba, baik lahir maupun batinnya, mencakup segala sesuatu yang dialaminya, baik yang disukainya maupun yang tidak disukainya. Lebih jauh, memuji keberadaan seluruh manusia baik yang bertakwa maupun yang durhaka, baik yang tinggi maupun yang rendah, Maka, pada hakikatnya Allah adalah Zat Yang Maha Terpuji meskipun seorang hamba tidak mengetahui hikmahnya dan tidak mampu menghaturkan pujian yang seharusnya kepada Allah. Pujian kepada Allah merupakan ilham dari Allah yang diberikan kepada hamba-hambaNya. Karena itu, setiap hamba menghaturkan pujian dalam tingkatan dan kadar yang berbeda-beda, ada yang sedikit dan ada pula yang banyak. Setiap orang melakukannya sesuai dengan liputan pengetahuannya masing-masing tentang Tuhannya.
Dalam hadis tentang syafaat disebutkan bahwa Nabi s.a.w. bersabda:
فَأَقَعُ سَاجِدًا فَيُلْهِمُنِيَ اللهُ مَحَامِدَ أَحْمَدُهُ بِهَا لَمْ تَخْطُرْ عَلَى بَالِيْ قَطُّ.
Lalu aku sungkur bersujud, dan Allah mengilhamiku pujian-pujian untuk kupanjatkan kepada-Nya
Renungkanlah, sesungguhnya seluruh ayat al-Qur’an dari awal sampai akhir bertutur seputar pengertian dua frasa ini, yaitu iyyāka na‘budu wa iyyāka nasta‘īnu. Tidak hanya kandungan ayat-ayat al-Qur’an, tetapi juga semua penciptaan, perintah, pahala, dan siksa, di dunia dan di akhirat, juga mengacu pada dua frasa tersebut, yakni kemestian beribadah hanya kepada Allah dan kemestian memohon pertolongan hanya kepada Allah.
yang sebelumnya sama sekali tidak pernah terbetik dalam hatiku.