Fikih Empat Madzhab
(Maliki, Hanafi, Hanbali, Syafi‘i)
(Judul: Ijmā‘-ul-A’immat-il-Arba‘ati waikhtilāfihim).
Oleh: Al-Wazir Yahya bin Muhammad bin Hubairah
Penerjemah: Ali Mh.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM
339. Mereka (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī) sepakat bahwa wajib mengqadha’ shalat-shalat yang tertinggal. (517[efn_note]517). Lih. al-Mughnī (1/783), Raḥmat-ul-Ummah (50), dan al-Hidāyah (1/78).[/efn_note]).
340. Mereka berbeda pendapat tentang mengqadha’ shalat-shalat yang tertinggal pada waktu-waktu terlarang.
Abū Ḥanīfah berkata: “Hukumnya tidak boleh.”
Mālik, asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad berkata: “Hukumnya boleh pada waktu-waktu tersebut saat matahari terbit, saat matahari tergelincir dan saat terbenam.” (518[efn_note]518). Lih. al-Majmū‘ (4/78), at-Taḥqīq (3/255), al-Mughnī (1/784), Raḥmat-ul-Ummah (50), dan al-Isyrāf (1/350).[/efn_note]).
341. Mereka berbeda pendapat tentang orang yang shalat Shubuḥ saat matahari terbit (matahari terbit saat dia sedang shalat Shubuḥ).
Abū Ḥanīfah berkata: “Shalatnya batal.”
Mālik, asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad berkata: “Shalatnya sah.” (519[efn_note]519). Lih. at-Taḥqīq (3/273), al-Majmū‘ (4/76), al-Mughnī (1/784), Raḥmat-ul-Ummah (50).[/efn_note]).
342. Mereka sepakat bahwa apabila matahari terbenam saat seseorang sedang menunaikan shalat ‘Ashar maka shalatnya sah. (520[efn_note]520). Lih. Raḥmat-ul-Ummah (50).[/efn_note]).