BAGIAN KEDUA
Di tengah-tengah jalan kafilah yang berhadapan dengan Laut Merah – antara Yaman dan Palestina – membentang bukit-bukit barisan sejauh kira-kira delapanpuluh kilometer dari pantai. Bukit-bukit ini mengelilingi sebuah lembah yang tidak begitu luas, yang hampir-hampir terkepung sama sekali oleh bukit-bukit itu kalau tidak dibuka oleh tiga buah jalan: pertama jalan menuju ke Yaman, yang kedua jalan dekat Laut Merah di pelabuhan Jedah, yang ketiga jalan yang menuju ke Palestina.
Dalam lembah yang terkepung oleh bukit-bukit itulah terletak Makkah. Untuk mengetahui sejarah dibangunnya kota ini sungguh sukar sekali. Mungkin sekali ia bertolak ke masa ribuan tahun yang lalu. Yang pasti, lembah itu digunakan sebagai tempat perhentian kafilah sambil beristirahat, karena di tempat itu terdapat sumber mata air. Dengan demikian rombongan kafilah itu membentangkan kemah-kemah mereka, baik yang datang dari jurusan Yaman menuju Palestina atau yang datang dari Palestina menuju Yaman. Mungkin sekali Ismā‘īl anak Ibrāhīm itu orang pertama yang menjadikannya sebagai tempat tinggal, yang sebelum itu hanya dijadikan tempat kafilah lalu saja dan tempat perdagangan secara tukar-menukar antara yang datang dari arah selatan jazīrah dengan yang bertolak dari arah utara.
Kalau Ismā‘īl adalah orang pertama yang menjadikan Makkah sebagai tempat tinggal, maka sejarah tempat ini sebelum itu gelap sekali. Mungkin dapat juga dikatakan, bahwa daerah ini dipakai tempat ibadat juga sebelum Ismā‘īl datang dan menetap di tempat itu. Kisah kedatangannya ke tempat itupun memaksa kita membawa kisah Ibrāhīm a.s. secara ringkas.
Ibrāhīm dilahirkan di ‘Irāq (Chaldea) dari ayah seorang tukang kayu pembuat patung. Patung-patung itu kemudian dijual kepada masyarakatnya sendiri, lalu disembah. Sesudah ia remaja betapa ia melihat patung-patung yang dibuat oleh ayahnya itu kemudian disembah oleh masyarakat dan betapa pula mereka memberikan rasa hormat dan kudus kepada sekeping kayu yang pernah dikerjakan ayahnya itu. Rasa syak mulai timbul dalam hatinya. Kepada ayahnya ia pernah bertanya, bagaimana hasil kerajinan tangannya itu sampai disembah orang?
Kemudian Ibrāhīm menceritakan hal itu kepada orang lain. Ayahnyapun sangat memperhatikan tingkah-laku anaknya itu; karena ia kuatir hal ini akan menghancurkan perdagangannya. Ibrāhīm sendiri orang yang percaya kepada akal pikirannya. Ia ingin membuktikan kebenaran pendapatnya itu dengan alasan-alasan yang dapat diterima. Ia mengambil kesempatan ketika orang sedang lengah. Ia pergi menghampiri sang dewa, dan berhala itu dihancurkan, kecuali berhala yang paling besar. Setelah diketahui orang, mereka berkata kepadanya:
“Engkaukah yang melakukan itu terhadap dewa-dewa kami, hai Ibrāhīm?” Dia menjawab: “Tidak. Itu dilakukan oleh yang paling besar di antara mereka. Tanyakanlah kepada mereka, kalau memang mereka bisa bicara.” (Qur’ān [21]: 62-63)
Ibrāhīm melakukan itu sesudah ia memikirkan betapa sesatnya mereka menyembah berhala, sebaliknya siapa yang seharusnya mereka sembah.
“Bila malam sudah gelap, dilihatnya sebuah bintang. Ia berkata: “Inilah Tuhanku.” Tetapi bilamana bintang itu kemudian terbenam, iapun berkata: “Aku tidak menyukai segala yang terbenam.” Dan setelah dilihatnya bulan terbit, iapun berkata: “Inilah Tuhanku.” Tetapi bilamana bulan itu kemudian terbenam, iapun berkata: “Kalau Tuhan tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku akan jadi sesat.” Dan setelah dilihatnya matahari terbit, iapun berkata: “Ini Tuhanku. Ini yang lebih besar.” Tetapi bilamana matahari itu juga kemudian terbenam, iapun berkata: “Oh kaumku. Aku lepas tangan terhadap apa yang kamu persekutukan itu. Aku mengarahkan wajahku hanya kepada yang telah menciptakan semesta langit dan bumi ini. Aku tidak termasuk mereka yang mempersekutukan Tuhan”.” (Qur’ān 6: 76-79)
Ibrāhīm tidak berhasil mengajak masyarakatnya itu. Malah sebagai balasan ia dicampakkan ke dalam api. Tetapi Tuhan masih menyelamatkannya. Ia lari ke Palestina bersama isterinya Sārah. Dari Palestina mereka meneruskan perjalanan ke Mesir. Pada waktu itu Mesir di bawah kekuasaan raja-raja Amalekit (Hyksos).
Sārah adalah seorang wanita cantik. Pada waktu itu raja-raja Hyksos biasa mengambil wanita-wanita bersuami yang cantik-cantik. Ibrāhīm memperlihatkan, seolah Sārah adalah saudaranya. Ia takut dibunuh dan Sārah akan diperistrikan raja. Dan raja memang bermaksud akan memperisterikannya. Tetapi dalam tidurnya ia bermimpi bahwa Sārah bersuami. Kemudian dikembalikan kepada Ibrāhīm sambil dimarahi. Ia diberi beberapa hadiah di antaranya seorang gadis belia bernama Hājar- Oleh karena Sārah sesudah bertahun-tahun dengan Ibrāhīm belum juga beroleh keturunan, maka oleh Sārah disuruhnya ia bergaul dengan Hājar, yang tidak lama kemudian telah beroleh anak, yaitu Ismā‘īl. Sesudah Ismā‘īl besar kemudian Sārahpun beroleh keturunan, yaitu Isḥāq.