Setelah selesai membahas hal-hal yang wājib bagi Allah Yang Maha Agung dan Mulia, yaitu 20 sifat wājib bagi Allah, Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī meneruskan pembahasan tentang hal-hal yang mustaḥīl dan jā’iz bagi Allah s.w.t.
Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:
وَ يَسْتَحِيْلُ ضِدُّ ذِي الصِّفَاتِ | فِيْ حَقِّهِ كَالْكُوْنِ فِي الْجِهَاتِ. |
“Dan mustaḥīl pada hak Allah s.w.t. lawan dari sifat-sifat ini seperti keberadaan-Nya di berbagai arah.”
Secara akal, semua kebalikan dari 20 sifat wajib itu mustaḥīl bagi Allah, misalnya Allah bertempat di salah satu dari enam arah.
Seorang mukallaf wajib mengetahui sifat-sifat yang secara akal mustaḥīl bagi Allah s.w.t., yakni kebalikan dari 20 sifat wajib. Allah mustahil bersifat ‘adam (tidak ada) kebalikan dari sifat wujūd (ada), mustaḥīl bersifat ḥudūts (baru) kebalikan dari sifat qidam (dahulu), mustaḥīl bersifat fanā’ (rusak) kebalikan dari sifat baqā’ (kekal), mustaḥīl bersifat mumātsalatu lil-ḥawādits (sama dengan makahluk) kebalikan dari sifat mukhālafatu lil-ḥawādits (berbeda dengan semua makhluk).
Mumātsalatu lil-ḥawādits (sama dengan makhluk) memiliki 10 bentuk: (681).
سُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَ أَصِيْلًا.
“Maha Suci Allah, di waktu pagi dan petang.”
الْكَبِيْرُ الْمُتَعَالُ.
“Yang Maha Besar lagi Maha Tinggi.” (QS. ar-Ra‘d [13]: 9).
Sepuluh hal tersebut adalah kebalikan dari sifat mukhālafatu lil-ḥawādits (berbeda dengan semua makhluk).
Mustaḥīl jika Allah tidak berdiri sendiri atau iḥtiyāju li-ghairihī (butuh kepada yang lain), seperti jika Allah adalah sifat yang bertempat pada dzāt atau butuh kepada yang menciptakan, hal itu mustaḥīl karena bertentangan dengan sifat qiyāmuhu bi nafsihī (berdiri sendiri).
Mustaḥīl jika Allah tidak esa. Maksudnya, Dzāt Allah tersusun, ada makhluk yang dzātnya sama dengan Allah, sifat Allah berbilangan, ada makhluk yang sifatnya sama dengan Allah, atau ada makhluk yang mampu memberi efek pada yang lain. Inilah lima hal yang disebut al-kumum-ul-khamsah, kebalikan dari sifat waḥdāniyyah (esa).
Tidak ada sesuatu atau siapapun yang bisa memberi efek pada yang lain. Api, makanan, dan minuman tidak bisa memberi efek terbakar, kenyang, segar, baik dengan watak atau kekuatannya. Allah-lah yang membakar, menjadikan kenyang, dan menjadikan segar bersamaan dengan adanya api, makanan, dan air, berdasarkan hukum adat (kebiasaan) yang sah jika tidak seperti itu. Maksudnya, Allah membuat kekhususan pada api untuk membakar kayu, makanan untuk mengenyangkan, dan air untuk menyegarkan dengan syarat adanya kebersamaan dan pertemuan. Namun, bukan berarti api, makanan, dan air memiliki kekuatan membakar, mengenyangkan, dan menyegarkan. Qiyaskanlah semua hal pada adat kebiasaan yang ada.
Mustaḥīl Allah bersifat ‘ajzun (lemah), yaitu tidak mampu menciptakan sesuatu yang mungkin. Ini adalah kebalikan dari sifat qudrah (kuasa).
Mustaḥīl bagi Allah menciptakan sesuatu karena terpaksa, bukan atas kehendak-Nya sendiri, tanpa sadar, karena lupa, karena suatu alasan atau ikut-ikutan, bukan murni karena kehendak Allah, seperti bergeraknya jari-jari akan menggerakkan cincin, semua hal tersebut mustaḥīl. Allah-lah yang menggerakkan jari-jari manusia dan menggerakkan cincin berdasarkan kehendak-Nya, bukan karena ikut-ikutan.
Mustaḥīl Allah menciptakan sesuatu berdasarkan watak sesuatu tersebut, seperti membakar yang menjadi watak api. Maksudnya, watak api adalah membakar sesuatu, dengan syarat saling bertemu dan tidak ada sesuatu yang mencegah. Pada hakikatnya Allah-lah yang menciptakan api dan menciptakan kebakaran, api sama sekali tidak punya kekuasaan, tak punya watak dan tak punya kekuatan yang bisa membakar sesuatu. Allah-lah Dzāt yang melakukan, bukan selain-Nya. Semua hal tersebut adalah kebalikan dari sifat irādah (berkehendak).
Mustaḥīl bagi Allah bersifat jahl (bodoh), zhann (berprasangka), dan syakk (ragu-ragu) yang merupakan kebalikan sifat ‘ilmu.
Mustaḥīl bagi Allah bersifat maut (mati) yang merupakan kebalikan dari sifat ḥayāt (hidup), atau bersifat summ (bisu) kebalikan dari sifat kalām (berfirman), bersifat ‘amā (buta), kebalikan sifat bashar (melihat), bersifat bukm (tuli), kebalikan dari sifat sam‘ (mendengar). Qiyaskanlah sendiri kebalikan dari sifat-sifat ma‘nawiyyah, seperti kaunuhū ‘ajīzan, dan seterusnya.
Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī meneruskan pembahasan tentang sifat jā’iz Allah s.w.t. Beliau berkata:
وَ جَائِزٌ فِيْ حَقِّهِ مَا أَمْكَنَا | إِيْجَادًا إِعْدَامًا كرِزْقِهِ الْغِنَا. |
“Dan jā’iz pada hak Allah sesuatu yang mungkin menjadikan dan meniadakan, seperti memberi rezeki dengan kekayaan.”
Kata (جَائِزٌ) menjadi khabar muqaddam, dan lafazh (مَا أَمْكَنَا) menjadi mubtada’ mu’akhkhar.
Adapun sifat jā’iz Allah adalah menciptakan sesuatu yang mungkin atau meniadakannya setelah menciptakannya, seperti memberi rezeki atau tidak kepada hambanya, keduanya boleh bagi Allah. Maksudnya, Allah boleh menjadikan hambanya kaya atau miskin, menjadikan hambanya hidup atau mati, sehat atau sakit, dan juga boleh mengadakan atau meniadakan hal-hal yang mungkin.