328. Keempat Imam madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī) sepakat bahwa apabila orang yang shalat berbicara dengan sengaja tanpa ada keperluan maka shalatnya batal, baik Imām, Ma’mūm atau orang yang shalat sendirian.
Apabila Imām atau Ma’mām berbicara secara sengaja karena ada maslahat dengan shalatnya, misalnya ragu lalu bertanya kepada orang yang di belakangnya, menurut Abū Ḥanīfah dan asy-Syāfi‘ī, shalatnya batal, baik dia menjadi Imām atau Ma’mūm. Sementara menurut Mālik, shalatnya tidak batal dengan syarat ada maslahatnya.
Menurut Aḥmad, dalam hal ini ada tiga riwayat.
Pertama, shalatnya batal, baik Imām maupun Ma’mūm.
Kedua, shalatnya Ma’mūm batal, sementara shalatnya Imām sah dengan syarat ada maslahat. Pendapat inilah yang dipilih oleh al-Khiraqī. (5062).
Ketiga, shalat keduanya sah dengan syarat adanya maslahat.
Apabila seseorang berbicara dalam shalatnya karena lupa, menurut Abū Ḥanīfah, shalatnya batal, baik dia menjadi Imām atau Ma’mūm atau shalat sendirian. Sedangkan menurut Mālik dan asy-Syāfi‘ī, shalatnya sah.
Menurut Aḥmad, dalam hal ini ada dua riwayat seperti dua madzhab di atas. (5073).
329. Mereka sepakat bahwa tertawa terbahak-bahak dalam shalat membatalkan shalat. (5084).
330. Mereka berbeda pendapat tentang orang yang makan atau minum dalam shalatnya secara sengaja.
Abū Ḥanīfah, Mālik, dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Shalatnya batal.”
Menurut Aḥmad, dalam hal ini ada beberapa riwayat yang berbeda darinya. Menurut riwayat yang masyhur darinya, shalatnya batal bila shalatnya shalat fardhu, bukan shalat sunnah, dan bahwa yang membatalkan shalat sunnah hanyalah makan, sedangkan untuk minum beliau memberi kemudahan. (5095).
331. Mereka sepakat bahwa menoleh dalam shalat hukumnya makruh. (5106).
332. Mereka juga sepakat bahwa menguap dalam shalat hukumnya makruh.
333. Mereka sepakat bahwa makruh bagi orang yang shalat melihat sesuatu yang dapat melalaikan shalatnya.
Ini adalah masalah ke-19 yang terjadi perselisihan pendapat antara al-Khiraqī dengan Abū Bakar ‘Abd-ul-‘Azīz. Lih. Thabaqat-ul-Ḥanābilah (2/71).