2-1 Nafsiyyah dan Salbiyyah – Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

TERJEMAH TAUHID

سَبِيْلُ الْعَبِيْدِ عَلَى جَوْهَرَةِ التَّوْحِيْدِ
Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat
Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah
Penerbit: Sahifa Publishing

Rangkaian Pos: 002 Tentang Ketuhanan (Ilahiyyat) - Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

TENTANG KETUHANAN (ILĀHIYYAT)

 

Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah engkau untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”

(QS. al-Aḥzāb [33]: 56)

 

Sifat Wajib Allah

(Nafsiyyah dan Salbiyyah)

 

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī meneruskan pembahasan tentang sifat yang wajib dimiliki oleh Allah s.w.t. Beliau berkata:

فَوَاجِبٌ لَهُ الْوُجُوْدُ وَ الْقِدَمْ كَذَا بَقَاءٌ لَا يُشَابُ بِالْعَدَمْ

Maka wajb bagi Allah sifat wujud (ada) dan qidam (dahulu), begitu juga baqa’ (kekal) yang tidak dicampuri oleh ‘adam (ketiadaan).

Allah wajib bersifat wujud. Maksudnya, Dzāt yang pasti ada, tanpa didahului ketiadaan. Ketika Allah bersifat wujud, maka Allah pasti bersifat qidam (tidak ada awal bagi wujudnya) dan wajudnya abadi. Ketika Allah bersifat wujūd dan qidam, maka Allah pasti bersifat baqā’ (kekal wujudnya, tidak akan tiada dan tidak diawali oleh ketiadaan).

 

Penjelasan

Sifat wajib Allah yang wajib diketahui oleh seorang mukallaf adalah sifat wujūd. Menganggap bahwa wujūd merupakan sifat adalah bentuk kemoderatan (sikap longgar) para ulama Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah. Sebab, menurut Imām al-Asy‘arī, wujud itu ‘ainu maujūd, dzātu maujūd. Wujūd itu ‘Ainu Dzāt, bukan sifat. Sedangkan menurut Imām al-Māturīdī, wujud adalah sifat, bukan ‘Ainu Dzāt. Sebab, definisi wujud adalah ḥāl (keadaan) yang menetap pada dzāt, selagi dzāt itu ada, maka sifat wujud juga ada. Wujūd merupakan batas antara ada dan tidak ada, karenanya wujūd tidak bisa naik ke derajat maujūd (sesuatu yang ada) seperti warna putih, juga tidak bisa turun ke derajat ‘adam (sesuatu yang tidak ada), karena ḥāl (keadaan) bukan sesuatu yang ada, bukan pula sesuatu yang tidak ada. Pahamilah masalah ini!

Sifat yang juga wajib bagi Allah adalah sifat qidam, yang berarti dahulu, tanpa didahului oleh ketiadaan. Tidak didahului ketiadaan dinamakan qidam (dahulu), sedangkan tidak ada akhir atau tidak menemui ketiadaan dinamakan baqā’ (kekal).

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

وَ أَنَّهُ لِمَا يَنَالُ الْعَدَمُ مُخَالِفٌ بُرْهَانُ هذَا الْقِدَمُ

قِيَامُهُ بِالنَّفْسِ وَحْدَانِيَّةْ مُنَزَّهًا أَوْ صَافُهُ سَنِيَّةْ

عَنْ ضِدٍّ أَوْ شِبْهٍ شَرِيْكٍ مُطْلَقَا وَ وَالَدٍ كَذَا الْوَلَدْ وَ الْأَصْدِقَا

Dan bahwasanya Allah menyalahi segala yang baru yang berhubungan dengan ‘adam (ketiadaan) menjadi dalil sifat qidam (dahulu) ini.

(Wajib juga bagi Allah) memiliki sifat qiyāmuhu binafsihi (berdiri sendiri) dan waḥdāniyyah (esa) seraya disucikan dan ditinggalkan sifat-sifatNya.”

(Allah itu) disucikan dari yang berlawanan, dari yang menyerupai, dari sekutu secara mutlak, serta dari wālid (ayah atau ibu), begitu juga dari anak dan teman.”

Sifat yang juga wajib bagi Allah adalah mukhālafatu lil-ḥawādits yang berarti berbeda dengan sesuatu yang baru dan menerima ketiadaan (‘adam). Adapun tanda bahwa Allah bersifat mukhālafatu lil-ḥawādits (berbeda dengan makhluk-Nya) adalah Allah bersifat qidam (dahulu). Tidak ada satu pun makhluk yang bersifat qidam. Sebab, arti qidam adalah tidak ada permulaan bagi wujudnya, sedangkan wujud semua makhluk pasti didahului ketiadaan dan akan berakhir dengan ketiadaan lagi.

Sifat yang juga wajib bagi Allah adalah qiyāmuhu binafsihi (berdiri sendiri), yakni Allah berdiri dengan Dzāt-Nya sendiri, tidak butuh pada dzāt lain. Tidak seperti sifat warna putih yang membutuhkan tempat untuk bertempat. Allah adalah Dzāt, bukan sifat yang menempati dzātnya sendiri.

Sifat wajib bagi Allah yang keenam adalah Waḥdāniyyah (esa), yakni Esa dalam dzāt, sifat, dan pekerjaan-Nya. Allah wajib memiliki sifat-sifat tersebut. Allah bersifat Maha Agung, terhindar dari kebalikan sifat-sifat tersebut, tidak ada yang menyerupai-Nya, tidak ada sekutu bagi Allah secara mutlak, baik dalam dzāt, sifat maupun pekerjaan, tidak ada satu pun yang menyamai Allah. Allah tidak memiliki ayah, anak, ataupun saudara.

 

Penjelasan

Allah wajib memiliki sifat mukhālafatu lil-ḥawādits (berbeda dengan semua makhluk), artinya berbeda dengan dzāt dan sifat makhluk, Allah bukan jirm, jauhar, ‘aradh, (51) bukan pula juz’ (partikular), kull (menyeluruh atau umum), tidak memiliki arah, baik atas, bawah, depan, belakang, kanan, maupun kiri, tidak berhubungan dengan posisi makhluk, tidak di atasnya, di bawahnya, di depannya, di belakangnya, di kanan ataupun di kirinya. Adapun yang tebersit dalam hatimu tentang Allah, maka Allah tidak seperti itu.

Jika syaithan berbisik di hatimu: “Wahai manusia, jika Allah bukan jirm, ‘aradh, juz’, kull, maka seperti apa hakikat Allah?” Maka jawablah: “Hai mal‘ūn (syaithan yang dilaknat), tidakkah kau belum tahu.”

لَا يَعْلَمُ اللهَ إِلَّا اللهُ.

Tidak ada yang mengetahui Allah selain Allah sendiri.”

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ.

Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (QS. asy-Syūrā [42]: 11).

“Wahai syaithan penggoda manusia, tidakkah kau tahu dan mengambil pelajaran dari ruh yang ada dalam dirimu? Engkau tidak tahu seperti apa bentuknya, apa warnanya, di mana tempatnya, menghadap ke mana, ke atas atau ke bawah, itu saja engkau tidak tahu, padahal ruhmu adalah sesuatu yang baru, bagaimana engkau bisa tahu hakikat Dzāt yang qadīm (dahulu)? Pastinya engkau juga tidak bisa mengetahuinya.”

Kewajibanmu hanya meyakini dengan pasti bahwa Allah wajib wujudnya, tidak perlu terlalu banyak berpikir. Sepertihalnya engkau meyakini bahwa ruhmu itu ada, tapi tidak tahu seperti apa, cukup meyakini keberadaannya saja, tidak harus mengetahui bentuknya, sama sekali tidak.

Sifat yang juga wajib bagi Allah adalah qiyāmuhu binafsihi (berdiri sendiri) artinya Allah berdiri dengan Dzat-Nya sendiri, tidak butuh pada yang lain dan tidak butuh pada yang menciptakan. Sebab, jika Allah butuh pada yang lain, berarti Allah adalah sifat, jika Allah adalah sifat, Allah tidak bisa memiliki sifat ma‘ānī (52) dan ma‘nawiyyah (53). Jika Allah butuh pada yang menciptakan, berarti Allah adalah Dzāt yang baru, sifat baru Allah ini mustahil karena Allah telah bersifat qidam (dahulu) dan baqā’ (kekal).

Sifat yang juga wajib bagi Allah adalah Waḥdāniyyah (Esa), artinya, Allah Esa di dalam dzāt, sifat dan pekerjaan-Nya. Waḥdāniyyah tidak boleh diartikan waḥdatu dzāt seperti madzhab kāfir ḥulūliyyah, yang menyatakan bahwa Allah menyatu dengan makhluknya, keyakinan seperti itu hukumnya kafir. Na‘ūdzu billāh.

Arti waḥdāniyyah dalam ilmu tauhid adalah menafikan al-kumūm-ul-khamsah (bilangan lima):

Waḥdāniyyah dzāt, berarti meniadakan al-kamm-ul-muttashilu fidz-dzāt dan al-kamm-ul-munfashilu fidz-dzāt, maksudnya Dzāt Allah tidak tersusun dan tidak ada makhluk lain yang menyerupai Allah.

Waḥdāniyyah shifat, berarti meniadakan al-kamm-ul-muttashilu fish-shifat dan al-kamm-ul-munfashilu fish-shifat. Maksudnya, tidak ada sifat Allah yang berbilangan (seperti dua qudrah) dan tidak ada makhluk yang memiliki sifat yang menyamai Allah.

Waḥdāniyyah af‘āl, berarti menafikan al-kamm-ul-munfashilu fidz-dzāt. Maksudnya, tidak ada makhluk yang mampu menciptakan sesuatu.

Kesimpulannya, tidak ada satu pun makhluk yang memiliki sifat dan pekerjaan seperti Allah. Adapun jika kita melihat ada seseorang, misalnya saja Zaid bisa melakukan atau berbuat sesuatu, maka itu hanya kasbu ‘abdi yang bersamaan dengan qudrah Allah, hamba yang kasb, Allah yang menciptakan.

Allah s.w.t. berfirman:

اللهُ خَلَقَكُمْ وَ مَا تَعْمَلُوْنَ.

Padahal Allah-lah yang menciptakan engkau dan apa yang engkau perbuat itu.” (QS. Shāffāt [37]: 96).

Sifat Allah yang telah disebutkan berjumlah 6 sifat. Pertama Shifat Wujūd, ini disebut sifat nafsiyyah. Adapun yang lima sifat setelahnya (qidam, baqā’, mukhālafatu lil-ḥawādits, qiyāmuhu binafsihi, dan waḥdāniyyah) disebut sifat salbiyyah.

Shifat Nafsiyyah adalah sifat yang menetap pada dzāt selama dzāt itu ada. Sebagaimana jirm yang membutuhkan tempat atau ruang secukupnya untuk bertempat, hal itu harus ada selama jirm masih ada.

Shifat Salbiyyah adalah sifat yang menolak segala hal yang tidak patut bagi Allah s.w.t. Maka madlūl (yang ditunjuk atau yang diterangkan) dari lima Shifat Salbiyyah itu tidak ada, tidak seperti madlūl-nya sifat qudrah (berkuasa) dan irādah (berkehendak) yang tampak.

Makna sifat qidam adalah menolak adanya ketiadaan di awal, maka jadilah qidam (dahulu, tidak ada awalnya). Makna sifat baqā’ adalah menolak ketiadaan di akhir, maka jadilah baqā’ (kekal, tidak musnah). Sifat mukhālafatu lil-ḥawādits (berbeda dengan makhluk-Nya) adalah menolak adanya persamaan Allah dengan makhluk-Nya, baik dari segi dzāt, sifat maupun af‘āl (perbuatan). Makna sifat qiyāmuhu binafsihi (berdiri sendiri) adalah menolak sifat butuh kepada yang lain atau kepada yang menciptakan. Sifat waḥdāniyyah menolak bilangan dalam dzāt, sifat, dan af‘āl. Dari penjelasan ini menjadi jelas bahwa sifat salbiyyah memang tidak ada madlūl-nya, tidak seperti sifat ma‘ānī.

 

Catatan:

51). Keterangan: 1. Jirm adalah setiap sesuatu yang membutuhkan ruang kosong secukupnya untuk bertempa. 2. Jauhar ada 2 macam: jauhar fard dan jauhar murakkab.

1). Jauhar fard adalah jirm yang sangat kecil sehingga tak bisa dipecah atau dibagi lagi.

2). Jauhar murakkab adalah jirm kecil untuk menyempurnakan susunan jism. 1. Jism adalah jirm yang besar. 2. ‘Aradh adalah sifat yang menempel pada jirm.

52). Sifat ma‘ānī adalah sifat yang wujūd (ada) sehingga jika dibukakan hijab maka sifat-sifat tersebut akan bisa dilihat ataupun didengar seperti ilmu, sifat itu benar-benar wujūd (ada). (Lihat Syaikh Nawawī bin ‘Umar al-Jāwī, Fatḥ-ul-Majīd, Surabaya, al-hidāyah, tt. Hal. 37. Lihat juga al-Imām Sayyid Muḥammad as-Sanusī, Umm-ul-Barāhīn, Surabaya, al-Ḥaramain, tth. Hal. 97)

53). Sifat ma‘nawiyyah adalah amrun i‘tibārī, yakni sesuatu yang tidak ada dalam kenyataannya, hanya dianggap ada oleh akal (Lihat: Syaikh Nawawī bin ‘Umar al-Jāwī, Fatḥ-ul-Majīd, Surabaya, al-hidāyah, tt. Hal. 37).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *