BAB 2
KENABIAN
Tujuan Diutusnya Para Nabi
Kita meyakini bahwa Allah SWT telah mengutus para nabi dan rasul untuk menjadi petunjuk bagi umat manusia, sehingga mereka dapat diarahkan dan mencapai tujuan asalnya, yakni kesempurnaan. Sebab, apabila Allah SWT tidak mengutus para nabi dan rasul, maka tujuan penciptaan (alam ini) akan menjadi sia-sia, dan umat manusia akan terjerumus dalam jurang kesesatan. Sementara, hal ini sangat bertentangan dengan tujuan penciptaan manusia. Ini sebagaimana telah dijelaskan dalam al-Qur’ān:
(Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijak. (an-Nisā’: 165)
Kita meyakini, di antara para nabi dan rasul terdapat 5 Rasūl Ulul Azmi, yaitu para rasul yang memiliki syariat, kitab samawi, dan ajaran baru. Mereka adalah Nabi Ibrāhīm a.s., Nabi Mūsā a.s., Nabi ‘Īsā a.s., Nabi Nūḥ a.s., dan Nabi Muḥammad Saw. Sebagaimana al-Qur’ān telah menjelaskannya:
Dan (ingatlah) ketika kami mengambil perjanjian dari para nabi dan dari kamu sendiri. dari Nūḥ, dari Ibrāhīm, Mūsā dan ‘Īsā putranya Maryam, dan kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang Teguh. (al-Aḥzāb: 7)
Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman:
Maka bersabarlah kamu seperti kesabarannya Para Rasūl ulul azmi. (al-Aḥqāf: 35)
Kita meyakini bahwa Nabi Muḥammad Saw merupakan penutup para nabi dan sebagai rasul terakhir. Ajaran yang dibawa oleh beliau adalah ajaran bagi seluruh umat manusia dan bersifat abadi hingga hari kiamat kelak. Semua ini menunjukkan sifat universal ajaran Islam. Artinya, ajaran Islam mampu memenuhi seluruh kebutuhan manusia hingga hari kiamat, baik kebutuhan materi maupun maknawi (non-materi). Siapa saja yang mengaku dirinya sebagai nabi setelah beliau, dapat dipastikan bahwa dia telah berbohong, dan pengakuannya tak dapat diterima. Dalam al-Qur’ān Allah SWT berfirman:
Muḥammad itu sekali-kali bukanlah Bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, Tetapi dia adalah Rasūlullāh dan penutup para nabi. Dan adalah Allah Mahatahu segala sesuatu. (al-Aḥzāb: 40)
Tenggang Rasa antara Pemeluk Agama Ilahi
Kendati kita meyakini bahwa hanya agama Islam lah yang benar, namun kita harus dapat hidup tentram dan damai bersama para pengikut agama samawi lainnya. Baik mereka yang hidup di bawah naungan negara Islam, maupun tidak, kecuali jika mereka memerangi Islam, sebagaimana disyaratkan ayat berikut ini:
Dan Tiada Melarang kamu untuk berbuat baik dan berperilaku terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (al-Mumtaḥanah:8)
Kita meyakini, melalui argumentasi yang kuat, bahwa kita dapat menjelaskan ajaran dan hakikat Islam kepada seluruh manusia, dan menganggap ajaran Islam memiliki daya tarik yang kuat, sehingga jika Islam disampaikan dengan benar, maka orang akan berbondong-bondong dan tertarik kepada Islam. Khususnya di zaman sekarang ini, betapa banyak orang yang ingin mengetahui hakikat Islam.
Oleh karena itu, kita meyakini bahwa hendaknya Islam tidak disampaikan melalui cara paksaan dan tekanan. Sebagaimana, firman Allah SWT dalam al-Qur’ān:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. (al-Baqarah: 226)
Kita juga yakin bahwa perilaku orang Islam dalam menjalankan ajaran agamanya dapat menjadi sarana untuk mengenalkan Islam. Oleh karena itu, kita tidak memerlukan segala macam jenis paksaan dan tekanan.
Kemaksuman para nabi
Kita percaya bahwa seluruh Nabi adalah maksum, artinya bahwa dengan izin Allah SWT, seluruh masa hidup mereka suci dari segala dosa dan kesalahan, baik yang menyangkut hal-hal sebelum pengangkatannya sebagai nabi, maupun sesudahnya. Sebab, jika melakukan kesalahan dan dosa, mereka tidak akan peroleh kepercayaan yang semestinya dari masyarakat, sehingga tidak akan lagi menjadikan mereka sebagai penghubung yang dapat dipercaya antara diri mereka dengan Tuhan. Manusia juga tidak akan menjadikan para nabi itu sebagai pemimpin dan teladan dalam semua perilaku kehidupan.
Dengan alasan seperti itulah kita meyakini bahwa manakala tampak seperti lahirlah dalam al-Qur’ān adanya ayat-ayat yang menyadarkan perbuatan dosa kepada para nabi, itu dianggap sebagai tark al-aula yang berarti bahwa di antara dua perbuatan baik, mereka memiliki kebaikan yang dinilainya lebih sedikit, padahal selayaknya memilih yang lebih baik (baca: terbaik). Ini sebagaimana tercantum dalam ungkapan berikut:
Ḥasanat-ul-abrar syyiat-ul-muqarrabīn
Kebaikan yang dilakukan oleh manusia bajik merupakan keburukan bagi manusia yang memiliki kedekatan (dengan Allah).
Itu dikarenakan, tuntutan terhadap setiap orang disesuaikan dengan kedudukan yang dimilikinya.
Para Nabi, Hamba Pilihan Allah SWT
Kita meyakini, kebanggaan terbesar para nabi dan rasul adalah karena mereka merupakan para hamba yang taat kepada Allah SWT. Dengan alasan inilah, maka dalam salat harian, kita selalu mengulang-ulang ungkapan berikut:
Asyhadu anna Muḥammadan ‘abduhu warasūluhu
Aku bersaksi bahwa Muḥammad adalah hamba dan utusan Rasūl-Nya.
Kita meyakini, tak Seorang nabi pun yang mengaku dirinya sebagai Tuhan, dan tak ada nabi yang mengajak orang-orang untuk menyembahnya. Ini dapat dibuktikan dalam ayat berikut:
Tidak wajar bagi seorang manusia yang Allah berikan Al-kitab, hikmah, dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia, “hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku, bukan penyembah Allah.” (Āli ‘Imrān : 79)
Begitu pula dengan Nabi ‘Īsā a.s., yang tidak pernah mengajak orang-orang untuk menyembahnya, dan selalu menganggap dirinya sebagai makhluk dan utusan Tuhannya. Ini dijelaskan dalam al-Qur’ān:
Al-Masīḥ sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah, dan tidak (pula enggan) malaikat-malaikat yang terdekat (kepada Allah).(an-Nisā’:172)
Sejarah terkini ajaran Kristiani juga telah memberikan kesaksian Bahwa masalah Trinitas tidak pernah muncul dari abad pertama masehi. Pemikiran ini muncul pada abad setelahnya.
Mukjizat dan ilmu aghaib
Kita meyakini, penghambaan para nabi tidak akan menghalangi mereka untuk mengetahui perkara-perkara rahasia yang terkait dengan kejadian di masa lalu, sekarang, dan yang akan datang, tentu saja dengan seizin Allah SWT. Ini sebagaimana tercantum dalam ayat berikut:
Dia adalah Tuhan yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu, kecuali kepada Rasūl yang diridhoi-Nya. (al-Jinn: 26-27)
Kita mengetahui, salah satu mukjizat Nabi ‘Īsā a.s. adalah memberikan kabar kepada orang-orang tentang hal-hal yang rahasia. dalam al-Qur’ān Allah SWT menjelaskan:
Dan kukabarkan kepadamu Apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. (Āli ‘Imrān: 49)
Sebagaimana, Nabi Muḥammad Saw juga, melalui pemberitahuan Allah SWT, mampu menjelaskan berbagai perkara-perkara rahasia, sebagaimana firman Allah SWT:
Demikian itu (adalah) diantara berita-berita yang ghaib yang kami wahyukan kepadamu (Muḥammad). (Yūsuf: 102)
Karena itu, tidak ada masalah jika para nabi, melalui Wahyu dan izin Allah SWT, dapat memberikan perkara-perkara yang ghaib. Jika dalam sebagian ayat al-Qur’ān terdapat penafian akan ilmu ghaib Nabi Muḥammad Saw, sebagaimana dalam firman Allah SWT:
Dan aku tidak mengetahui yang ghaib dan tidak pula aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. (al-An‘ām: 50)
Maka maksudnya adalah Ilmu dzāt yang bersifat mandiri, yaitu ilmu yang tidak dihasilkan melalui pengajaran Allah SWT. Sebab, kita mengetahui bahwa ayat al-Qur’ān saling menafsirkan satu dengan yang lain (sehingga kita dapat menarik kesimpulan seperti ini).
Kita percaya bahwa apabila pemuka para nabi mampu melakukan perbuatan yang berada di atas kebiasaan umum manusia(Kharīqah li al-‘ādah) berupa mukjizat, maka hal itu terjadi dikarenakan adanya izin Allah SWT. Dan keyakinan bahwa perbuatan semacam itu terjadi terkait izin Allah SWT, tidak menyebabkan terjerumusnya seorang ke lembah kesyirikan dan ini pun tidak bertentangan dengan kedudukan penghambaan mereka. Nabi ‘Īsā al-Masīḥ a.s. dalam menghidupkan orang yang telah mati dan menyembuhkan penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dengan izin Allah SWT, sebagaimana telah dijelaskan Allah SWT dalam al-Qur’ān:
Dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya, dan orang yang berpenyakit sopak, dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah. (Āli ‘Imrān: 49)
Otoritas Pemberian Syafaat
Kita meyakini, semua nabi terutama Nabi Muḥammad Saw memiliki kedudukan (maqām) pemberian syafa‘at. Sementara, syafa‘at itu dikhususkan untuk sebagian orang yang melakukan kesalahan dan dosa. Namun, semua ini dilakukan dengan izin Allah SWT, sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut ini:
Tiada seorangpun yang akan memberikan syafaat kecuali sesudah ada izin-Nya (Yūnus: 3)
Dalam ayat lain yang masih berkenaan dengan hal tersebut, Allah SWT berfirman:
Tiada yang dapat memberikan syafaat di sisi Allah SWT tanpa izin-Nya. (al-Baqarah: 255)
Dan jika sebagian ayat al-Qur’ān mengisyaratkan tentang penafian syafa‘at secara mutlak, seperti dijelaskan dalam ayat berikut ini:
Sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi Syafa‘at. (al-Baqarah: 254)
Maka yang di maksud dari hal itu adalah syafa‘at yang bersifat mandiri dan tanpa izin Allah SWT. Atau, menjelaskan tentang sebagian orang yang tidak mempunyai hak untuk mendapatkan syafa‘at. Sebab, seperti pada pembahasan sebelumnya, telah kita Jelaskan bahwa antara satu ayat al-Qur’ān dengan ayat yang lain saling menafsirkan.
Kita juga yakin bahwa syafa‘at merupakan cara penting untuk mendidik manusia dan mengembalikan para pendosa ke jalan yang benar. Begitupula, ia merupakan motivator bagi manusia untuk berjalan menuju kesucian dan ketakwaan, juga menjadi salah satu sarana yang berfungsi untuk menghidupkan kembali harapan di hati mereka.
Syafa‘at tidak dapat begitu saja diraih oleh semua kalangan. Ini dikarenakan syafa‘at hanya dikhususkan bagi orang-orang yang memiliki potensi untuk mendapatkannya. Artinya kesalahan dan dosa itu tidak sampai pada taraf di mana hubungan mereka dengan para pemberi syafa‘at terputus secara mutlak.
Oleh karena itu, masalah syafa‘at berfungsi sebagai pemberi peringatan kepada para pendosa; hendaknya mereka tidak sampai merusak semua tangga yang menuju kepada Allah SWT dan hendaknya tetap menyisakan jalan untuk kembali menuju Tuhan. Para pendosa hendaknya tidak memberantas semua potensi Dari Dirinya untuk beroleh Syafa‘at.