2-1 Kehidupan Politik – Biografi Imam Malik

Biografi IMĀM MĀLIK
(Judul Asli: Silsilat al-Aimmah al-Mushawwarah (3): al-Imām al-Mālik)
Oleh: Dr. Tariq Suwaidan

Penerjemah: Iman Firdaus Lc. Q. Dipl.
Penerbit: Zaman

Rangkaian Pos: Konteks Kehidupan Masa Imam Malik - Biografi Imam Malik | Dr. Tariq Suwaidan

KONTEKS KEHIDUPAN MASA IMĀM MĀLIK

 

Bab ini memaparkan kehidupan politik, sosial, pemikiran, dan keagamaan pada masa Imām Mālik.

 

1. Kehidupan Politik

Imām Mālik lahir pada masa kekhilafahan al-Walīd ibn ‘Abdul Mālik, seorang penguasa dinasti Bani Umayyah. Pada masa al-Walīd, situasi politik cenderung stabil setelah peristiwa perebutan kekuasaannya yang berlangsung cukup panjang terhadap lawan-lawan politiknya. Di tangan al-Walīd, banyak daerah terpencil yang ditaklukkan sehingga Islam menyebar ke seluruh penjuru; di belahan timur sempai ke perbatasan Cina, bahkan Islam dipeluk oleh banyak penduduk Cina; di Barat, Islam sampai ke selatan Eropa.

Kemudian, saat ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Azīz menjabat khalifah, Imām Mālik semakin menemukan ketenteraman dan kedamaian yang kelak akan berbuah manis. ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Azīz dikenal sebagai sosok penguasa yang adil. Ia dijuluki khalifah rasyidin kelima setelah Abū Bakar, ‘Umar, ‘Utsmān, dan ‘Alī r.a.

Fitnah dan Perpecahan

Imām Mālik sempat menjadi saksi sejarah perpecahan kaum muslim, fitnah yang terjadi antara ‘Alī dan Mu‘āwiyah, fitnah yang terjadi pada masa Yazīd, dan kerusakan yang melanda kaum muslim akibat ambisi mereka terhadap dunia dan kekuasaan. Api fitnah melanda kaum muslim hingga melahap segala yang hijau dan basah. Petaka pada masa konflik itu sangat berat sehingga menghambat laju dakwah dan penaklukan-penaklukan.

Imām Mālik juga mendengar dan menyaksikan pemberontakan kaum Khawarij yang mengusik ketenteraman. Mereka sering menculik kaum muslim di daerah-daerah terpencil, padahal tindakan mereka tidak didasari alasan kuat. Mereka memahami agama secara lahiriah saja, bahkan sering memutarbalikkan fakta tentang Islam. Imām Mālik menyaksikan serbuan pasukan Khawarij ke kota Madinah di bawah pimpinan Ḥamzah, membunuh para penduduk secara keji, lalu menduduki kota itu. Di sana, mereka enggan menegakkan kebenaran dan tidak mengentaskan kebatilan.

Pemikirkan Politik Imām Mālik

Demikianlah kondisi kehancuran yang disaksikan Imām Mālik. Kondisi itu adalah akibat pemberontakan beberapa kalangan terhadap para penguasa; pemberontakan tanpa perencanaan matang, bertendensi duniawi, serta didasari hawa nafsu dan pemikiran menyimpang. Oleh sebab itu, Imām Mālik sangat membenci segala bentuk pemberontakan. Di matanya, pemberontakan lebih berdampak pada kehancuran, mengganggu ketenangan dan menyuburkan kezaliman.

Situasi seperti inilah yang membentuk pemikiran politik Imām Mālik. Sang Imam cenderung menyukai ketenangan dan kedamaian. Menurutnya, stabilitas kondisi umat pasti berbuah kebaikan para penguasanya. Jadi, yang pertama harus dilakukan oleh para reformis adalah memperbaiki kondisi rakyat, karena rakyat adalah pangkal sekaligus pohon, sementara penguasa adalah buahnya. Sudah barang tentu buah selalu berasal dari pohonnya. Jika sebuah pohon memiliki kualitas baik maka buahnya pun akan baik. Buah hanya ada jika ada pohon.

Dalam situasi seperti ini, Imām Mālik memilih diam. Walaupun sikap diamnya ini tidak berarti mengakui satu hal yang bukan berasal dari agama – kendati untuk maslahat umum – tetapi Imām Mālik tidak mau berfatwa dengan satu hal yang bertentangan dengan syariat Allah. Karena, di mata Imām Mālik fatwa adalah agama, dan agama merupakan perhatian terbesar seorang manusia.

Dinasti ‘Abbāsiyyah

Sebelum dinasti ‘Abbāsiyyah berkuasa, kekacauan merajalela, kota Madinah diserang, dan banyak anak-anak kaum Muhajirin dan Anshar yang dibunuh. Barulah pada masa Abū Ja‘far Abū Manshūr, keadaan mulai berhasil dikendalikan. Para penguasa Bani ‘Abbās cenderung mau mendengarkan nasihat dan pertimbangan Imām Mālik. Hal itu mendorong Imām Mālik untuk terus berkomunikasi dengan mereka dan menerima hadiah-hadiahnya.

Imām Mālik hidup pada masa dua dinasti, yaitu Umayyah dan ‘Abbāsiyyah. Ia juga turut menjadi saksi sejarah berbagai peristiwa dan konflik yang terjadi di antara kedua dinasti itu. Sebab itulah Imām Mālik begitu membenci pemberontakan. Ia mendorong refromasi di berbagai bidang, terutama setelah keadaan menjadi damai. Inilah pemikiran politik Imām Mālik.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *