2-1 Hikmah Penghembusan Nafas Dalam Firman Tentang Syits – Fushush-ul-Hikam Mutiara Hikmah 27 Nabi

FUSHŪSH-UL-ḤIKAM
MUTIARA HIKMAH 27 NABI
Penulis: Ibn ‘Arabī

(Diterjemahkan dari judul asli: The Bezels of Wisdom)

Alih Bahasa: Ahmad Sahidah dan Nurjannah Arianti
Penerbit: PENERBIT DIADIT MEDIA

Rangkaian Pos: Hikmah Penghembusan Nafas Dalam Firman Tentang Syits

HIKMAH PENGHEMBUSAN NAFAS DALAM FIRMAN TENTANG SYĪTS

Ketahuilah, bahwa pemberian dan karunia ilahi dalam bidang yang ditentukan, baik melalui hamba-Nya maupun tidak, dibagi dalam dua jenis: pemberian dari Esensi dan pemberian dari Nama-nama, sebagaimana juga ada pemberian yang diberikan sebagai respon atas permintaan khusus dan pemberian yang diberikan sebagai respon atas permintaan umum. Ada juga pemberian yang diberikan tanpa permintaan apa pun, baik yang berasal dari Esensi maupun Nama-nama.

Contoh permintaan untuk sesuatu yang khusus adalah seseorang yang mengatakan: “Ya Tuhan, berikan aku ini dan itu”, yang menetapkan sesuatu untuk mengeluarkan yang lain. Contoh dari sebuah permintaan umum adalah seseorang yang mengatakan: “Berikan aku apa yang Engkau ketahui sebagai kebutuhanku, apakah untuk wujud halusku atau fisikku.”

Orang-orang yang meminta terdiri dari dua jenis: jenis pertama terdorong untuk meminta dengan keinginan alamiah, karena: “Manusia diciptakan dengan tabiat suka tergesa-gesa”, (11) sementara jenis kedua tergerak untuk meminta karena dia mengetahui bahwa ada sesuatu di sisi Allah yang tidak bisa – sesuai dengan Maha Mengetahui ilahi – diperoleh kecuali dengan memintanya. Dia mengatakan pada dirinya: “Barangkali apa yang kira-kira kita minta dari Allah adalah jenis ini.: Jadi, permintaannya adalah dengan cara memahami sepenuhnya kemungkinan-kemungkinan yang inheren berada pada Perintah Ilahi (sesuatu yang diminta). Dia tidak bisa mengetahui apa yang ada dalam pengetahuan Allah, juga dia tidak mengetahui kencenderungan dirinya yang ditentukan secara abadi untuk menerima, karena untuk – pada masing-masing contoh – menyadari kecenderungan abadi seseorang adalah salah satu jenis pengetahuan yang sangat sulit. Bahkan, bukan karena kecenderungan mengaruniai permintaan, dia tidak membuat permintaan.

Bagi orang yang mempraktikkan Kehadiran Allah yang tidak biasanya mengetahui hal ini, kebanyakan yang mereka capai adalah mengetahui kecenderungan mereka pada waktu menerima ataupun meminta. Ini karena mereka mengetahui apa yang dianugerahkan Realitas pada mereka ketika itu, dengan alasan kehadiran mereka dengan Allah, dan mereka mengetahui bahwa mereka menerimanya hanya karena kecenderungan mereka untuk menerimanya. Mereka terdiri dari dua macam: mereka yang mengetahui kecenderungan mereka dengan mengetahui apa yang mereka terima, dan mereka yang mengetahui apa yang akan mereka terima dengan mengetahui kecenderungan mereka. Dari keduanya ini, yang terakhir adalah pengetahuan kecenderungan yang lebih utuh.

Ada juga orang-orang yang meminta, bukan karena dorongan alamiah, bukan pula melalui pengetahuan kemungkinan-kemungkinan, tetapi secara sederhana untuk menyesuaikan diri dengan perintah Allah: “Berdu‘a-lah kepada-Ku niscaya Aku akan mengabulkan kamu.” (22) Orang semacam ini sesungguhnya merupakan seorang hamba, karena dalam permohonan semacam ini, tidak ada bekas kepentingan diri, perhatian hanya diarahkan untuk menyesuaikan dengan perintah Tuhannya. Jika keadaannya mengharuskan sebuah permintaan atasnya, dia meminta untuk lebih banyak beribadah, tetapi jika keadaannya mengharuskannya diam dan pasrah, maka dia akan diam.

Ayyub dan yang lainnya secara sangat berat diuji, tetapi mereka tidak meminta agar penderitaan mereka dari Allah itu dihilangkan. Pada akhirnya, keadaan mereka mengharuskan mereka meminta, dan Allah mengabulkannya. Kecepatan atau kelambatan dalam memenuhi apa yang diminta, tergantung sepenuhnya pada tindakan yang ditunjukkan karena itu semua ada pada Allah. Jika sebuah permintaan sesuai dengan waktu yang tepat, maka responnya cepat, tetapi waktunya belum seharusnya, baik dalam hidup ini atau hingga di Akhirat kelak, respon (balasan)-nya akan ditunda hingga masanya. Ini berarti pemenuhan sesuatu yang diminta bukan prinsip tentang respon Ilahi, yang selalu: “Aku di sini.” Dengan demikian, pertimbangkanlah secara baik-baik. (33)

Berkaitan dengan rujukan kita terhadap karunia yang diberikan tanpa permintaan, saya mengartikan suatu permintaan yang diartikulasikan. Sebab, dalam hal setiap perbuatan ilahi, mesti ada sebuah permintaan dari seorang penerima, apakah ia diungkapkan dengan kata-kata, atau inheren dalam keadaan atau kecenderungan.

Demikian pula, pujian kepada Allah biasanya menunjukkan artikulasinya, sementara dalam pengertian bathin, pujian diharuskan dengan keadaan spiritualnya, karena yang mendorong anda untuk memuji Allah adalah unsur esensial yang ada pada anda, yang mengikatkan anda pada Nama Tuhan, apakah dengan mengekspresikan aktivitas atau transendensi-Nya. Hamba tidak menyadari kecenderungannya, tetapi hanya keadaan spiritualnya, di mana ia mengetahui bahwa itulah yang mendorongnya, karena pengetahuan tentang kecenderungan adalah sesuatu hal yang paling tersembunyi. Mereka yang menerima karunia Allah dan tidak melakukan suatu permintaan, mengabaikan untuk meminta, semata-mata karena mereka mengetahui bahwa Allah memiliki pengetahuan yang ditentukan sebelumnya berkaitan dengan mereka. Mereka menjadikan dirinya siap untuk menerima apa pun yang berasal dari-Nya, dan sepenuhnya menarik diri dari diri-diri separatif mereka dan tujuan-tujuan mereka.

Dari orang-orang inilah, terdapat orang yang mengetahui bahwa pengetahuan Allah tentang mereka, dalam semua keadaan, sejalan dengan keadaan mereka sendiri dalam kelatenan (akhfā/latency: ketersembunyian) praeksisten mereka. Mereka mengetahui bahwa Realitas akan menganurgerahkan hanya kepada mereka yang esensi latennya diperoleh dari-Nya (sebagai wujud yang dirinya diketahui oleh-Nya). Jadi, mereka mengetahui asal-usul pengetahuan yang ditentukan Allah sebelumnya mengenai mereka. Dari orang-orang ini, tidak ada satu pun yang lebih tinggi atau lebih intuitif daripada jenis yang tidak meminta ini, karena mereka memahami rahasia Pratindakan Ilahi. Jenis kelompok ini sendiri dibagi kedalam dua bagian: Mereka yang memiliki pengetahuan ini secara umum dan yang mempunyai pengetahuan terperinci, pengetahuan terakhir menjadi lebih tinggi dan lengkap. Dalam hal ini, dia mengetahui apa yang diketahui Allah berkenaan dengan dirinya, baik karena Allah memberitahukannya tentang bagaimana esensinya telah menyumbang pada pengetahuan-Nya tentang dirinya ataupun karena Allah mewahyukan kepadanya esensinya dengan segala fluktuasi tak terbatas dari keadaan spiritual. Hal ini lebih tinggi daripada pengetahuan umum.

Berkenaan dengan pengetahuannya tentang dirinya sendiri, orang seperti ini mengenal dirinya sebagaimana Allah mengenalnya. Sebab, objek pengetahuannya sama dalam kedua hal ini. Namun, berkenaan dengan kemakhlukannya, pengetahuannya tidak lain merupakan sebuah karunia dari Allah, satu dari keragaman keadaan azali yang inheren dalam esensinya. Penerima wahyu semacam ini mengakui fakta ini ketika Allah menunjukkan kepadanya keadaan-keadaan esensinya: karena mustahil bagi makhluk ketika Allah menunjukkan kepadanya keadaan-keadaan esensinya, di mana bentuk yang diciptakan akan diberikan, untuk melihatnya sebagaimana Realitas melihat esensi-esensi laten dalam keadaan nonwujud mereka, karena mereka adalah penghubungan-penghubungan tanpa bentuk dari Esensi.

Jika semua ini dipahami, kita bisa mengatakan bahwa kesamaan ini – dalam pengetahuan, seperti antara Allah dan hamba-Nya – adalah karunia ilahi yang ditetapkan sebelumnya bagi sang hamba. Dalam hal ini, Allah berfirman: “Kami akan menguji kamu, hingga Kami mengetahui (yang kamu usahakan)”, (44) yang mempunyai makna yang cermat, tetapi sangat berbeda dibandingkan dengan yang dibayangkan oleh orang-orang yang tidak mempunyai pengalaman langsung rahasia-rahasia ketuhanan. Berkenaan dengan ayat ini, kebanyakan kaum transendentalis, dengan menggunakan kekuatan-kekuatan mental tertingginya, mengatakan, akan menjadi temporalitas nyata dalam pengetahuan Allah yang ditujukan pada ketergantungan atas makhluk, kecuali dia mempertahankan distingsi pengetahuan dari Esensi, dan dengan demikian, mengasalkan ketergantungan itu kepadanya, dan bukan pada Esensi. Dengan ini, dia dibedakan dari sang pengenal sejati Allah, sang penerima penyingkapan.

Catatan:

  1. 1). Al-Qur’ān, XXI: 37.
  2. 2). Ibid., XL: 60.
  3. 3). Ibid., II: 186.
  4. 4). Ibid., XLVII: 31.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *