2-1 Bakat Khusus – Biografi Imam Syafi’i

Biografi IMĀM SYĀFI‘Ī
(Judul Asli: Silsilat al-Aimmah al-Mushawwarah (2): al-Imām al-Syāfi‘ī)
Oleh: Dr. Tariq Suwaidan

Penerjemah: Iman Firdaus Lc. Q. 16
Penerbit: Zaman

BAGIAN DUA: BAKAT DAN KEISTIMEWAAN

 

Bab 5

BAKAT KHUSUS

 

1. FIRASAT DAN NALURI SYĀFI‘Ī

Firasat adalah kemampuan untuk mengenali sosok dan kepribadian seseorang hanya dengan melihat wajah atau tanda-tanda yang tampak pada dirinya. Syāfi‘ī tertarik untuk mempelajari ilmu firasat ini, beruji coba dengannya, bahkan ia sampai mahir dalam mempraktikkannya. Syāfi‘ī mendapatkan ilmu ini sejak kecil, saat ia masih tinggal di dusun. Sementara buku-buku tentang ilmu firasat ia peroleh dari Yaman.

 

Kisah Menarik tentang Firasat Syāfi‘ī

Syāfi‘ī memiliki banyak kisah dan pengalaman yang menarik tentang firasatnya. Yang paling unik adalah kisah yang diriwayatkan oleh al-Ḥumaidī bahwa Muḥammad ibn Idrīs menuturkan: “Aku bepergian ke daerah Yaman mencari buku-buku tentang ilmu firasat agar aku dapat menulis dan menyusunnya. Di tengah jalan, aku bertemu dengan seorang laki-laki yang tengah duduk di depan rumahnya. Matanya biru, dahinya lebar, dan ia tidak berjenggot.

“Apa di sini tempat persinggahan?” tanyaku padanya.

“Ya”, jawabnya.”

Syāfi‘ī melanjutkan: “Ku lihat di wajahnya tanda-tanda kehinaan (ini adalah tanda terburuk dalam ilmu firasat). Ia lalu memersilakanku menginap di rumahnya. Sungguh, ia terlihat begitu baik padaku. Ia menghidangkan makan malam, memberiku wewangian, dan menyediakan rumput untuk kuda tunggangganku. Selain itu, ia juga menyiapkan kasur lengkap dengan selimutnya untukku. Malam itu, aku tidur sangat lelap.

“Apa gunanya buku-buku firasat ini?” pikirku dalam hati, demi melihat sosok laki-laki yang begitu baik padaku kendati tampangnya hina dan bengis.

“Firasatku salah tentang laki-laki ini”, gumamku.

Keesokan harinya, aku meminta budakku untuk melepaskan tali kekang kudaku. Aku pun menaikinya dan bersiap untuk berangkat. Saat aku melewati laki-laki itu, aku berpesan padanya: “Jika kau bepergian ke Makkah dan melewati daerah Dzī Thawā, tanyakan pada orang-orang, di mana rumah Muḥammad ibn Idrīs al- Syāfi‘ī. Mampirlah ke rumahku itu!”

Orang itu malah menjawab: “Memangnya, aku ini budak bapakmu?!”

“Apa maksudmu?” tanyaku kepadanya.

Ia menjawab: “Perlu kau ketahui, aku membelikan untukmu makanan dengan 2 dirham, wewangian 3 dirham, rumput 2 dirham, harga sewa kasur dan selimutnya 2 dirham.”

Mendengar hal ini, aku kaget, Ku perintahkan budakku untuk memberinya uang sejumlah yang ia sebutkan.

“Ada lagi yang lain?” tanyaku pada laki-laki itu.

Ia menjawab: “Harga sewa rumah karena aku telah membuatmu tidur nyaman, sementara aku rela diriku merasa kesempitan untukmu.”

Aku pun merasa bahagia karena buku-buku firasat yang semula ku duga sia-sia, ternyata bermanfaat juga. Buku-buku firasat itu ternyata tidak salah.

Setelah itu aku bertanya lagi: “Ada lagi biaya lain?”

Ia menjawab dengan ketus: “Pergilah, semoga Allah menghinakanmu. Aku tidak pernah melihat orang seburuk dirimu.”

 

Syāfi‘ī mempelajari ilmu firasat dan mempraktikkannya. Ia bahkan termasuk orang yang paling tajam firasatnya.

 

Peristiwa yang Menakjubkan

Syāfi‘ī pernah mengalami satu peristiwa yang menakjubkan tentang kemampuannya dalam berfirasat ini. Seperti kisah yang diriwayatkan oleh al-Muzani berikut: “Aku tengah bersama Syāfi‘ī di Masjidil Haram. Tiba-tiba seorang laki-laki masuk dan berjalan berkeliling di antara orang-orang yang tidur di sana. Syāfi‘ī lantas berkata kepada al-Rabi‘: “Katakan pada orang itu, apa ia telah kehilangan seorang budaknya yang berkulit hitam dan salah satu matanya cacat?”

Al-Rabi‘ pun bangkit dan menyampaikan pesan Syāfi‘ī kepada orang itu. Kemudian orang itu menjawab: “Ya, seperti itulah budakku!”

Al-Rabi‘ lalu berkata kepada orang itu: “Mari temui Syāfi‘ī”

Ia pun mendatangi Syāfi‘ī.

“Ya, seperti itulah budakku!” katanya kepada Syāfi‘ī.

Syāfi‘ī lantas berkata kepadanya: “Carilah ia di tengah kerumunan orang itu.”

Ia pun menuruti petunjuk Syāfi‘ī. Ia mulai mencari-cari budaknya di tengah kerumunan orang. Akhirnya budak itu ia temukan di sana.”

Al-Rabi‘ melanjutkan penuturannya: “Melihat hal ini, aku tercengang. Dan ku tanyakan pada Syāfi‘ī: “Katakan pada kami, bagaimana kau bisa menebaknya? Kau telah membuat kami heran.”

“Baiklah,” jawab Syāfi‘ī.

“Tadi aku melihat seseorang masuk melalui pintu masjid, lalu ia berkeliling di antara orang-orang yang tidur. Di sini, aku menduganya tengah mencari seseorang yang kabur darinya. Ku lihat orang itu mencari-cari di antara orang-orang hitam yang tengah tidur. Aku berkesimpulan bahwa ia mencari seorang budak hitam. Ia lalu memeriksa mata kanan orang-orang itu. Menurut dugaanku, berarti ia tengah mencari budak yang salah satu matanya cacat,” lanjut Syāfi‘ī.

Kami lalu bertanya padanya: “Lantas mengapa kau suruh ia pergi ke tempat kerumunan?”

Syāfi‘ī menjawab: “Dalam hal ini, aku menakwilkan hadits Rasulullah: “Tak ada kebaikan sama sekali dalam kerumunan orang. Jika mereka lapar, mereka akan mencuri, dan jika mereka kenyang, mereka akan meminum minuman keras dan berzina. Dari sini aku berpikir bahwa budak orang itu telah melakukan salah satu dari kedua hal di atas.” Rupanya firasat Syāfi‘ī benar.”

 

Firasat Syāfi‘ī Tentang Muridnya

Firasat Syāfi‘ī yang lain diriwayatkan dari al-Rabi‘ ibn Sulaimān. Ia berkata: “Kami menemui Syāfi‘ī sebelum ia meninggal dunia. Ketika itu kami berempat: aku, al-Buwaithī, al-Muzanī, dan Muḥammad ibn ‘Abdullāh ibn ‘Abdul Ḥakam. Syāfi‘ī menatap kami sesaat. Ia terus menatap kami satu per satu. Ia lalu berkata: “Engkau, wahai Abū Ya‘qūb, akan mati di balik jeruji besimu. Engkau, wahai Muzanī, kelak di Mesir kau akan sejahtera dan damai. Kau akan menemukan satu masa di mana engkau menjadi orang yang paling ahli di bidang qiyas. Sedangkan engkau, wahai Rabi‘, akan menjadi orang yang paling berguna bagiku dalam menyebarkan buku-buku dan ajaranku.” Syāfi‘ī berpaling ke arah Abū Ya‘qūb, ia berkata kepadanya: “Bangkitlah kau, wahai Abū Ya‘qūb, isilah halaqah majelisku!”

Al-Rabi‘ menuturkan: Ternyata apa yang diprediksikan Syāfi‘ī benar-benar terjadi.”

Saat seseorang mengikhlaskan jiwanya kepada Allah maka Allah akan menerangi pandangan dan hatinya, membukakan pintu makrifat yang dapat mencengangkan akal. Keikhlasan Syāfi‘ī dalam ilmu dan amal membuatnya dapat meraih segala macam ilmu di zamannya. Ia menjadi orang yang paling berilmu kala itu. Selain itu, Syāfi‘ī juga memiliki firasat yang kuat, jarang sekali firasatnya salah.

 

Waspadailah firasat seorang mu’min karena ia melihat dengan cahaya Allah.

 

Mata Hati yang Terbuka

Selain hal-hal di atas, Syāfi‘ī juga memiliki mata hati yang terbuka dan firasat yang kuat seperti gurunya, Mālik. Sifat seperti ini harus ada pada diri seorang ahli debat dan dialog agar ia dapat menaklukkan lawan-lawannya. Sifat ini juga harus ada pada diri seorang guru agar ia bisa mengetahui kondisi murid-muridnya, sehingga ia mendapatkan kemudahan dalam mengajarkan ilmunya kepada mereka berdasarkan kemampuan masing-masing. Guru semacam ini dapat menyeimbangan antara kemampuan murid dalam memahami ilmu dan kemampuan mereka dalam menjelaskannya. Sifat-sifat yang tersimpan dalam diri Syāfi‘ī, ditambah daya nalarnya, membuatnya banyak dikelilingi murid-murid dan sahabat.

 

Seorang guru yang cerdas adalah guru yang memiliki kekuatan firasat dan mata hati yang terbuka. Ia mengetahui kondisi dan kemampuan murid-muridnya sehingga mampu mengajar mereka sesuai daya nalar masing-masing. Inilah yang membuat Syāfi‘ī memiliki murid dan sahabat yang banyak.

 

Peka dan Tanggap

Dengan daya hafal yang kuat, kepekaan, dan sikap tanggap maka segala makna dapat dieksplorasi dengan mudah saat dibutuhkan. Orang yang memiliki kelebihan seperti ini, pikirannya tidak akan terkungkung dan cakrawalanya tidak tertutup terhadap segala hal. Seperti itulah Syāfi‘ī. Dengan pikiran yang terbuka ini, Syāfi‘ī selalu memberikan pencerahan kepada murid-muridnya melalui ide-ide dan pemikirannya sendiri. Di tangannya, segala hakikat dapat terkuak dan logika pun menjadi lurus dan tetap pada jalurnya.

 

Sikap peka dan cepat tanggap membuat Syāfi‘ī mudah menyerap semua makna, seakan ia mengalir begitu saja kepadanya. Tak satu pun makna tertutup baginya atau tak diketahuinya. Dengan demikian, semua hakikat menjadi terpampang jelas di matanya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *