2
Bab yang berjudul Syīts ini membahas dua topik utama, yaitu pemberian ilahi dan subjek tentang fungsi masing-masing Tanda Wali (Khātam-ul-Awliyā’) dan Tanda Rasul (Khātam-ur-Rasūl). Dalam kaitannya dengan yang pertama dari topik ini, Ibn ‘Arabī juga menyentuh subjek tentang kelatenan (latency) dan kecenderungan serta kemungkinan mengetahui kecenderungan seseorang.
Di bagian pertama dari bab ini, dia membahas persoalan pemberian dan karunia ilahi. Dia membagi pemberian ilahi dengan pelbagai cara, dan membahas hubungan seluruh hubungan antara permintaan dan pemberian sebagai respon terhadap permintaan, apakah ia tersurat ataukah tersirat.
Topik pertama dari bab ini barangkali memberikan sebuah petunjuk untuk judul bab ini: “Hikmah Penghembusan Nafas dalam Firman tentang Syīts.” Kata ‘Arab yang digunakan untuk “penghembusan nafas” (expiration) adalah dari akar kata nafakha, yang secara harfiah berarti “meniup”. Pemberian ilahi par excellence adalah pemberian eksistensi itu sendiri, penyebabnya sangat erat kaitannya dengan konsep Ibn ‘Arabī tentang Rahmat penciptaan, di mana kreativitas sering diistilahkan dengan Nafas Sang Pengasih (Nafas-ur-Raḥmān). Dengan kata lain, peniupan yang dirujuk dalam judul ini sesungguhnya proyeksi pengeluaran yang diilhami oleh hasrat ilahi untuk kesadaran-Diri yang, dari sudut pandang terciptanya eksistensi, adalah tindakan tertinggi dari pemberian dan kedermawanan ilahi. Semua pemberian khusus lain dari Allah menjadi aspek dari pemberian eksistensi orisinal, karena masing-masing pemberian khusus kepada makhluk tertentu hanya berperan untuk menegaskan perjanjian eksistensial, di mana Allah menegaskan signifikansi ontologis Kosmos. Pemberian universal itulah yang merupakan pemberian Esensi, sementara pemberian Nama-nama adalah manifestasi khusus dari anugerah tertinggi Allah sebagai yang Maha Memberi. Ibn ‘Arabī kembali ke tema ini dalam bab tentang Nabi Dāwūd.
Sebagaimana telah disebutkan, gagasan tentang pemberian ilahi ini dibubungkan Ibn ‘Arabī dengan konsep tentang kecenderungan laten in divinis. Ini berarti bahwa kualitas dan hakikat eksistensi sesuatu sebagai makhluk, secara umum dan detail, tidak lebih atau kurang daripada yang secara abadi dipengaruhi dalam esensi laten seseorang. Selanjutnya, tidak hanya pemberian atau respon, tetapi juga pembuatan permintaan itu sendiri ditentukan oleh predisposisi laten untuk melakukan yang demikian itu.
Kesadaran atau pengetahuan tentang sesuatu yang dianggap seseorang sebagai in aeternis, bagi Ibn ‘Arabī, merupakan bagian esensial dari apa yang dia sebut ma‘rifah atau gnosis, karena ia meliputi pengetahuan seseorang yang. Pada waktu yang sama, pengetahuan tentang Realitas ilahi, yang secara laten dan esensial merupakan aspek yang tak terelakkan, sebagai makna dari sabda: “Siapa pun yang mengenal dirinya, mengenal Tuhannya.” Gnosis, menurut penulis kita ini, adalah pengetahuan yang diperoleh dari pembelajaran profan, tetapi agaknya, sebagaimana ditegaskan oleh akar kata ‘Arabnya, sebuah pengakuan segera dan dipahami bukan sesuatu yang baru atau asing, tetapi agaknya keadaan atau kedudukan sesuatu sebagaimana ia benar-benar apa adanya, selalu, dan secara abadi demikian, yang merupakan pengetahuan yang dibawa sejak lahir pada manusia tetapi kemudian ditutupi dan dikaburkan oleh ketidaktahuan spiritual yang didorong oleh keasyikan dengan data sekejap dan parsial.
Gnosis inilah, yang bersifat potensial dalam semua manusia, yang merupakan warisan kesadaran spiritual dari para wali, nabi, rasul, dan khususnya Tanda itu sendiri. Bahkan, pengakuan normatif terhadap Manusia Sempurna merasakan semua perbedaan dan identitas dalam term-term Realitas, yang lain dari yang tidak ada atau yang ada.
Ibn ‘Arabī menyimpulkan bab ini dengan sebuah ramalan aneh berkenaan dengan nasib manusia sebagaimana dirumuskan dalam ajaran-ajarannya. Dia mengatakan bahwa manusia yang sesungguhnya dari garis keturunan Syīts, akan lahir di Cina, dan bahwa dia akan mempunyai seorang kakak perempuan. Dia menuju pada kenabian, yang setelahnya, manusia akan menjadi liar, kehilangan semangat dan hukum, hingga datangnya sang Hari Kiamat. Kemudian, dia menunjukkan bahwa sintesis manusia khusus terhadap ruh dan alam, di mana kita semua adalah bagiannya, akan berakhir, dan mata rantainya terputus.