Tentang Hakikat Ibadah – Jawaban Tuntas Beragam Masalah Aqidah Islam

JAWABAN TUNTAS
BERAGAM MASALAH AKIDAH ISLAM
(Judul Asli: AL-AJWIBAH AL-GHĀLIYAH
FĪ ‘AQĪDAH AL-FIRQAH AN-NĀJIYAH

Karya: Habib Zein Ibrahim Bin Sumaith

Terjemah: Muhammad Ahmad Vad‘aq
Penerbit: Mutiara Kafie

TENTANG HAKIKAT IBADAH

Apakah makna ibadah?


Ulama ahli taḥqīq menyatakan, menurut istilah syariat, ibadah adalah implementasi ketundukan semaksimal mungkin yang disertai keyakinan adanya sifat-sifat ketuhanan pada pihak yang ditunduki atau keyakinan adanya sesuatu dari kekhususan-kekhususan sifat-sifat ketuhanan, seperti kewenangan mutlak terhadap manfaat dan bahaya. Adapun bila tak disertai keyakinan ini, maka implementasi ketundukan tersebut sama sekali bukan sebagai ibadah meskipun dilakukan dalam bentuk sujud, apatah lagi yang kurang darinya.

Ini sebagaimana disinyalir dalam perintah Allah s.w.t. kepada para malaikat agar sujud kepada Ādam, lantas mereka sujud kepadanya. Juga dikisahkan bahwa Nabiyyullāh Ya‘qūb, istrinya, dan anak-anaknya sujud kepada Yūsuf.

Allah s.w.t. berfirman:

وَ رَفَعَ أَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ وَ خَرُّوْا لَهُ سُجَّدًا.

Dan dia menaikkan kedua orangtuanya ke atas singgasana. Dan mereka tunduk bersujud kepadanya.” (QS. Yūsuf: 100).

Al-Ḥāfizh Ibnu Katsīr mengatakan dalam tafsirnya bahwa maksudnya adalah kedua orangtuanya dan saudara-saudaranya yang masih ada dengan jumlah sebelas orang sujud kepadanya. Saat itu perbuatan semacam ini masih diperbolehkan dalam syariat-syariat mereka. Jika mereka menyapaikan salam kepada pembesar, maka mereka sujud kepadanya. Hal ini diperkenankan sejak zaman Ādam sampai syariat ‘Īsā a.s. Namun kemudian perbuatan ini dilarang dalam agama Islam dan ditetapkan bahwa sujud hanya murni ditujukan ke hadirat Allah s.w.t.

Dalam hadits dinyatakan bahwa Mu‘ādz datang ke negeri Syām. Di sana dia menemui penduduknya sedang sujud kepada uskup mereka. Saat pulang, dia sujud kepada Rasūlullāh s.a.w.

Beliau bertanya: “Apa ini, hai Mu‘ādz?!”

Mu‘ādz pun menjawab: “Aku melihat mereka sujud kepada uskup mereka, dan engkau adalah orang yang paling layak untuk disujudi.”

Beliau bersabda:

لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا.

Seandainya aku memerintahkan seseorang bersujud kepada orang lain, niscaya aku perintahkan kepada wanita agar bersujud kepada suaminya.

Maksudnya, bahwa sujud ini dulu diperkenankan dalam syariat mereka. (11)

Seandainya hanya berupa sujud kepada selain Allah dinyatakan sebagai ibadah secara mutlak, maka sujud ini tidak akan dapat dibenarkan dalam agama apapun, karena dengan demikian sudah termasuk dalam kekafiran. Sesuatu yang dinyatakan sebagai kekafiran tidak berbeda meskipun dalam syariat yang berbeda-beda dan Allah pun tidak akan pernah memerintahkan kekafiran kapan pun masanya.

Allah s.w.t. berfirman:

وَ لَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ.

Dan Allah tidak meridhai kekafiran pada hamba-hambaNya.” (QS. az-Zumar: 7).

Dengan demikian dapat diketahui bahwa sujud dan bentuk ketundukan lainnya bukan merupakan ibadah menurut istilah syariat kecuali dengan adanya keyakinan terhadap apa yang telah disebutkan di atas tadi. Seperti sujud dan doa kaum musyirikin kepada tuhan-tuhan mereka, di mana mereka meyakini itu.

Maksudnya, mereka telah kufur lantaran keyakinan mereka terkait sujud mereka pada adanya kewenangan mutlak terhadap manfaat dan bahaya, serta terpenuhinya segala yang dikehendaki tanpa ada hubungan dengan Allah s.w.t. Mereka tetap menganggap bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Besar dan sembahan-sembahan mereka memiliki ketuhanan di bawah tingkat ketuhanan-Nya. Sebagai konsekwensi dari sifat ketuhanan (yang mereka yakini itu), maka kehendak mereka harus dapat terpenuhi dan syafaat mereka harus diterima tanpa ada penolakan dan tidak tergantung pada idzin Allah s.w.t.

Ini disinyalir dalam firman Allah s.w.t. sekaligus sebagai pemungkiran terhadap apa yang mereka yakini:

أَمَنْ هذَا الَّذِيْ هُوَ جُنْدٌ لَكُمْ يَنْصُرُكُمْ مِنْ دُوْنِ الرَّحْمَنِ.

Atau siapakah yang akan menjadi bala tentara bagimu yang dapat membelamu selain (Allah) Yang Maha Pengasih?” (QS. al-Mulk: 20).

Dan firman Allah s.w.t.:

أَمْ لَهُمْ آلِهَةٌ تَمْنَعُهُمْ مِنْ دُوْنِنَا، لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ نَصْرِ أَنْفُسِهِمْ.

Ataukah mereka mempunyai tuhan-tuhan yang dapat memelihara mereka dari (‘adzab) Kami? Tuhan-tuhan mereka itu tidak sanggup menolong diri mereka sendiri.” (QS. al-Anbiyā’: 43)

Dan ayat-ayat lainnya:

Adapun penggapaian perantara kepada Allah oleh seorang muslim, permohonannya kepada-Nya dengan meminta syafaat Rasūlullāh s.a.w., doanya kepada-Nya dengan memohon pertolongan kepada-Nya, nazarnya serta penyembelihan hewan qurban-nya bagi salah seorang nabi dengan tujuan sedekah darinya termasuk ritual menyentuh dan mengelilingi kuburannya, maka meskipun sebagiannya dilarang namun ini semuanya sama sekali bukan merupakan ibadah kepada selain Allah. Sebab, tidak ada seorang pun di antara kaum muslimin yang meyakini ketuhanan selain Allah atau meyakini adanya manfaat dan bahaya serta pengaruh seorang pun selain Dia.

Sebagaimana yang kami lihat, mengapa sebagian kalangan berani mengkafirkan kaum muslimin?


Ketahuilah, bahwa kerancuan pemikiran mereka yang membuat mereka berani mengkafirkan kaum muslimin adalah perkataan mereka: “Setiap ibadah kepada selain Allah adalah syirik,” – meski perkataan ini benar dan sudah maklum bagi kalangan terpelajar maupun kalangan awam – tapi mereka sungguh telah sesat dan menyesatkan dalam (menerapkan) hal ini. Mereka membuat perkara-perkara yang tak dapat dibenarkan dan asumsi-asumsi dusta di atas kaidah itu. Seperti pernyataan mereka bahwa setiap doa bagi mayit atau orang yang tidak ada di tempat, nazar atau penyembelihan bagi seorang nabi atau wali, mengelilingi dan menyentuh kuburannya, adalah ibadah kepada selain Allah, dan bahwasanya orang yang melakukan sebagian dari perbuatan-perbuatan itu adalah kafir yang menyekutukan Allah.

Ini adalah kebodohan mereka dan kesalahan yang sangat jelas bertentangan dengan pendapat yang dianut oleh kalangan yang berlaku benar dan menganut pendapat yang shaḥīḥ. Itu lantaran mereka tidak mengerti apa yang dijadikan penilaian oleh syariat terkait makna ibadah dan hakikatnya.

Maksudnya, ibadah menurut istilah syariat adalah implementasi ketundukan secara maksimal disertai keyakinan terhadap ketuhanan pada yang disembah atau keyakinan terhadap suatu kekhususan sifat ketuhanan, yang terdapat padanya kewenangan mutlak dalam memberi manfaat dan bahaya.

Ketahuilah itu dan pahamilah. Jangan sampai anda terjebak dalam kekeliruan.

Catatan:

  1. 1). Hadits serupa diriwayatkan oleh Ibnu Mājah (1853), Aḥmad (4: 381), dan Ibnu Ḥibbān (4171); dari hadits ‘Abdullāh bin Abī Aufā r.a. Menurut al-‘Allāmah Arnauth sanad Ibnu Ḥibbān ḥasan. Dan dari sabda Rasūlullāh s.a.w.: “Seandainya aku memerintahkan….” disampaikan oleh at-Tirmidzī (1159) dan lainnya. Tafsīr Ibni Katsīr (2: 644).

2 Komentar

  1. Leny mariam berkata:

    Nanti banyak yg saya mao tanyakan

    1. Majlis Dzikir Hati Senang berkata:

      Baik sobat, kami tunggu saja untuk pertanyaannya ya. Trims.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *