Tidak boleh. Sungguh, itu merupakan perkara berbahaya yang mana tidaklah lancang seseorang melakukan itu kecuali bagi yang Allah sesatkan dan sasarkan. Ia buruk prasangkanya dan ia mengikuti hawa nafsunya.
Dalam riwayat sebuah hadits shaḥīḥ dinyatakan bahwa Nabi s.a.w. bersabda:
إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَ إِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ.
“Jika seseorang mengkafirkan saudaranya (sesama muslim), maka jatuhlah vonis kafir itu kepada salah satu dari keduanya. Jika ia (saudara itu) sebagaimana yang dia katakan, (maka ia kafir), dan jika tidak, (tuduhan kafir) kembali kepada dirinya.” (11).
Al-Imām Abū Bakar al-Bāqillānī raḥimahullāh berkata: “Menganggap seribu orang kafir masuk Islam dengan satu hal yang meragukan keislaman mereka, lebih ringan daripada mengkafirkan seorang muslim dengan seribu hal yang meragukan kekafirannya.”
Jika demikian halnya mengkafirkan seorang muslim, lalu bagaimana halnya orang yang lancang mengkafirkan mayoritas kaum muslimin dan memvonis mereka berbuat syirik hanya karena perbuatan yang muncul dari mereka berupa tawassul dan mencari keberkahan dengan bekas orang-orang saleh kala kekokohan iman mereka dan hati mereka pun dipenuhi tauhid pada Allah Tuhan semesta alam?!
Untuk membantah orang yang menyangka demikian dan menempuh madzhab yang membinasakan ini cukuplah dengan ucapan Rasūlullāh s.a.w. yang telah bersabda:
إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ أَيِسَ أَنْ يَعْبُدَهُ الْمُصَلُّوْنَ فِيْ جَزِيْرَةِ الْعَرَبِ، وَ لكِنْ فِي التَّحْرِيْشِ بَيْنَهُمْ.
“Sesungguhnya syaithan telah putus asa untuk disembah oleh orang-orang yang shalat di Jazīrah ‘Arab, akan tetapi ia tidak putus asa memprovokasi di antara sesama mereka.” (22).
Di antara hadits ini Rasūlullāh s.a.w. telah bersaksi bahwa orang-orang yang shalat dari umat ini tidak akan menyembah selain Allah selama-lamanya dan tidak akan mempersekutukan Allah dengan tuhan lain.
Dalam satu riwayat disebutkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda dalam Haji Wada‘:
إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ أَيِسَ مِنْ أَنْ يُعْبَدَ فِيْ بَلَادِكَمْ هذِهِ أَبَدًا وَ لكِنْ سَتَكُوْنُ لَهُ طَاعَةٌ فِيْمَا تَحْتَقِرُوْنَ مِنْ أَعْمَالِكُمْ فَسَيَرْضَى بِهِ.
“Sesungguhnya syaithan telah putus asa untuk disembah di negeri kalian ini selama-selamanya. Akan tetapi ia akan mendapatkan ketaatan pada apa yang kalian remehkan dari perbuatan-perbuatan kalian, maka ia pun akan puas dengannya.” (33)
Beliau adalah ash-Shādiq-ul-Mashdūq (orang yang benar lagi dibenarkan) yang tidak bertutur dari hawa nafsunya, melainkan wahyu yang diwahyukan. Maka apakah ucapannya menyalahi hal tersebut?
Demi Allah tidak. Tidak mungkin beliau demikian.