138-162 Buku 1 – Matan al-‘Aqidah ath-Thahawiyah (Matan Aswaja – Catatan Wahhabi – SH.) – Terjemahan Matan 4 Kitab Akidah Aswaja

TERJEMAH MATAN
EMPAT KITAB AKIDAH
AHL-US-SUNNAH WAL-JAMĀ‘AH

Penulis:
Al-‘AQĪDAH ATH-THAḤĀWĪ

Penulis: Al-Imām Abū Ja‘far ath-Thaḥāwī
(Matan Aswaja – Catatan Wahhabi – SH.)

AL-‘AQĪDAH AL-WĀSITHIYYAH
Penulis: Syaikh-ul-Islām Ibnu Taimiyyah

(Matan Salafi (Aqidah al-Qur’an dan Sunnah) – SH.)

AL-USHŪL ATS-TSALĀTSAH
Penulis: Al-Imām Muḥammad Bin ‘Abd-il-Wahhāb

(Matan Wahhabi – SH.)

KASYF ASY-SYUBUHĀT
Penulis: Al-Imām Muḥammad Bin ‘Abd-il-Wahhāb

(Matan Wahhabi – Catatan Wahhabi – SH.)

Penerjemah:
‘Abdurrahman Nuryaman
‘Izzudin Karimi, Lc
Zainal ‘Abidin Syamsuddin, Lc
‘Ainul Haris ‘Arifin, Lc
Ahmad Amin Sjihab, Lc

Penerbit:
DARUL HAQ, Jakarta

Rangkaian Pos: Buku 1 Matan al-‘Aqidah ath-Thahawiyah (Matan Aswaja – Catatan Wahhabi – SH.) - Terjemahan Matan 4 Kitab Akidah Aswaja

[138] وَ الْإِيْمَانُ هُوَ الْإِقْرَارُ بِاللَّسَانِ وَ التَّصْدِيْقُ بِالْـجَنَانِ.

Iman adalah: Pengakuan dengan lisan dan pembenaran dengan hati.” (51).

[139] وَ جَمِيْعُ مَا صَحَّ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مِنَ الشَّرْعِ وَ الْبَيَانِ كُلُّهُ حَقٌّ.

Apa saja yang (telah diriwayatkan secara) shahih dari Rasūlullāh s.a.w. berupa syari‘at dan penjelasan, semuanya adalah ḥaqq (benar) adanya.”

[140] وَ الْإِيْمَانُ وَاحِدٌ، وَ أَهْلُهُ فِيْ أَصْلِهِ سَوَاءٌ

Iman adalah satu, dan orang-orang yang beriman adalah sama.” (62)

[141] وَ التَّفَاضُلُ بَيْنَهُمْ بِالْـخَشْيَةِ وَ التُّقَى وَ مُخَالَفَةِ الْـهَوَى وَ مُلَازَمَةِ الْأَوْلَى.

Perbedaan tingkatan keutamaan di antara mereka adalah dengan rasa takut dan ketaqwaan (kepada Allah), melawan hawa nafsu, dan senantiasa mencari yang paling utama.”

[142] وَ الْـمُؤْمِنِيْنَ كُلُّهُمْ أَوْلِيَاءُ الرَّحْمنِ، وَ أَكْرَمُهُمْ عِنْدَ اللهِ أَطْوَعُهُمْ وَ أَتْبَعُهُمْ لِلقُرْءَانِ.

Orang-orang Mu’min semuanya adalah para wali-wali (kekasih-kekasih) Allah Yang Maha Pengasih, dan yang paling mulia di antara mereka di sisi Allah adalah yang paling taat dan paling mantap mengikuti al-Qur’ān.”

[143] وَ الْإِيْمَانُ هُوَ الْإِيْمَانُ بِاللهِ، وَ مَلَائِكَتِهِ، وَ كُتُبِهِ، وَ رُسُلِهِ، وَ الْيَومِ الْآخِرِ، وَ الْقَدَرِ خَيْرِهِ وَ شَرِّهِ، وَ حُلْوِهِ وَ مُرِّهِ مِنَ اللهِ تَعَالَى.

Iman adalah: beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, Hari Akhir dan Qadar yang baik maupun yang buruk, yang manis maupun yang pahit, (semuanya) adalah dari Allah ta‘ālā.”

[144] وَ نَحْنُ مُؤْمِنُوْنَ بِذلِكَ كُلّهِ،

Dan kita beriman kepada itu semua.”

[145] لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِن رُسُلِهِ وَ نُصَدِّقُهُمْ كُلُّهُمْ عَلَى مَا جَاءُوْا بِهِ.

Kita tidak membedakan seorang pun dari para rasūl-Nya, dan kita wajib membenarkan mereka semua atas apa yang mereka bawa.”

[146] وَ أَهْلُ الْكَبَائِرِ مِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِي النَّارِ لَا يَخْلُدُوْنَ إِذاَ مَاتُوْا وَ هُمْ مُوَحِّدُوْنَ

Para pelaku dosa-dosa besar dari umat Nabi Muḥammad s.a.w. tidak dikekalkan (dalam neraka), apabila mereka mati dalam keadaan bertauhid.”

[147] وَ إِنْ لَمْ يَكُوْنُوْا تَائِبِيْنَ بَعْدَ أَنْ لَقُوا اللهَ عَارِفِيْنَ مُؤْمِنِيْنَ، وَ هُمْ فِيْ مَشِيْئَتِهِ وَ حُكْمِهِ إِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُمْ وَ عَفَا عَنْهُمْ بِفَضْلِهِ، كَمَا ذَكَرَ عَزَّ وَ جَلَّ فِيْ كِتَابِهِ: {وَ يِغْفِرُ مَا دُوْنَ ذلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ}، وَ إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُمْ فِي النَّارِ بِعَدْلِهِ

Jika mereka tidak bertaubat, setelah (nanti) mereka bertemu Allah sebagai orang-orang yang mengetahui lagi beriman, maka mereka berada di bawah kehendak (Masyī’ah) dan ketentuan hukum-Nya, jika Allah menghendaki, Dia (bisa) mengampuni mereka dengan karunia-Nya, sebagaimana yang Allah ‘azza wa jalla sebutkan di dalam Kitāb-Nya: “….. dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (an-Nisā’: 48). Dan jika Dia menghendaki, Dia (bisa) mengadzab mereka di dalam neraka dengan keadilan-Nya.”

[148] ثُمَّ يُخْرِجُهُمْ مِنْهَا بِرَحْمَتِهِ وَ شَفَاعَةِ الشَّافِعِيْنَ مِنْ أَهْلِ طاَعَتِهِ

Kemudian Allah ta‘ālā mengeluarkan mereka darinya dengan Raḥmat-Nya dan syafa‘at para pemberi syafa‘at dari orang-orang yang taat kepada-Nya.”

[149] ثُمَّ يَبْعَثُهُمْ إِلَى جَنَّتِهِ،

Kemudian Allah akan mengirim mereka ke surga-Nya.”

[150] وَ ذلِكَ بِأَنَّ اللهَ تَعَالَى تَوَلَّى أَهْلَ مَعْرِفَتِهِ وَ لَمْ يَجْعَلْهُمْ فِي الدَّارَيْنِ كَأَهْلِ نُكْرَتِهِ الّذِيْنَ خَابُوْا مِنْ هِدَايَتِهِ وَ لَمْ يَنَالُوْا مِنْ وِلَايَتِهِ.

Hal itu karena Allah ta‘ala mencintai orang-orang yang berma‘rifat terhadap-Nya (yaitu orang-orang yang beriman kepada-Nya), dan tidak menjadikan mereka di dunia dan akhirat (sama) seperti orang-orang yang ingkar kepada-Nya, yaitu orang-orang yang gagal mendapatkan Hidāyah-Nya, dan tidak dapat meraih kecintaan-Nya.

[151] اللَّهُمَّ يَا وَليَّ الْإِسْلَامِ وَ أَهْلِهِ ثَبِّتْنَا عَلَى الْإِسْلَامِ حَتَّى نَلْقَاكَ بِهِ.

Ya Allah, Wali (pembela) Islam dan orang-orang yang memeluknya, teguhkan kami atas Islam hingga kami bertemu Engkau dengannya.

[152] وَ نَرَى الصَّلَاةَ خَلْفَ كُلِّ بَرٍّ وَ فَاجِرٍ مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ، وَ عَلَى مَنْ مَاتَ مِنْهُمْ.

Kami juga berpandangan bahwa shalat (boleh) dilaksanakan di belakang setiap (imām) yang shahih maupun yang pendosa dari Ahl-ul-Qiblah (kaum Muslimin), juga (boleh menshalatkan yang shāliḥ dan yang pendosa) yang meninggal dunia di antara mereka.”

[153] وَ لَا نُنَـزِّلُ أَحَدًا مِنْهُمْ جَنَّةً وَ لَا نَارًا،

Dan kami tidak memastikan tempat seseorang dari mereka di surga ataupun di neraka.”

[154] وَ لَا نَشْهَدُ عَلَيْهِمْ بِكُفْرٍ وَ لَا بِشِرْكٍ وَ لَا بِنِفَاقٍ، مَا لَمْ يَظْهَرْ مِنْهُمْ شَىْءٌ مِنْ ذلِكَ،

Dan kami juga tidak mempersaksikan atas diri mereka dengan kekufuran, kesyirikan, ataupun kemunafikan, selama hal itu tidak tampak pada diri mereka.”

[155] وَ نَذَرُ سَرَائِرَهُمْ إِلَى اللهِ تَعَالَى.

Dan kami menyerahkan rahasia-rahasia (hal-hal yang tidak terlihat) pada diri mereka kepada Allah ta‘ālā.”

[156] وَ لَا نَرَى السَّيْفَ عَلَى أَحَدٍ مِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِلَّا مَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ السَّيْفُ.

Dan kami juga tidak berpandangan bolehnya mengangkat senjata terhadap seorang pun dari umat Nabi Muḥammad s.a.w., kecuali orang yang memang wajib dihadapi dengan senjata.

[157] وَ لَا نَرَى الْـخُرُوْجَ عَلَى أَئِمَّتِنَا وَ وُلَاةِ أَمُوْرِنَا

Kami juga tidak berpandangan bolehnya memberontak kepada para penguasa dan pemimpin kami.”

[158] وَ إِنْ جَارُوْا،

Sekalipun mereka zhalim.”

[159] وَ لَا نَدْعُوْ عَلَيْهِمْ،

Dan kami juga tidak mendoakan mereka agar mendapatkan bencana atau kebinasaan.”

[160] وَ لَا نَنْـزِعُ يَدًا مِنْ طَاعَتِهِمْ،

Dan kami juga tidak (membolehkan) mencabut tangan (bai‘at) dari kewajiban taat kepada mereka.”

[161] وَ نَرَى طَاعَتَهُمْ مِنْ طَاعَةِ اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ فَرِيْضَةً، مَا لَمْ يَأْمُرُوْا بِمَعْصِيَةٍ،

Kami berpandangan bahwa menaati mereka yang merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla adalah suatu kewajiban, selama mereka tidak memerintahkan perbuatan maksiat.”

[162] وَ نَدْعُوْ لَهُمْ بِالصَّلَاحِ وَ الْـمُعَافَاةِ.

Kami berdoa bagi mereka agar mendapatkan keshāliḥan dan dianugerahi keafiatan.

 

Catatan:

5). Ini adalah definisi Murji‘ah, yang membatasi Iman hanya pada pengakuan dengan lisan dan pembenaran dengan hati.

Pandangan yang benar: Iman adalah ucapan dengan lisan, i‘tiqad dengan hati, dan ‘amal dengan anggota badan. Maka ‘amal masuk dalam hakikat Iman, dan bukan sesuatu yang lebih dari Iman. Barang siapa yang membatasi definisi Iman hanya pada ucapan dengan lisan dan pembenaran dengan hati, dan tidak menyertakan ‘amal, maka dia tidak termasuk dalam ahli Iman yang benar. Iman, sekali lagi, sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama adalah: ucapan dengan lisan, pembenaran (i‘tiqād) dengan hati, dan ‘amal dengan anggota badan, yang bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.

Allah berfirman:

وَ إِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ إِيْمَانًا وَ عَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ.

Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, bertambahlah Iman mereka (karenanya) dan kepada Rabb-lah mereka bertawakkal.” (al-Anfāl: 2).

Dan juga berfirman:

فَأَمَّا الَّذِيْنَ آمَنُوْا فَزَادَتْهُمْ إِيْمَانًا.

Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah Imannya.” (at-Taubah: 124).

Juga firman-Nya:

وَ يَزَدَادَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِيْمَانًا.

“…. supaya orang yang beriman bertambah imannya.” (al-Muddatstsir: 31).

Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa Iman itu dapat bertambah dan berkurang, sebagaimana juga dalam sabda Nabi s.a.w.:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَ ذلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ.

Barang siapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah dia mencegahnya dengan tangannya, jika tidak mampu mak dengan lisannya, jika tidak mampu (juga) maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah Iman.” (HR. Muslim).

Ini jelas menunjukkan bahwa Iman itu bisa berkurang.

Dalam riwayat lain dari hadits yang sama:

وَ لَيْسَ وَرَاءَ ذلِكَ مِنَ الْإِيْمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ.

“….dan dibalik itu tidak ada lagi Iman, sekalipun sebesar biji sawi.” (HR. Muslim).

Ini juga jelas bahwa Iman itu dapat berkurang, sampai sekecil biji sawi.

Juga sebagaimana disebutkan di dalam hadits shaḥīḥ:

أَخْرِجُوْا مِنَ النَّارِ مَنْ كَانَ فِيْ قَلْبِهِ أَدْنَى أَدْنَى مِثْقَالِ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ مِنْ إِيْمَانٍ.

Keluarkanlah dari neraka orang yang di dalam hatinya masih ada Iman, sekalipun sebesar biji sawi yang paling kecil.” (HR. al-Bukhārī dan Muslim).

Maka Iman adalah: ucapan dengan lisan, i‘tiqād dengan hati, dan ‘amal dengan anggota badan, yang bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Inilah definisi yang shaḥīḥ yang bersumber dari al-Qur’ān dan as-Sunnah.

Bukan sebagaimana yang dikatakan oleh al-Ḥanafiyyah: Iman adalah ucapan dengan lisan dan i‘tiqād dengan hati saja.

Bukan sebagaimana yang dikatakan oleh al-Karamiyyah: Iman adalah ucapan dengan lisan saja.

Bukan sebagaimana yang dikatakan oleh al-Asyā‘irah: Iman adalah i‘tiqād dengan hati saja. Dan bukan sebagaimana yang dikatakan oleh al-Jahmiyyah: Iman itu adalah ma‘rifat dengan hati semata. Murji‘ah ada empat kelompok, yang paling jauh adalah al-Jahmiyyah, dan berdasarkan pandangan mereka, Fir‘aun adalah seorang Mu’min, karena dia mengenal (Allah), iblis juga Mu’min; karena dia mengenal (Allah) dengan hatinya.

Dan berdasarkan pandangan al-Asyā‘irah – yaitu pembenaran dengan hati mereka semata – Abū Lahab, Abū Thālib, Abū Jahal dan semua kaum musyrikin adalah orang-orang Mu’min, karena mereka yakin dengan hati mereka dan membenarkan Nabi s.a.w. di dalam hati mereka, akan tetapi mereka dihalangi oleh rasa angkuh dan dengki untuk mengikuti Nabi s.a.w.

Orang-orang Yahudi juga mengakui bahwasanya beliau adalah Rasūl Allah dalam hati mereka, akan tetapi sifat angkuh dan dengki (menghalangi mereka untuk mengikuti Rasūlullāh s.a.w.). (At-Ta‘līqāt-ul-Mukhtasharatu ‘Alā Matn-il-‘Aqīdat-ith-Thaḥāwiyyah, Syaikh Shāliḥ bin Fauzān al-Fauzān).

6). Ini keliru; karena Iman bukan satu, dan orang-orang yang beriman tidaklah sama, akan tetapi Iman saling mengungguli, dapat bertambah dan berkurang, kecuali dalam pandangan golongan Murji‘ah.

Manusia tidak sama dalam membenarkan dengan hati. Iman Abū Bakar ash-Shiddīq tidak sama dengan Iman seorang yang fasik dari kaum Muslim; karena orang yang fasik dari kaum Muslim Imannya sangat lemah, sedangkan keimanan Abū Bakar ash-Shiddīq seimbang (bahkan lebih kuat) dari Iman semua umat ini. Maka manusia pada dasarnya tidak sama (dalam tingkat keimanan). Ini pada dasarnya (dari segi keimanannya).

Demikian juga dari segi ‘amal, manusia saling mengungguli dalam ‘amal. Di antara mereka ada yang sebagaimana difirmankan Allah ‘azza wa jalla:

ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِيْنَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا، فمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ.

Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada orang-orang yang menganiaya diri mereka sendiri.” (Fāthir: 32).

Orang yang maksiat (dalam ayat) ini, yaitu yang kemaksiatannya selain syirik, dia tentu saja zhalim terhadap dirinya; karena dengan demikian dia telah membawa dirinya kepada bahaya.

وَ مِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ.

“…. dan di antara mereka ada yang petengahan”, ialah orang yang melaksanakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan.

وَ مِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللهِ.

“…. dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah.”

Ini adalah orang yang melakukan ‘amal-‘amal wajib dan ‘amal-‘amal sunnah, meninggalkan apa-apa yang diharamkan dan yang dimakruhkan, serta meninggalkan pula berbagai hal yang pada dasarnya mubāḥ (boleh) sebagai tindakan kehati-hatian.

Maka umat ini tidak sama (dalam hal keimanan), dan paling tidak ada tiga tingkatan: pertama, orang yang zhalim atas dirinya, kedua, orang yang tengah-tengah, dan ketiga, orang yang telah lebih dahulu (segera dan berlomba) berbuat segala kebaikan. Ini semua menunjukkan bahwa Iman itu berbeda-beda tingkatannya. (At-Ta‘līqāt-ul-Mukhtasharatu ‘Alā Matn-il-‘Aqīdat-ith-Thaḥāwiyyah, Syaikh Shāliḥ bin Fauzān al-Fauzān).

Catatan:

  1. 5). Ini adalah definisi Murji‘ah, yang membatasi Iman hanya pada pengakuan dengan lisan dan pembenaran dengan hati.

    Pandangan yang benar: Iman adalah ucapan dengan lisan, i‘tiqad dengan hati, dan ‘amal dengan anggota badan. Maka ‘amal masuk dalam hakikat Iman, dan bukan sesuatu yang lebih dari Iman. Barang siapa yang membatasi definisi Iman hanya pada ucapan dengan lisan dan pembenaran dengan hati, dan tidak menyertakan ‘amal, maka dia tidak termasuk dalam ahli Iman yang benar. Iman, sekali lagi, sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama adalah: ucapan dengan lisan, pembenaran (i‘tiqād) dengan hati, dan ‘amal dengan anggota badan, yang bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.

    Allah berfirman:

    وَ إِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ إِيْمَانًا وَ عَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ.

    Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, bertambahlah Iman mereka (karenanya) dan kepada Rabb-lah mereka bertawakkal.” (al-Anfāl: 2).

    Dan juga berfirman:

    فَأَمَّا الَّذِيْنَ آمَنُوْا فَزَادَتْهُمْ إِيْمَانًا.

    Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah Imannya.” (at-Taubah: 124).

    Juga firman-Nya:

    وَ يَزَدَادَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِيْمَانًا.

    “…. supaya orang yang beriman bertambah imannya.” (al-Muddatstsir: 31).

     

    Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa Iman itu dapat bertambah dan berkurang, sebagaimana juga dalam sabda Nabi s.a.w.:

    مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَ ذلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ.

    Barang siapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah dia mencegahnya dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, jika tidak mampu (juga) maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah Iman.” (HR. Muslim).

    Ini jelas menunjukkan bahwa Iman itu bisa berkurang.

    Dalam riwayat lain dari hadits yang sama:

    وَ لَيْسَ وَرَاءَ ذلِكَ مِنَ الْإِيْمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ.

    ….dan dibalik itu tidak ada lagi Iman, sekalipun sebesar biji sawi.” (HR. Muslim).

    Ini juga jelas bahwa Iman itu dapat berkurang, sampai sekecil biji sawi.

    Juga sebagaimana disebutkan di dalam hadits shaḥīḥ:

    أَخْرِجُوْا مِنَ النَّارِ مَنْ كَانَ فِيْ قَلْبِهِ أَدْنَى أَدْنَى مِثْقَالِ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ مِنْ إِيْمَانٍ.

    Keluarkanlah dari neraka orang yang di dalam hatinya masih ada Iman, sekalipun sebesar biji sawi yang paling kecil.” (HR. al-Bukhārī dan Muslim).

    Maka Iman adalah: ucapan dengan lisan, i‘tiqād dengan hati, dan ‘amal dengan anggota badan, yang bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Inilah definisi yang shaḥīḥ yang bersumber dari al-Qur’ān dan as-Sunnah.

    Bukan sebagaimana yang dikatakan oleh al-Ḥanafiyyah: Iman adalah ucapan dengan lisan dan i‘tiqād dengan hati saja.

    Bukan sebagaimana yang dikatakan oleh al-Karamiyyah: Iman adalah ucapan dengan lisan saja.

    Bukan sebagaimana yang dikatakan oleh al-Asyā‘irah: Iman adalah i‘tiqād dengan hati saja. Dan bukan sebagaimana yang dikatakan oleh al-Jahmiyyah: Iman itu adalah ma‘rifat dengan hati semata. Murji‘ah ada empat kelompok, yang paling jauh adalah al-Jahmiyyah, dan berdasarkan pandangan mereka, Fir‘aun adalah seorang Mu’min, karena dia mengenal (Allah), iblis juga Mu’min; karena dia mengenal (Allah) dengan hatinya.

    Dan berdasarkan pandangan al-Asyā‘irah – yaitu pembenaran dengan hati mereka semata – Abū Lahab, Abū Thālib, Abū Jahal dan semua kaum musyrikin adalah orang-orang Mu’min, karena mereka yakin dengan hati mereka dan membenarkan Nabi s.a.w. di dalam hati mereka, akan tetapi mereka dihalangi oleh rasa angkuh dan dengki untuk mengikuti Nabi s.a.w.

    Orang-orang Yahudi juga mengakui bahwasanya beliau adalah Rasūl Allah dalam hati mereka, akan tetapi sifat angkuh dan dengki (menghalangi mereka untuk mengikuti Rasūlullāh s.a.w.). (At-Ta‘līqāt-ul-Mukhtasharatu ‘Alā Matn-il-‘Aqīdat-ith-Thaḥāwiyyah, Syaikh Shāliḥ bin Fauzān al-Fauzān).

  2. 6). Ini keliru; karena Iman bukan satu, dan orang-orang yang beriman tidaklah sama, akan tetapi Iman saling mengungguli, dapat bertambah dan berkurang, kecuali dalam pandangan golongan Murji‘ah.

    Manusia tidak sama dalam membenarkan dengan hati. Iman Abū Bakar ash-Shiddīq tidak sama dengan Iman seorang yang fasik dari kaum Muslim; karena orang yang fasik dari kaum Muslim Imannya sangat lemah, sedangkan keimanan Abū Bakar ash-Shiddīq seimbang (bahkan lebih kuat) dari Iman semua umat ini. Maka manusia pada dasarnya tidak sama (dalam tingkat keimanan). Ini pada dasarnya (dari segi keimanannya).

    Demikian juga dari segi ‘amal, manusia saling mengungguli dalam ‘amal. Di antara mereka ada yang sebagaimana difirmankan Allah ‘azza wa jalla:

    ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِيْنَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا، فمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ.

    Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada orang-orang yang menganiaya diri mereka sendiri.” (Fāthir: 32).

    Orang yang maksiat (dalam ayat) ini, yaitu yang kemaksiatannya selain syirik, dia tentu saja zhalim terhadap dirinya; karena dengan demikian dia telah membawa dirinya kepada bahaya.

    وَ مِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ.

    “…. dan di antara mereka ada yang petengahan”, ialah orang yang melaksanakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan.

    وَ مِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللهِ.

    “…. dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah.”

    Ini adalah orang yang melakukan ‘amal-‘amal wajib dan ‘amal-‘amal sunnah, meninggalkan apa-apa yang diharamkan dan yang dimakruhkan, serta meninggalkan pula berbagai hal yang pada dasarnya mubāḥ (boleh) sebagai tindakan kehati-hatian.

    Maka umat ini tidak sama (dalam hal keimanan), dan paling tidak ada tiga tingkatan: pertama, orang yang zhalim atas dirinya, kedua, orang yang tengah-tengah, dan ketiga, orang yang telah lebih dahulu (segera dan berlomba) berbuat segala kebaikan. Ini semua menunjukkan bahwa Iman itu berbeda-beda tingkatannya. (At-Ta‘līqāt-ul-Mukhtasharatu ‘Alā Matn-il-‘Aqīdat-ith-Thaḥāwiyyah, Syaikh Shāliḥ bin Fauzān al-Fauzān).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *