Nabi Dzulkifli nama aslinya adalah Basyar. Ia putra Nabi Ayyūb dengan istrinya Raḥmah. Seperti ayahnya, Dzulkifli juga mempunyai sifat yang sabar dan teguh pendirian. Ia hidup di sebuah negeri yang dipimpin oleh seorang raja yang arif dan bijaksana. Di dalam al-Qur’ān diterangkan tentang keutamaannya:
وَ إِسْمَاعِيْلَ وَ إِدْرِيْسَ وَ ذَا الْكِفْلِ كُلٌّ مِّنَ الصَّابِرِيْنَ. وَ أَدْخَلْنَاهُمْ فِيْ رَحْمَتِنَا إِنَّهُمْ مِّنَ الصَّالِحِيْنَ
Artinya:
“Dan (ingatlah kisah) Ismā‘īl, Idrīs dan Dzulkifli. Semua mereka termasuk orang-orang yang sabar. Kami telah memasukkan mereka ke dalam rahmat Kami. Sesungguhnya mereka termasuk orang-orang yang shāliḥ.” (QS. al-Anbiyā’: 85-86)
Dzulkifli artinya “sanggup” atau mempunyai kesanggupan. Raja yang memerintahkan ketika itu telah lanjut usianya dan sudah tidak sanggup lagi mengurus pemerintahannya. Maka raja itu kemudian membuat pemberitahuan di hadapan rakyatnya: “Siapa saja di antara kalian yang sanggup berpuasa di siang hari, beribadah pada malam harinya, dan tidak marah-marah, maka kepadanya akan aku serahkan kerajaan ini, karena aku sudah tua.” Tiba-tiba berdirilah pemuda Basyar seraya berkata lantang: “saya sanggup!” Raja mengulangi lagi pertanyaannya, dan semua yang hadir hanya membisu kecuali pemuda Basyar yang lagi-lagi lantang berkata: “saya sanggup!” Itulah sebabnya, pemuda Basyar kemudian diberi gelar “Dzulkifli,” artinya “yang sanggup.”
Setelah Nabi Dzulkifli menjadi raja, beliau mengatur waktuya dengan sebaik-baiknya untuk mengurus kerajaan dan ummatnya. Waktu siang dipergunakan untuk berpuasa, malamnya untuk beribadah kepada Allah s.w.t., dan waktu-waktu lain untuk tidur.
Pada suatu hari, ketika Nabi Dzulkifli a.s. akan tidur, datanglah syaithan yang menyerupai seorang manusia. Orang itu pura-pura mengadukan masalahnya supaya diselesaikan. Karena saat itu adalah waktu tidurnya, maka Nabi Dzulkifli a.s. memerintahkan wakilnya untuk menyelesaikan semua persoalan tamunya itu. Tapi, orang itu ternyata tidak menerima cara demikian. Ia menghendaki agar Nabi Dzulkifli yang menyelesaikannya, bukan wakilnya. Meskipun telah dijelaskan kepadanya bahwa saat itu raja harus tidur, orang itu ngotot dengan permintaannya. Ia tidak mau pergi tetapi menunggu. Akhirnya, terpaksa Nabi Dzulkifli a.s. melayani, dan akibatnya waktu tidurnya habis. Setelah urusan orang itu selesai, dan kemudian ia pergi barulah Nabi Dzulkifli a.s. mengetahui bahwa orang itu adalah syaithan yang sengaja menggodanya. Meskipun demikian, Nabi Dzulkifli a.s. tidak marah karenanya, beliau tetap sabar.
Pada suatu hari yang lain, terjadilah penentangan oleh orang-orang yang durhaka kepada Allah terhadap pemerintahan Nabi Dzulkifli. Maka Nabi Dzulkifli a.s. memerintahkan rakyatnya untuk berperang melawan orang-orang itu. Tetapi ummat Nabi Dzulkifli a.s. menolak perintah itu seraya berkata: “Wahai Tuan, kami takut berperang karena kami masih ingin hidup di dunia ini. Jika engkau memintakan kepada Allah untuk menjamin keselamatan kami, maka kami bersedia pergi berperang.” Mendengar itu, Nabi Dzulkifli a.s. tidak marah, tetapi berdo’a kepada Allah s.w.t.: “Ya Allah, aku telah menyampaikan risalah-Mu kepada mereka agar maju berperang, tetapi mereka mempunyai permintaan, dan sesungguhnya Allah mengetahui permintaan mereka. Kemudian turunlah wahyu Allah kepada Nabi Dzulkifli a.s.: “Wahai Dzulkifli, Aku telah mengetahui permintaan mereka dan Aku mendengar do’amu. Semuanya akan Aku kabulkan.”
Begitulah, Nabi Dzulkifli a.s. senantiasa menjalankan tugasnya dengan penuh kesabaran.