Para ulama telah membagi bid‘ah menjadi dua bagian bid‘ah ḥasanah (baik/terpuji) dan bid‘ah qabīḥah (buruk/tercela).
Bid‘ah ḥasanah adalah perbuatan-perbuatan yang menurut para imam yang diberi petunjuk sesuai dengan al-Qur’ān dan Sunnah dari segi mengutamakan yang lebih bermanfaat dan lebih baik, contohnya seperti apa yang dilakukan para sahabat menghimpun al-Qur’ān ke dalam mushḥaf, mengumpulkan orang-orang untuk mengerjakan shalat Tarāwiḥ berjama‘ah, dan adzan pertama pada hari Juma‘at. Demikian pula hal-hal baru seperti pembuatan pondok-pondok pesantren, sekolah-sekolah, dan berbagai kebaikan lainnya.
Maka setiap perbuatan baik yang tidak dikenal pada masa Nabi adalah bid‘ah ḥasanah yang diberi pahala pelakunya, dengan dalil sabda Rasūlullāh s.a.w.:
مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فِي الْإِسْلَامِ فَلَهُ أَجْرُهَا وَ أَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُضَ مِنْ أُجُوْرهِمْ شَيْءٌ.
“Siapa yang membuat sunnah yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang meng‘amalkannya sesudahnya tanpa sedikitpun mengurangi pahala mereka.” (11).
Bid‘ah tercela adalah setiap perbuatan yang menyalahi nash-nash al-Qur’ān dan Sunnah atau melampaui ijma‘ umat, seperti madzhab-madzhab yang rusak dan akidah-akidah palsu yang bertentangan dengan keyakinan Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah.
Dalilnya adalah hadits-hadits yang mencela bid‘ah, seperti sabda Rasūlullāh s.a.w.:
كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.
“Setiap hal baru adalah bid‘ah dan setiap bid‘ah adalah sesat.” (22)
Maksudnya itu adalah hal-hal baru yang batil dan tak diridhai Allah dan Rasūl-Nya dengan dalil sabda Rasūlullāh s.a.w.:
مَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ ضَلَالَةٍ لَا تُرْضِي اللهَ وَ رَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لَا يُنْقُضُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ.
“Siapa yang membuat bid‘ah sesat yang tidak diridhai Allah dan Rasūl-Nya, atasnya dosa orang yang meng‘malkannya tanpa sedikitpun mengurangi dosa-dosa mereka.” (33).
Dan sabda beliau:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.
“Siapa yang mengadakan hal baru dalam urusan kami ini yang bukan termasuk bagiannya, maka dia tertolak.” (44).
Dalam sebuah hadits shahih Nabi s.a.w. bersabda: “Hendaknya kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para khalifah yang diberi petunjuk (al-khulafā’-ur-rāsyidīn). Gigitlah dengan geraham dan waspadalah terhadap perkara baru. Sebab setiap perkara yang baru itu adalah bid‘ah.” (55)
Pada riwayat terdapat tambahan: “Dan setiap bid‘ah itu sesat dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (66).
Ulama mengatakan bahwa hadits ini termasuk hadits umum yang dikhususkan. Yang dimaksud adalah perkara-perkara baru yang batil dan bid‘ah-bid‘ah tercela yang tidak ada dasarnya dalam syariat. Itulah bid‘ah yang terlarang. Berbeda dengan yang memiliki dasar dalam syariat, maka itu adalah bid‘ah yang terpuji. Sebab itu merupakan bid‘ah yang baik dan sunnah para khulafā’-ur-rāsyidīn dan para imam yang memberi petunjuk.
Kalimat “Setiap bid‘ah…..” yang diperkuat dengan kata kullu (setiap) dalam hadits tersebut tidak menghalanginya bersifat umum yang dikhususkan. Bahkan takhsis pun dapat masuk bersamanya, seperti firman Allah: (تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ) – “Menghancurkan setiap/segala sesuatu.” (QS. al-Aḥqāf [46]: 25), maksudnya: setiap/segala sesuatu yang bisa binasa.
Bid‘ah yang diharamkan adalah bid‘ah yang tak ada dasar dalam agama, baik dari al-Qur’ān, Sunnah, ataupun ijma‘ umat. Sedang bid‘ah yang boleh adalah bid‘ah yang ada dasarnya dalam agama, sekalipun itu tidak ada pada masa Rasūlullāh s.a.w.
Misalnya ibadah-ibadah sunnah yang anda kerjakan, padahal agama tak menuntut anda sebegitu, lalu anda shalat sunnat 100 raka‘at sehari misalnya. Akan tetapi ini anda mengerjakan satu perkara yang dianjurkan agama dan dituntut memperbanyaknya.
Dalam hadits qudsi disebutkan:
وَ مَا يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أَحَبَّهُ.
“Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah sehingga Aku mencintainya.” (77)
‘Umar bin Khaththāb r.a. pernah mengumpulkan para sahabat untuk mengerjakan shalat Tarāwīḥ berjama‘ah sebanyak 20 raka‘at. Kemudian ia berkata:
نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هذِهِ.
“Sebaik-baik bid‘ah adalah ini.”
Berarti ini bid‘ah yang boleh dan diridhai di sisi Allah s.w.t.