Ketahuilah bahwa Rasūlullāh s.a.w. telah memerintahkan jika terjadi perselisihan pendapat agar tetap bersama golongan yang terbanyak, yaitu mayoritas kaum muslimin. Beliau s.a.w. juga mengabarkan bahwa umatnya terhindar dari bersatu/bersepakat atas kesesatan atau kesalahan dalam agama.
Beliau telah bersabda:
إِنَّ أُمَّتِيْ لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ فَإِذَا رَأَيْتُمُ اخْتِلَافًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ.
“Sesungguhnya umatku tidak akan bersatu di atas kesesatan. Jika kalian melihat perselisihan, maka kalian harus tetap bersama golongan yang terbanyak.” (11).
Al-‘Allāmah as-Sindī berkata saat menjelaskan makna kalimat (السَّوَادِ الْأَعْظَمِ) “golongan terbanyak”: “Maknanya golongan yang mayoritas, sebab kesepakatan mereka lebih dekat pada ijma‘.”
Imām Suyūthī berkata: “Artinya kelompok manusia dan mayoritas mereka yang bersatu di atas jalan yang lurus, dan hadits itu menunjukkan selayaknya mengamalkan pendapat mayoritas.”
Rasūlullāh s.a.w. juga bersabda:
إِنَّ اللهَ لَا يَجْمَعُ أُمَّتِيْ أَوْ قَالَ أُمَّةَ مُحَمَّدٍ (ص) عَلَى ضَلَالَةٍ وَ يَدُ اللهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ وَ مَنْ شَذَّ شَذَّ إِلَى النَّارِ.
“Sesungguhnya Allah tidak menyatukan umatku di atas kesesatan selama-lamanya. “Tangan” Allah bersama jama‘ah. Maka ikutilah golongan yang terbanyak. Siapa yang menyimpang, dia akan menyimpang ke dalam neraka.” (22).
Demikian pula sabda beliau:
سَأَلْتُ رَبِّيْ لَا يَجْمَعُ أُمَّتِيْ عَلَى ضَلَالَةٍ فَأَعْطَانِيْهَا.
“Aku meminta kepada Tuhanku semoga umatku tidak bersatu di atas kesesatan. Lalu Dia memberikannya kepadaku.” (33).
Ulama mengatakan, alhamdulillah, golongan Ahl-us-Sunnah (wal-Jamā‘ah) dari sejak masa pertama sampai hari ini merupakan golongan terbanyak. Maka dengan demikian benarlah bahwa mereka adalah golongan yang selamat yang tetap berpegang teguh dengan al-Qur’an, Sunnah, dan apa yang dipegang teguh oleh para pendahulu umat dari golongan sahabat, tabi‘in, dan para imam mujtahid yang terkemuka.
Isyarat Rasūlullāh s.a.w. akan hal itu terdapat dalam sabdanya:
إِنَّ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ افْتَرَقَتْ عَلَى اثْنَيْنِ وَ سَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَ سَتَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلَاثٍ وَ سَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً قَالُوْا: مَنْ هِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: مَا عَلَيْهِ أَنَا وَ أَصْحَابِيْ.
“Sesungguhnya Bani Isrā’īl telah terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semua masuk neraka kecuali satu golongan. Para sahabat bertanya: “Siapa mereka, wahai Rasūlullāh?” Jawab beliau: (مَا عَلَيْهِ أَنَا وَ أَصْحَابِيْ) “Yang mengikuti jejakku dan jejak para sahabatku.” (44).
Setiap mu’min yang mengikuti syariat Muḥammad s.a.w. wajib meyakini apa yang dibawa oleh makna zhahir al-Qur’ān dan Sunnah, dan bersandar dalam hal tersebut kepada ucapan para ulama besar yang terkenal di kalangan khusus dan awam, seperti Imam yang Empat: Abū Ḥanīfah, Mālik, asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad bin Ḥanbal, serta para imam lainnya.
Siapa yang taqlid kepada salah seorang dari mereka dalam ber‘amal dengan apa yang mereka fahami dari Kitab Allah dan Sunnah Rasūlullāh s.a.w., maka ia selamat di sisi Allah dalam taqlidnya tersebut. Sebab, Allah telah mengizinkan para mujtahid untuk berijtihad dan orang-orang yang taqlid untuk mengikuti pendapat para ulama.
Allah s.w.t. berfirman:
فَاسْئَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ.
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. an-Naḥl [16]: 43).
Maka orang yang bukan ahli ijtihad harus taqlid kepada salah seorang dari imam-imam mujtahid. Itulah jalan kaum mu’minin yang sesungguhnya. Hendaknya ia meninggalkan klaim ijtihad atau mengambil hukum-hukum dari al-Qur’ān dan Sunnah tanpa perlu taqlid kepada para imam itu. Sebab dari sejak masa para sahabat dan tabi‘in, hukum-hukum dan kaedah-kaedah Islam telah bersifat tetap dan telah digali dari al-Qur’ān dan Sunnah serta dicatat di dalam kitab-kitab ushūl (pokok) dan furū‘ (cabang).
Tidak ada lagi yang tersisa bagi orang-orang sesudah mereka kecuali kembali kepada hukum-hukum tersebut dan taqlid kepada para ulama terkemuka itu yang mana mereka dikenal lantaran ilmu mereka; di kalangan khusus maupun awam.
Ulama mengatakan bahwa sekiranya ada sebuah hadits shahih, kita tidak boleh berhukum dengannya tanpa kita melihat ke dalam kitab-kitab hukum dan tulisan-tulisan keislaman. Kita menjadikan nash hadits itu sebagai hujjah dengan merujuk pada yang terdapat di dalam kitab-kitab hukum tersebut. Sebab berapa banyak hadits shahih yang tidak boleh di‘amalkan karena adanya penghalang seperti nasakh dan lainnya.
Membahas masalah tersebut sebagai argumentasi adalah urusan pada ahli ijtihad. Bukan (urusan) selain mereka.
Maka pahamilah masalah ini dengan benar.
Ketahuilah bahwa perselisihan pendapat yang terjadi di kalangan imam-imam mujtahid adalah rahmat dari Allah s.w.t. atas umat yang dirahmati ini.
Mereka tidak berbeda pendapat dalam hal prinsip-prinsip agama (ushūluddīn) dan pokok-pokok syariat, melainkan mereka hanya berbeda pendapat mengenai sebagian masalah-masalah furū‘ (cabang) ketika tidak ada nash-nash yang qath‘i (pasti) atau adanya beberapa qiyās (analogi).
Perbedaan pendapat dalam hal tersebut justru membuahkan kemudahan dan kelapangan bagi manusia serta menghilangkan kesukaran, kesempitan, dan kesulitan dari mereka, dan itu sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah dalam ilmu-Nya yang azali di mana Dia berfirman:
يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَ لَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ.
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. al-Baqarah [2]: 185).
Dan Allah s.w.t. berfirman:
وَ مَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. al-Ḥajj [22]: 78).
Al-Khathīb mengeluarkan dari Ismā‘īl bin Abil-Mujāhid bahwa Hārūn ar-Rasyīd pernah berkata kepada Imām Mālik bin Anas r.a.: “Hai Abū ‘Abdillāh, kita tulis kitab ini (maksudya al-Muwaththa’) dan kita sebar di wilayah-wilayah Islam supaya kita dapat memaksa umat untuk meng‘amalkannya.”
Imām Mālik menjawab: “Wahai Amīr-ul-Mu’minīn, perbedaan pendapat para ulama adalah rahmat dari Allah atas umat ini. Setiap orang boleh mengikuti apa yang benar menurutnya, setiap orang berada di atas hidayah, dan setiap orang berbuat karena Allah.”
Berkata ‘Umar bin ‘Abd-il-‘Azīz r.a.: “Aku tidak suka sekiranya sahabat-sahabat Muḥammad tidak berselisih pendapat, karena sekiranya mereka tidak berselisih pendapat, tidak akan ada rukhshah (keringanan/dispensasi).”
Ketahuilah, orang-orang yang berselisih pendapat mengenai furū‘ merekalah yang diisyaratkan dalam firman Allah s.w.t.:
وَ لَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَ لَا يَزَالُوْنَ مُخْتَلِفِيْنَ. إِلَّا مَنْ رَّحِمَ رَبُّكَ
“Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu.” (QS. Hūd [11]: 118-119).
Berarti merekalah yang dirahmati dan perbedaan pendapat mereka itu rahmat. Adapun orang-orang yang berbeda pendapat mengenai ushūluddīn (prinsip-prinsip) agama tidaklah tidak dirahmati dan diridhai, kecuali orang-orang yang menerima kebenaran di antara mereka, yaitu kaum Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah yang berpegang teguh dengan apa yang dipegang teguh oleh Nabi s.a.w. dan sahabat-sahabatnya sebagaimana yang telah dijelaskan.