Suatu ketika, Raja Mesir bermimpi, dan ia merasa gelisah akan mimpinya itu. Maka dikumpulkanlah para ahli ramal untuk mentakwilkan arti mimpinya. Tetapi tak satu pun di antara mereka yang sanggup memberikan keterangan dengan sebenarnya. Di dalam al-Qur’ān, Allah s.w.t. menerangkan:
وَ قَالَ الْمَلِكُ إِنِّيْ أَرَى سَبْعَ بَقَرَاتٍ سِمَانٍ يَأْكُلُهُنَّ سَبْعٌ عِجَافٌ وَ سَبْعَ سُنْبُلَاتٍ خُضْرٍ وَ أُخَرَ يَابِسَاتٍ يَا أَيُّهَا الْمَلَأُ أَفْتُوْنِيْ فِيْ رُؤْيَايَ إِنْ كُنْتُمْ لِلرُّؤْيَا تَعْبُرُوْنَ. قَالُوْا أَضْغَاثُ أَحْلَامٍ وَ مَا نَحْنُ بِتَأْوِيْلِ الْأَحْلَامِ بِعَالِمِيْنَ
Artinya:
“Raja berkata (kepada orang-orang terkemuka dari kaumnya): “Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering. Hai orang-orang yang terkemuka, terangkanlah kepadaku tentang ta’bir mimpiku itu jika kamu dapat mena’birkan mimpi.” Mereka berkata: “(itu) adalah mimpi-mimpi yang kosong dan kami sekali-kali tidak tahu menta’birkan mimpi itu.” (QS. Yūsuf: 43-44)
Tiba-tiba, datanglah menghadap Raja tukang kebun yang dahulu pernah dipenjarakan bersama Nabi Yūsuf a.s.. Ia memberitakan tentang adanya seorang yang dapat mena’wilkan mimpi, yaitu Yūsuf a.s. yang kini berada di penjara. Karenanya, tukang kebun itu mohon diizinkan untuk menemui Nabi Yūsuf di penjara dan menanyakann ta’wīl mimpi Raja itu. Raja Mesir memberikan idzin kepadanya. Bagaimana jawaban Nabi Yūsuf, al-Qur’ān menceritakan hal itu yang artinya:
وَ قَالَ الَّذِيْ نَجَا مِنْهُمَا وَ ادَّكَرَ بَعْدَ أُمَّةٍ أَنَا أُنَبِّئُكُمْ بِتَأْوِيْلِهِ فَأَرْسِلُوْنِ. يُوْسُفُ أَيُّهَا الصِّدِّيْقُ أَفْتِنَا فِيْ سَبْعِ بَقَرَاتٍ سِمَانٍ يَأْكُلُهُنَّ سَبْعٌ عِجَافٌ وَ سَبْعِ سُنْبُلَاتٍ خُضْرٍ وَ أُخَرَ يَابِسَاتٍ لَّعَلِّيْ أَرْجِعُ إِلَى النَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَعْلَمُوْنَ. قَالَ تَزْرَعُوْنَ سَبْعَ سِنِيْنَ دَأَبًا فَمَا حَصَدْتُّمْ فَذَرُوْهُ فِيْ سُنْبُلِهِ إِلَّا قَلِيْلًا مِّمَّا تَأْكُلُوْنَ. ثُمَّ يَأْتِيْ مِنْ بَعْدِ ذلِكَ سَبْعٌ شِدَادٌ يَأْكُلْنَ مَا قَدَّمْتُمْ لَهُنَّ إِلَّا قَلِيْلًا مِّمَّا تُحْصِنُوْنَ. ثُمَّ يَأْتِيْ مِنْ بَعْدِ ذلِكَ عَامٌ فِيْهِ يُغَاثُ النَّاسُ وَ فِيْهِ يَعْصِرُوْنَ
Artinya:
“Dan berkatalah orang yang selamat di antara mereka berdua dan teringat (kepada Yūsuf) sesudah beberapa waktu lamanya: “Aku akan memberitakan kepadamu tentang (orang yang pandai) menta‘birkan mimpi itu, maka utuslah aku (kepadanya).” (Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yūsuf dan berseru): “Yūsuf, hai orang yang dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya.” Yūsuf berkata: “Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan.. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan. Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan di masa itu mereka memeras anggur.” (QS. Yūsuf: 45-49).
Tukang kebun segera menemui Raja, dan menerangkan arti mimpi itu yang ia dengar dari Nabi Yūsuf a.s.. Raja Mesir amat kagum dan senang terhadap jawaban itu. Maka ia perintahkan supaya Yūsuf dihadapkan kepadanya. Di dalam al-Qur’ān, Allah s.w.t. menerangkan tentang hal ini dengan firman-Nya:
وَ قَالَ الْمَلِكُ ائْتُوْنِيْ بِهِ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِيْ فَلَمَّا كَلَّمَهُ قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِيْنٌ أَمِيْنٌ. قَالَ اجْعَلْنِيْ عَلَى خَزَآئِنِ الْأَرْضِ إِنِّيْ حَفِيْظٌ عَلِيْمٌ
Artinya:
“Dan raja berkata: “Bawalah Yūsuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku.” Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami.” Berkata Yūsuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (QS. Yūsuf: 54-55)
Kehendak Allah atas Nabi Yūsuf a.s. berlaku. Demikianlah, seperti yang di firmankan di dalam al-Qur’ān:
وَ كَذلِكَ مَكَّنِّا لِيُوْسُفَ فِي الْأَرْضِ يَتَبَوَّأُ مِنْهَا حَيْثُ يَشَاءُ نُصِيْبُ بِرَحْمَتِنَا مَنْ نَّشَاءُ وَ لَا نُضِيْعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِيْنَ
Artinya:
“Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yūsuf di negeri Mesir, (dia berkuasa penuh) pergi menuju ke mana saja yang ia kehendaki di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Yūsuf: 56)
Nabi Yūsuf a.s. akhirnya dibebaskan dari penjara. Demikianlah Allah s.w.t. menempatkannya di tempat yang selayaknya, setelah bertahun-tahun beliau hidup dalam penjara dengan segala kesabaran dan ketakwaannya kepada Allah s.w.t.. Nabi Yūsuf a.s. dipercaya untuk mengatur persediaan bahan makanan pokok untuk kepentingan seluruh rakyat. Dan pekerjaan itu dilaksanakannya dengan baik. Tujuh tahun setelah itu terjadilah masa paceklik, sesuai dengan mimpi Raja Mesir. Musim kemarau berkepanjangan, sehingga kelaparan menimpa seluruh daerah, bukan saja di Mesir melainkan sampai ke negeri-negeri lain, termasuk Kan‘ān, tempat menetapnya Nabi Ya‘qūb, ayah Nabi Yūsuf a.s..
Masa panceklik itu benar-benar menyulitkan keadaan rakyat di beberapa negeri. Tapi di Mesir keadaan berbeda. Berkat keterampilan Nabi Yūsuf a.s. persediaan makanan di dalam negeri Mesir masih cukup, bahkan berlimpah. Itulah sebabnya, banyak orang dari berbagai negeri yang bertetangga dengan Mesir berdatangan untuk meminta bantuan bahan makanan.
Suatu ketika, datanglah sepuluh orang menghadap Nabi Yūsuf a.s. untuk meminta bantuan bahan makanan. Mereka adalah anak-anak Nabi Ya‘qūb a.s.. Melihat mereka, Nabi Yūsuf segera mengenali mereka. Mereka adalah saudara-saudaranya sendiri yang datang dari Kan‘ān, negeri tetangga Mesir dan tempat tinggal bapaknya, Nabi Ya‘qūb a.s.. Maka dilayanilah kesepuluh orang itu dengan penuh perhatian. Nabi Yūsuf a.s. memerintahkan bawahannya untuk memenuhi kantung-kantung gandum kesepuluh tamunya itu hingga cukup. Setelah itu, kepada mereka Nabi Yūsuf a.s. menanyakan perihal keluarga dan sebagainya. Kesepuluh orang itu menceritkan segalanya dengan lengkap, termasuk saudara bungsu mereka, Bunyamin, yang tidak ikut bersama mereka kerena dicegah oleh ayahnya.
Setelah beres semuanya, mereka minta idzin kepada Nabi Yūsuf a.s. untuk meninggalkan Mesir dan pulang ke Kan‘ān. Tetapi, sebelum pergi, Nabi Yūsuf a.s. berpesan kepada mereka, apabila kelak kembali lagi ke Mesir, Bunyamin mesti dibawa. Kalau tidak, maka bantuan bahan makanan yang diharapkan tidak akan diberikan.
Maka pulanglah mereka dengan hati lega, karena membawa gandum yang banyak. Sampai di rumah, mereka menceritakan semua kejadian yang mereka alami kepada ayah mereka, Nabi Ya‘qūb a.s. selama berada di negeri Mesir. Mereka juga mengemukakan tentang permohonan bendaharawan negeri Mesir itu agar jika kembali Bunyamin harus diajak. Nabi Ya‘qūb a.s. dengan tegas melarang keinginan anak-anaknya itu, karena beliau masih teringat tentang hilangnya Nabi Yūsuf a.s. ketika pergi bersama-sama saudara-saudaranya itu. Nabi Ya‘qūb a.s. tidak ingin peristiwa yang sama menimpa Bunyamin. Tetapi kesepuluh anaknya itu mendesaknya, dengan alasan mereka tidak akan memperoleh bahan makanan dari Mesir kecuali jika Bunyamin ikut pergi bersama. Akhirnya, dengan berat hati Nabi Ya‘qūb a.s. mengidzinkan mereka membawa Bunyamin, dengan bermacam-macam pesan dan nasehat yang disertakan.
Bunyamin pergi bersama kesepuluh saudarnya ke Mesir, dan menghadap Yūsuf a.s. untuk meminta lagi bantuan bahan makanan. Nabi Yūsuf a.s. menyambut mereka dengan senang hati dan penuh perhatiannya. Beliau segera memerintahkan pelayannya untuk memenuhi kantung-kantung gandum mereka. Sementara itu, Bunyamin beliau bawa masuk ke dalam kamarnya. Kemudian, Nabi Yūsuf a.s. berbisik kepada Bunyamin: “Sesungguhnya akulah Yūsuf saudaramu. Maka janganlah engkau berduka cita lagi.” Maka mereka berdua saling melepas rindu bersama, tanpa diketahui oleh kesepuluh saudara mereka yang lain.
Kemudian, Nabi Yūsuf a.s. menjamu saudara-saudaranya dengan baik serta menghormatinya. Setelah segalanya siap, mereka minta idzin untuk kembali ke Kan‘ān. Nabi Yūsuf menghendaki Bunyamin tetap tinggal bersamanya. Tetapi, bagaimana itu dapat terlaksana? Memohon idzin dari kesepuluh saudaranya jelas tidak mungkin. Mereka tidak akan mengidzinkan Nabi Yūsuf a.s. menahan Bunyamin, karena mereka telah berjanji kepada ayah mereka dengan sungguh-sungguh untuk menjaga dan membawa kembali Bunyamin ke Kan‘ān dengan selamat.
Maka Nabi Yūsuf a.s. mencari jalan lain. Diperintahkannya salah seorang pelayannya untuk memasukkan sebuah piala kerajaan ke dalam kantung gandum milik Bunyamin. Ketika saudara-saudara Nabi Yūsuf a.s. itu sudah berangkat pulang, beberapa saat kemudian mereka dipanggil kembali ke istana untuk diperiksa. Alasannya, piala kerajaan hilang, dan penduduk harus diperiksa. Ketika diperiksa ternyata di dalam kantung gandum Bunyamin piala itu diketemukan, maka diputuskan bahwa Bunyamin pencurinya. Untuk itu, ia harus dipenjara di Mesir. Maka menangislah kesepuluh saudara Nabi Yūsuf seraya memohon ampun atas kesalahan saudaranya. Mereka berkata: “Wahai Tuan yang mulia, sesungguhnya ayah kami sudah amat tua. Beliau akan sangat bersedih jika kami kembali tanpa membawa Bunyamin. Karenanya, tahan saja salah seorang dari kami dan biarkanlah Bunyamin pulang ke negeri Kan‘ān.” Nabi Yūsuf menolak permohonan mereka seraya berkata: “Aku berlindung kepada Allah s.w.t. dari apa yang engkau katakan. Aku tidak akan menghukum orang yang tidak bersalah. Jika demikian, tentulah aku termasuk orang-orang yang aniaya.”
Setelah berkali-kali permohonan mereka untuk membawa Bunyamin ditolak, maka akhirnya kesepuluh saudara Nabi Yūsuf a.s. berputus asa. Mereka terpaksa kembali pulang dengan kebingungan dan kesedihan yang luar biasa. Setibanya di rumah, mereka menceritakan seluruh kejadian itu kepada ayahnya, juga tentang Bunyamin yang ditahan di Mesir karena mencuri piala Raja. Mendengar itu, Nabi Ya‘qūb a.s. berpaling dari anak-anaknya. Beliau bergumam: “Alangkah duka-citaku mengenang Yūsuf. Telah buta mataku karena kesedihan itu.” Murkanya kepada mereka beliau tahan di dalam hati.
Melihat itu, anak-anaknya berkata: “Ayah, janganlah engkau selalu mengingat-ingat Yūsuf yang telah tiada, dan janganlah memikirkan kembali peristiwa-peristiwa yang telah lalu, nanti ayah sakit jadinya dan meninggal dunia.” Tapi Nabi Ya‘qūb menjawab teguran anaknya dengan berkata: “Aku hanya mengadukan halku ini kepada Allah s.w.t., dan aku mengetahui dari Allah tentang apa-apa yang tidak kamu ketahui.”
Memikirkan nasib ayahnya, saudara-saudara Nabi Yūsuf a.s. amat berduka-cita. Mereka merasa amat iba melihat ayahnya yang semakin melemah karena rasa dukanya. Maka, bersepakatlah mereka untuk kembali ke Mesir dan memohon kembali kepada penguasanya agar Bunyamin dibebaskan. Dengan begitu, mereka berharap ayahnya akan terhibur kesedihannya. Maka, setelah berpamitan, mereka berangkat dengan tekad yang bulat. Sampai di Mesir, mereka kembali mengajukan permohonan kepada Nabi Yūsuf a.s. dengan mengiba-iba agar Bunyamin dapat meraka bawa pulang. Mereka ceritakan tentang kesedihan ayah mereka yang luar biasa menghadapi peristiwa itu. Maka, Nabi Yūsuf a.s. tidak tahan mendengarnya. Akhirnya, dibukanyalah rahasia dirinya di hadapan saudara-saudaranya itu. Allah s.w.t. menerangkan kisah itu di dalam al-Qur’ān dengan firman-Nya yang artinya:
قَالَ هَلْ عَلِمْتُمْ مَّا فَعَلْتُمْ بِيُوْسُفَ وَ أَخِيْهِ إِذْ أَنْتُمْ جَاهِلُوْنَ. قَالُوْا أَإِنَّكَ لَأَنْتَ يُوْسُفُ قَالَ أَنَا يُوْسُفُ وَ هذَا أَخِيْ قَدْ مَنَّ اللهُ عَلَيْنَا إِنَّهُ مَنْ يَتَّقِ وَ يَصْبِرْ فَإِنَّ اللهَ لَا يُضِيْعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِيْنَ. قَالُوْا تَاللهِ لَقَدْ آثَرَكَ اللهُ عَلَيْنَا وَ إِنْ كُنَّا لَخَاطِئِيْنَ. قَالَ لَا تَثْرِيْبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ يَغْفِرُ اللهُ لَكُمْ وَ هُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ. إِذْهَبُوْا بِقَمِيْصِيْ هذَا فَأَلْقُوْهُ عَلَى وَجْهِ أَبِيْ يَأْتِ بَصِيْرًا وَ أْتُوْنِيْ بِأَهْلِكُمْ أَجْمَعِيْنَ
Artinya:
“Yūsuf berkata: “Apakah kamu mengetahui (kejelekan) apa yang telah kamu lakukan terhadap Yūsuf dan saudaranya ketika kamu tidak mengetahui (akibat) perbuatan itu?” Mereka berkata: “Apakah kamu ini benar-benar Yūsuf?” Yūsuf berkata: “Akulah Yūsuf dan ini saudaraku. Sesungguhnya Allah telah melimpahkan karunia-Nya kepada kami.” Sesungguhnya barangsiapa yang bertaqwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” Mereka berkata: “Demi Allah, sesungguhnya Allah telah melebihkan kamu atas kami, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa).” Dia (Yūsuf) berkata: “Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang.” Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku ini, lalu letakkanlah dia ke wajah ayahku, nanti dia akan melihat kembali; dan bawalah keluargamu semuanya kepadaku.” (QS. Yūsuf: 89-93)
Maka kembali saudara-saudara Nabi Yūsuf a.s. ke negeri Kan‘ān dan menyampaikan berita gembira itu kepada ayah mereka. Tiba di rumah, mereka langsung menemui ayahnya dengan membawa baju gamis Nabi Yūsuf a.s. untuk diserahkan. Nabi Ya‘qūb a.s. mencium baju gamis itu, maka matanya yang buta itu tiba-tiba dapat melihat kembali, dengan idzin Allah s.w.t.. Kemudian, berceritalah semua anaknya itu tentang peristiwa yang mereka alami, tentang Nabi Yūsuf dan Bunyamin. Nabi Ya‘qūb a.s. mendengar semua itu dengan hati yang gembira, lalu berkata: “Marilah kita lupakan peristiwa yang lampau. Aku berdo’a kepada Allah s.w.t. semoga Dia mengampuni dosa-dosamu dan dosa-dosaku, karena Dia Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Sekarang, marilah kita berangkat ke Mesir.”
Di Mesir Nabi Ya‘qūb a.s. akhirnya bertemu dengan kedua anaknya yang sangat ia cintai, Nabi Yūsuf a.s. dan Bunyamin. Seketika itu, Nabi Yūsuf a.s. mengangkat kedua tangannya ke atas seraya berdo’a kepada Allah s.w.t., sebagaimana tersebut di dalam al-Qur’ān yang artinya:
رَبِّ قَدْ آتَيْتَنِيْ مِنَ الْمُلْكِ وَ عَلَّمْتَنِيْ مِنْ تَأْوِيْلِ الْأَحَادِيْثِ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ أَنْتَ وَلِيِّيْ فِي الدُّنُيَا وَ الْآخِرَةِ تَوَفَّنِيْ مُسْلِمًا وَ أَلْحِقْنِيْ بِالصَّالِحِيْنَ
Artinya:
“Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta‘bir mimpi. (Ya Tuhan). Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang shaleh.” (QS. Yūsuf: 101)
3. Kecerdikan dan kearifan Nabi Yūsuf, ia pergunakan untuk membantu kepentingan masyarakat, demi kemakmuran dan kesejahteraan mereka.