[105] وَ نُؤْمِنُ بِاللَّوْحِ وَ الْقَلَمِ وَ بِجَمِيْعِ مَا فِيْهِ قَدْ رُقِمَ.
“Dan kita beriman dengan al-Lauḥ-ul-Maḥfūzh, pena (al-Qalam) dan segala yang telah tertulis padanya.”
[106] فَلَوِ اجْتَمَعَ الْـخَلْقُ كُلُّهُمْ عَلَى شَىْءٍ كَتَبَهُ اللهُ تَعَالَى فِيْهِ أَنَّهُ كَائِنٌ لِيَجْعَلُوْهُ غَيْرَ كَائِنٍ لَمْ يَقْدِرُوْا عَلَيْهِ. وَ لَوِ اجْتَمَعُوْا كُلُّهُمْ عَلَى شَىْءٍ لَمْ يَكْتُبْهُ اللهُ تَعَالَى فِيْهِ لِيَجْعَلُوْهُ كَائِنًا لَمْ يَقْدِرُوْا عَلَيْهِ.
“Maka jika semua makhluk bersepakat terhadap sesuatu yang telah Allah ta‘ālā tetapkan untuk terjadi agar tidak terjadi, niscaya mereka tidak akan mampu melakukannya. Dan jika mereka semua bersepakat terhadap sesuatu yang tidak Allah ta‘ālā tetapkan untuk terjadi agar terjadi, niscaya mereka tidak akan mampu melakukannya.”
[107] جَفَّ الْقَلَمُ بِمَا هُوَ كَائِنٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَ مَا أَخْطَأَ الْعَبْدَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيْبَهُ، وَ مَا أَصَابَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَهُ.
“Pena telah kering (setelah menuliskan) semua apa yang akan terjadi sampai Hari Kiamat. Dan apa yang (ditaqdirkan) luput dari seorang hamba tentu tidak akan menimpanya, dan apa yang (ditaqdirkan ) menimpanya, tentu tidak akan luput darinya.”
[108] وَ عَلَى الْعَبْدِ أَنْ يَعْلَمَ أَنَّ اللهَ قَدْ سَبَقَ عِلْمُهُ فِيْ كُلِّ كَائِنٍ مِنْ خَلْقِهِ،
“Seorang hamba hendaklah mengetahui bahwasanya Allah telah terlebih dahulu mengetahui segala sesuatu yang terjadi dari (dan pada) makhluk-Nya.”
[109] فَقَدَّرَ ذلِكَ تَقْدِيْرًا مُحْكَمًا مُبْرَمًا
“Allah men-taqdir-kan hal itu dengan taqdir yang pasti dan baku (mubram).”
[110] لَيْسَ فِيْهِ نَاقِضٌ وَ لَا مُعَقَّبٌ وَ لَا مُزِيْلٌ وَ لَا مُغَيّرٌ وَ لَا مُحَوَّلٌ وَ لَا نَاقِصٌ وَ لَا زَائِدٌ مِنْ خَلْقِهِ فِيْ سَمَاوَاتِهِ وَ أَرْضِهِ.
“Tidak ada yang dapat membatalkan, tidak ada yang menyalahkan, tidak ada yang dapat menghapuskan, dan tidak ada yang bisa merubah (semua ketetapan-Nya). Tidak ada yang kurang dan tidak ada yang lebih dari makhluk-Nya, baik di langit maupun di bumi-Nya.”
[111] وَ ذلِكَ مِنْ عَقْدِ الْإِيْمَانِ وَ أُصُوْلِ الْـمَعْرِفَةِ
“Itu adalah di antara ikatan iman dan pokok ma‘rifat.”
[112] وَ الْاِعْتِرَافِ بِتَوْحِيْدِ اللهِ تَعَالَى وَ رُبُوْبِيَّتِهِ، كَمَا قَالَ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ: {وَ خَلَقَ كُلَّ شَـْئٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيْرًا} وَ قَالَ تَعَالَى: {وَ كَانَ أَمْرُ اللهِ قَدَرًا مَقْدُوْرًا}.
“Dan pengakuan terhadap tauhid dan Rububiyyah Allah, sebagaimana Firman Allah ta‘ālā di dalam Kitāb-Nya: “Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu dan Dia menetapkan taqdir-taqdirnya dengan serapi-rapinya.” (al-Furqān: 2). Dan Dia ta‘ālā juga berfirman: “Dan ketetapan Allah itu adalah suatu qadar (ketetapan) yang pasti berlaku.” (al-Aḥzāb: 38).
[113] فَوَيْلٌ لِمَنْ صَارَ لِلّهِ تَعَالَى فِي الْقَدَرِ خَصِيْمًا،
“Celakalah bagi orang yang menjadi penentang Allah dalam (masalah) Qadar.”
[114] وَ أَحْضَرَ لِلنَّظَرِ فِيْهِ قَلْبًا سَقِيْمًا،
“Dan menghadirkan hati yang sakit untuk mengkaji di dalamnya (Qadhā’ dan Qadar).”
[115] لَقَدِ الْتَمَسَ بِوَهْمِهِ فِيْ فَحْصِ الْغَيْبِ سِرًّا كَتِيْمًا،
“Sungguh dia telah (berkutat) mencari dengan keragu-raguannya dalam meneliti perkara ghaib yang merupakan rahasia yang tertutup rapat.”
[116] وَ عَادَ بِمَا قَالَ فِيْهِ أَفَّاكًا أَثِيْمًا.
“Dan orang tersebut (hanya akan) kembali dengan apa saja yang dikatakannya tentang (Qadhā’ dan Qadar) sebagai seorang pendusta yang penuh dosa.”
[117] وَ الْعَرْشُ وَ الْكُرْسِيُّ حَقٌّ،
“‘Arasy dan kursi adalah benar adanya.”
[118] وَ هُوَ مُسْتَغْنٍ عَنِ الْعَرْشَ وَ مَا دُوْنَهُ،
“Allah tidak membutuhkan ‘Arasy dan semua yang di bawahnya.”
[119] مُحِيْطٌ بِكُلِّ شَىْءٍ وَ فَوْقَهُ،
“Allah meliputi segala sesuatu dan Dia di atas segala sesuatu.”
[120] وَ قَدْ أَعْجَزَ عَنِ الْإِحَاطَةِ خَلْقَهُ.
“Dan Allah menantang (yang membuktikan kelemahan) makhluk-Nya untuk meliputi (segala sesuatu).”
[121] وَ نَقُوْلُ: إِنَّ اللهَ اتَّخَذَ إِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلًا، وَ كَلَّمَ مُوْسَى تَكلِيْمًا إِيـْمَانًا وَ تَصْدِيْقًا وَ تَسلِيْمًا.
“Kami (Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah) juga berpandangan: Sesungguhnya Allah telah menjadikan Ibrāhīm a.s. sebagai kesayangan(-Nya), dan Allah juga telah berbicara kepada Nabi Mūsā a.s. secara langsung; sebagai suatu keimanan, pembenaran, dan penyerahan (diri kepada Allah).”
[122] وَ نُؤْمِنُ بِالـْمَلَائِكَةِ وَ النَّبِيّيْنَ
“Kami (Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah) juga beriman terhadap para malaikat dan para nabi.”
[123] وَ الكُتُبِ الْـمُنَـزَّلَةِ عَلَى الْـمُرْسَلِيْنَ، وَ نَشْهَدُ أَنَّهُمْ كَانُوْا عَلَى الْـحَقِّ الْـمُبِيْنَ.
“(Dan kami juga beriman) kepada kitab-kitab suci yang diturunkan (Allah) kepada para rasul, dan kami bersaksi bahwa mereka berada di atas kebenaran yang nyata.”
[124] وَ نُسَمِّيْ أَهْلَ قِبْلَتِنَا مُسْلِمِيْنَ مُؤْمِنِيْنَ،
“Dan kami menamakan orang-orang yang (shalat menghadap) Qiblat kami, sebagai orang-orang Muslim, orang-orang yang Mu’min.”
[125] مَا دَامُوْا بِمَا جَاءَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مُعْتَرِفِيْنَ، وَ لَهُ بِكُلِّ مَا قَالَهُ وَ أَخْبَرَ مُصَدِّقِيْنَ (غَيْرَ مُنْكِرِيْنَ).
“Selama mereka mengakui apa yang dibawa oleh Nabi s.a.w. dan membenarkan setiap yang beliau sabdakan dan beliau kabarkan.”
[126] وَ لَا نَخُوْضُ فِي اللهِ وَ لَا نُمَارِيْ فِيْ دِيْنِ اللهِ.
“Kita tidak boleh berbicara terlampau dalam tentang Allah, dan tidak boleh juga mendebat (yang tidak punya makna) dalam Agama Allah.”
[127] وَ لَا نُجَادِلُ فِي الْقُرْءَانِ، وَ نَشْهَدُ أَنَّهُ كَلَامُ رَبِّ الْعَالـَمِيْنَ،
“Kita tidak boleh berdebat tentang al-Qur’ān, dan kita wajib bersaksi bahwasanya al-Qur’ān adalah Kalām (Firman) Rabb alam semesta.”
[128] نَزَلَ بِهِ الرُّوْحُ الْأَمِيْنُ ، فَعَلَّمَهُ سَيِّدَ الْـمُرْسَلِيْنَ مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ،
“Al-Qur’ān dibawa turun oleh ar-Rūḥ-ul-Amīn (Jibrīl), lalu dia mengajarkannya kepada penghulu para rasul Muḥammad s.a.w.”
[129] وَ هُوَ كَلَامُ اللهِ تَعَالَى، لَا يُسَاوِيْهِ شَىْءٌ مِنْ كَلَامِ الْـمَخْلُوْقِيْنَ،
“Dia (al-Qur’ān) adalah Kalām (Firman) Allah ta‘ala yang sedikit pun tidak sama dengan perkataan makhluk-makhluk.”
[130] وَ لَا نَقُوْلُ بِخَلْقِهِ، وَ لَا نُخَالِفُ جَمَاعَةَ الْـمُسْلِمِيْنَ.
“Kami tidak berpandangan bahwasanya al-Qur’ān adalah makhluk, dan kami juga tidak menyelisihi (menentang) jamā‘ah kaum Muslimin.”
[131] وَ لَا نُكَفِّرُ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ بِذَنْبٍ مَا لَمْ يَسْتَحِلَّهُ،
“Kami tidak mengkafirkan seorang pun dari Ahl-ul-Qiblah (kaum Muslimin) karena dosa (yang dilakukannya), selama dia tidak menghalalkannya.”
[132] وَ لَا نَقُوْلُ لَا يَضُرُّ مَعِ الْإِيْمَانِ ذَنْبٌ لِمَنْ عَمِلَهُ.
“Dan kami juga tidak berpandangan bahwa suatu dosa tidak membahayakan keimanan orang yang melakukannya.”
[133] نَرْجُوْ لِلْمُحْسِنِيْنَ مِنَ الْـمُؤْمِنِيْنَ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَ يُدْخِلَهُمُ الْـجَنَّةَ بِرَحْمَتِهِ، وَ لَا نَأْمَنُ عَلَيْهِمْ، وَ لَا نَشْهَدُ لَهُمْ بِالْـجَنَّةِ،
“Kami berharap bagi orang-orang Muḥsin (yang senantiasa berbuat kebajikan) dari orang-orang Mu’min agar Allah mengampuni mereka dan memasukkan mereka ke dalam surga dengan Raḥmat-Nya, tapi kami tidak menjamin bagi mereka, dan kami juga tidak mempersaksikan mereka dengan surga.”
[134] وَ نَسْتَغْفِرُ لِمُسِيْئِهمْ وَ نَخَافُ عَلَيْهِمْ وَ لَا نُقَنِّطُهُمْ.
“Kita memohonkan ampunan bagi orang-orang yang berbuat buruk dari mereka, kita mengkhawatirkan mereka, dan kita tidak boleh memutuskan harapan (ampunan) bagi mereka.”
[135] وَ الْأَمْنُ وَ الْإِيَاسُ يَنْقُلَانِ عَنْ مِلَّةِ الْإِسْلَامِ،
“Rasa aman (dari ‘adzab neraka) dan putus asa (dari Rahmat Allah); keduanya dapat mengeluarkan (pelakunya) dari Agama Islam.”
[136] وَ سَبِيْلُ الْـحَقِّ بَيْنَهُمَا لِأَهْلِ الْقِبْلَةِ.
“Jalan kebenaran adalah ia antara keduanya bagi Ahl-ul-Qiblah (kaum Muslimin).”
[137] وَ لَا يَخْرُجُ الْعَبْدُ مِنَ الْإِيْمَانِ إِلَّا بِجُحُوْدِ مَا أَدْخَلَهُ فِيْهِ.
“Seorang hamba tidak keluar dari iman, kecuali karena mengingkari apa yang telah memasukkan dirinya ke dalam iman itu sendiri.” (41).
Syaikh-ul-Islām Muḥammad bin ‘Abd-il-Wahhāb menyebutkan bahwa di antara yang membatalkan Islam ada sepuluh, dan itu adalah yang paling penting, karena hal-hal yang dapat membatalkan Islam, selain itu masih sangat banyak. Sekali lagi, membatasi hal yang membatalkan Islam pada pengingkarang semata adalah suatu kekeliruan. Sejumlah penulis yang sok intelek dewasa ini berusaha untuk memunculkan dan membela pandangan ini dengan asumsi bahwa ini akan membuat orang lebih leluasa dalam Agama; yaitu bahwasanya selama seseorang tidak mengingkari maka dia tetap seorang Muslim dalam pandangan mereka. Apabila dia bersujud kepada berhala misalnya, lalu mengatakan: saya tidak mengingkari, bahkan saya tetap mengakui tauhid; yang seperti ini hanya merupakan suatu dosa dari dosa-dosa. Atau menyembelih untuk selain Allah, atau mencaci-maki Allah, atau menghina Rasūlullāh s.a.w., atau mencela Islam; mereka mengatakan, orang ini tetap seorang Muslim, karena dia tidak mengingkari. Ini adalah kesalahan yang besar, dan hal seperti ini adalah penyia-nyiaan Agama secara total, sehingga tidak ada yang tersisa dari Islam. Maka wajib untuk selalu berhati-hati dari bahaya yang besar seperti ini. (At-Ta‘līqāt-ul-Mukhtasharatu ‘Alā Matn-il-‘Aqīdat-ith-Thaḥāwiyyah, Syaikh Shāliḥ bin Fauzān al-Fauzān).