1-C Masa Pertumbuhan – Biografi Imam Abu Hanifah

Biografi IMĀM ABŪ HANĪFAH
(Judul Asli: Silsilat al-Aimmah al-Mushawwarah (3): al-Imām Abu Hanifah al-Numān)
Oleh: Dr. Tariq Suwaidan

Penerjemah: M. Taufik Damas dan M. Zaenal Arifin.
Penerbit: Zaman

Rangkaian Pos: 001 Pertumbuhan Dan Keluarga | Biografi Imam Abu Hanifah

BAGIAN SATU

MASA PERTUMBUHAN DAN MASA MENCARI ILMU

BAB 1

PERTUMBUHAN DAN KELUARGA

 

C. MASA PERTUMBUHAN

Awal Belajar al-Qur’ān

Abū Ḥanīfah tumbuh besar di Kufah dan menghabiskan sebagian besar hidupnya di sana. Ia tinggal di tengah keluarga yang harmonis, sejahtera, dan kaya. Hidupnya diarahkan pertama kali untuk menghafal al-Qur’ān. Setelah hafal, ia mencoba sekuat tenaga untuk tetap menjaga hafalannya. Oleh sebab itu, ia termasuk orang yang paling sering membaca al-Qur’ān, hingga diriwayatkan bahwa ia mengkhatamkan al-Qur’ān beberapa kali dalam bulan Ramadhan. Dalam sejumlah riwayat dari jalur yang berbeda-beda disebutkan: “Abū Ḥanīfah belajar al-Qur’ān dari Imām ‘Āshim, salah satu imam qira’ah tujuh.”

Kecenderungan Intelektual

Abū Ḥanīfah tumbuh di lingkungan keluarga pedagang di Kufah. Keluarganya dikenal memiliki usaha perdagangan Khazz, yaitu jenis kain yang berbahan dasar katun atau wol bercampur sutra. Tidak mengherankan bila keluarga mengarahkannya untuk bergelut di bidang yang sama, yakni perdagangan. Meski demikian, ia tetap memiliki kecenderungan rasional dan intelektualnya sendiri. Ayah dan kakeknya – mengingat hubungan keduanya dengan ‘Alī ibn Abī Thālib – juga memiliki kecenderungan yang sama dalam mendalami Islam, agama baru yang ketika itu cahayanya telah memenuhi semua wilayah di barat dan di timur.

Pusat Budaya dan Peradaban

Abū Ḥanīfah tinggal di Kufah. Di sanalah ia dilahirkan dan menjalani kehidupannya. Kufah salah satu kota besar di Irak, bahkan satu dari dua kota besar yang ada pada waktu itu.

Irak – baik sebelum maupun sesudah Islam – menjadi pusat berbagai aliran keagamaan. Irak menjadi pusat kebudayaan dan peradaban kuno.

Pada masa pra-Islam, bangsa Suryani telah tersebar banyak di daerah-daerah Irak. Mereka juga sudah mendirikan sejumlah lembaga pendidikan khusus (madrasah) yang menjadi tempat pertemuan filsafat Yunani dan ilmu hikmah Persia.

Irak dihuni oleh orang-orang dari berbagai suku dan etnis. Tak aneh bila di sana sering kali terjadi pertentangan pendapat dalam masalah politik dan dasar-dasar keyakinan. Di sana terdapat kelompok Syī‘ah, Khawārij, dan Mu‘tazilah.

Pada masa Abū Ḥanīfah, banyak tabiin dan mujtahid yang bermukim di Irak. Mereka saling bertemu, berkumpul, dan berdiskusi. Di antara mereka terdapat nama ‘Abdullāh ibn Mas‘ūd yang telah diutus oleh khalifah ‘Umar ibn Khaththāb untuk mengajarkan ilmu agama kepada penduduk Irak. Nama lainnya adalah sahabat sekaligus menantu Nabi, yaitu ‘Alī ibn Abī Thālib.

Masa Muda

Meski sibuk dalam dunia perdagangan, Abū Ḥanīfah muda menyaksikan dan menaruh perhatian pada ilmu pengetahuan dan berbagai pendapat peninggalan para sahabat di Irak. Pikirannya mulai tergugah dan terbentuk dalam satu paradigma yang kuat. Ia mulai berani berdialog dan berdebat dengan penganut agama dan aliran yang berbeda-beda. Semua itu dilakukan ketika dirinya baru menginjak usia remaja.

Bersamaan dengan itu, ia tetap fokus pada bidang perdagangan, bidang yang dianjurkan oleh orangtuanya. Ia serius menjalani hidupnya sebagai pedagang sebagai mata pencarian utama keluarganya.

 

Saat mendapatkan waktu luang di sela pekerjaan, Abū Ḥanīfah memilih menceburkan diri ke dalam kawah ilmu pengetahuan. Pilihannya ini utamanya dilandasi oleh meratanya penyebaran ilmu agama di tangan para sahabat dan tabiin, selain oleh banyaknya perdebatan dan dialog dengan aliran-aliran yang menyimpang.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *