1-8 Istihadhah – Fiqih Lima Madzhab

FIQIH LIMA MADZHAB
(Ja‘farī, Ḥanafī, Mālikī, Syāfi‘ī, Ḥanbalī)
(Judul Asli: Al-Fiqhu ‘Alal-Madzāhib-il-Khamsah)
Oleh: Muhammad Jawad Mughniyah.

Penerjemah: Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus al-Kaff.
Penerbit: PT LENTERA BASRITAMA

Rangkaian Pos: 001 Thaharah | Fiqih Lima Madzhab

BAB 8

ISTIḤĀDHAH

 

Istiḥādhah menurut istilah para ahli fiqih adalah: Darah yang keluar dari wanita bukan pada masa-masa haidh dan nifās dan tidak ada kemungkinan bahwa ia haidh; misalnya darah yang melebihi masa haidh atau darah yang kurang dari masa paling sedikitnya haidh. Biasanya darah itu warnanya kuning, dingin, encer (tidak kental) dan keluarnya dengan lemah (tidak deras) yang pada dasarnya berbeda dengan darah haidh.

Imāmiyyah: membagi darah istiḥādhah itu pada tiga bagian:

  1. Sedikit: Bila darah itu sampai melumuri kapas tetapi tidak sampai membasahi semua kapas itu, maka hukumnya, ia harus berwudhū’ setiap mau shalat dengan mengganti kapas, hanya ia tidak boleh menjama‘ (mengumpulkan) dua shalat dengan satu wudhū’.
  2. Pertengahan: Kalau darah itu sampai membasahi semua kapas, tetapi tidak sampai mengalir, maka hukumnya ia harus mandi satu kali setiap hari sebelum pagi, juga harus mengganti kapas, dan harus berwudhū’ setiap mau shalat.
  3. Banyak: Kalau darah itu sampai membasahi kapas semuanya dan sampai mengalir dari kapas itu, maka hukumnya ia harus mandi sebanyak tiga kali, yaitu mandi sebelum shalat Shubuh, kemudian mandi sebelum menjama‘ Shalat dua Zhuhur (Zhuhur dan ‘Ashar) dan mandi sebelum menjama‘ Shalat dua ‘Isyā’ (Maghrib dan ‘Isyā’).

Kebanyakan ulama Imāmiyyah: Ia harus berwudhū’ dalam setiap kesempatan (ketika mau shalat) dengan mengganti kapas juga.

Madzhab-madzhab yang lain tidak menerima pembagian ini, sebagaimana madzhab-madzhab ini tidak mewajibkan mandi bagi orang yang sedang istiḥādhah. Ini dijelaskan dalam buku Fiqh-us-Sunnah, karya Sayyid Sābiq, halaman 155, cetakan tahun 1957 seperti berikut: Bagi orang (wanita) yang istiḥādhah tidak diwajibkan mandi untuk shalat apapun, dan juga pada waktu apapun kecuali hanya satu kali, yaitu pada waktu haidhnya putus (selesai). Maksudnya bahwa mandi itu hanya untuk haidh, bukan untuk istiḥādhah. Begitu pendapat Jumhūr dari kalangan shalaf dan khalaf.

Empat madzhab: Istiḥādhah itu tidak mencegah (melarang) untuk melakukan sesuatu yang dilarang dalam haidh, baik membaca al-Qur’ān, menyentuhnya, masuk masjid, beri‘tikaf, berthawāf, bersetubuh, dan lain-lainnya seperti yang dijelaskan dalam masalah-masalah yang dilarang bagi orang yang berhadats besar. (Al-Fiqhu ‘alal-Madzāhib-il-Arba‘ah, jilid I, bab Mabḥats-ul-Istiḥādhah).

Imāmiyyah: Istiḥādhah sedikit dihukumi sama dengan hadats kecil maka dari itu, ia tidak boleh melakukan sesuatu yang memerlukan wudhū’ kecuali setelah berwudhū’. Sedankang istiḥādhah pertengahan dan istiḥādhah banyak sama dengan hadats besar, maka dari itu keduanya dilarang melakukan sesuatu yang disyaratkan mandi. Keduanya sama seperti haidh selama belum melaksanakan apa yang diwajibkan pada keduanya. Bila keduanya telah melaksanakan apa yang diwajibkan, maka keduanya (yang istiḥādhah pertengahan dan banyak) dianggap suci.

Keduanya dibolehkan untuk shalat, masuk masjid, thawāf dan bersetubuh. Dan mandi istiḥādhah adalah seperti mandi haidh, tak ada bedanya, menurut Imāmiyyah.

 

Darah Nifās.

Imāmiyyah dan Mālikī: Darah nifās adalah darah yang dikeluarkan dari rahim yang disebabkan persalinan, baik ketika bersalin maupun sesudah bersalin, bukan sebelumnya. Ḥanbalī: Darah nifās, adalah darah yang keluar bersama keluarnya anak, baik sesudahnya maupun sebelumnya, dua atau tiga hari dengan tanda-tanda akan melahirkan.

Syāfi‘ī: Darah yang keluar setelah melahirkan, bukan sebelumnya dan bukan pula bersamaan. Ḥanafī: Darah yang keluar setelah melahirkan, atau yang keluar ketika sebagian besar tubuh anaknya sudah keluar. Sedangkan kalau darah itu sebelum melahirkan, atau darah yang keluar ketika tubuh anaknya baru sebagian yang keluar, maka ia tidak dinamakan darah nifās.

Kalau wanita hamil itu melahirkan tetapi tidak nampak ada darah yang keluar, ia tetap diwajibkan mandi, menurut Syāfi‘ī, Ḥanafī dan Mālikī. Tetapi menurut Imāmiyyah dan Ḥanbalī tidak wajib mandi.

Semua ulama madzhab sepakat bahwa darah nifās itu tidak mempunyai batas paling sedikitnya. Sedangkan paling banyak, yang terkenal menurut Imāmiyyah adalah sepuluh hari. Ḥanbalī dan Ḥanafī: Empat puluh hari, sedangkan Syāfi‘ī dan Mālikī: Enam puluh hari.

Kalau anak yang lahir itu keluar dari tempat yang bukan biasanya karena disebabkan pembedahan, maka wanita itu tidak bernifās, tetapi kalau masalah ‘iddah talak tetap berlaku setelah keluarnya anak itu, menurut kesepakatan semua ulama madzhab.

Hukum nifās adalah sama seperti hukum haidh, baik dari segi tidak sahnya shalat, puasa, dan wajib mengqadha’ kalau ia meninggalkan puasa, tetapi tidak wajib qadha’ untuk shalat yang ditinggalkan. Sama seperti haidh, juga diharamkan disetubuhi dan menyetubuhi, menyentuh al-Qur’ān, berdiam di dalam masjid atau memasukinya, tetapi dalam masalah terakhir ini ada perbedaan antara madzhab, juga tidak sah kalau ditalak menurut Imāmiyyah serta hukum-hukum lainnya. Adapun cara-cara mandi dan syarat-syaratnya, sama persis seperti haidh.