1-8 Cara Mengetahui Adanya Pencipta – Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

TERJEMAH TAUHID

سَبِيْلُ الْعَبِيْدِ عَلَى جَوْهَرَةِ التَّوْحِيْدِ
Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat
Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah
Penerbit: Sahifa Publishing

Cara Mengetahui Adanya Pencipta.

 

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

 

فَانْظُرْ إِلَى نَفْسِكَ ثُمَّ انْتَقِلِ لِلْعَالَمِ الْعُلْوِيِّ ثُمَّ السُّفْلِيْ
تَجِدْ بِهِ صُنْعًا بَدِيْعَ الْحِكَمِ لكِنْ بِهِ قَامَ دَلِيْلُ الْعَدَمِ.

Maka pikirkanlah tentang dirimu sendiri, lalu pindahlah ke alam ‘uluwī (yang di atas) kemudian alam suflī (yang di bawah).”

“Niscaya engkau akan menemukan penciptaan yang indah dan kokoh, dengannya (wujud penciptaan) menjadi adanya ketiadaan.

 

Wahai mukallaf, nazhar, renungkan, dan pikirkanlah tentang perilakumu dan berubah-ubahnya sifatmu, kemudian nazhar dan renungkanlah alam raya yang agung ini, baik yang di atas seperti langit ataupun yang di bawah seperti bumi. Maka dengan nazhar tersebut engkau akan menemukan penciptaan yang indah dan kokoh, tapi dengan adanya wujud penciptaan tersebut menjadikan petunjuk adanya ketiadaan.

 

Penjelasan

Wahai mukallaf, wajib bagimu nazhar, merenungkan dan berpikir tentang kondisi dirimu, kemampuan mendengar, melihat, dan berbicara, tinggi, rendah, dan berubah-ubahnya sifat yang ada pada dirimu; terjaga, tidur, sakit, sehat, mendengar, kemudian tidak mendengar, melihat, kemudian tidak melihat, itu semua tak kuasa kau ciptakan sendiri, ayah dan ibumu juga tidak merasa menciptakanmu. Dari sini menjadi nyata bahwa dirimu adalah dzāt yang ditempat gharadh lāzimah (sifat baru yang tetap), maka engkau pun akan berkata: “Tubuhku ditempati sifat-sifat baru sebagaimana yang telah disebutkan, setiap sesuatu yang ditempati sesuatu yang baru pasti juga berupa sesuatu yang baru, setiap sesuatu yang baru pasti ada yang menciptakan, pencipta tersebut adalah Dzāt yang bijaksana dan wajib wujudnya, dan pencipta itu adalah Allah s.w.t.”

Tidakkah kau merenungkan bahwa asal penciptaan manusia dari tanah? Seperti Nabi Ādam a.s. kemudian dari tulang rusuk beliau terciptalah Siti Hawā’, setelah itu manusia tercipta dari air mani laki-laki dan perempuan dan darah haid, atau dari air mani perempuan saja dengan darah haidh seperti Nabi ‘Īsā a.s., itu semua menunjukkan bahwa Dzāt yang bisa menciptakan hal tersebut pasti Dzāt yang qādirun (Maha Kuasa), murīdun (Maha Berkehendak), ‘ālimun (Maha Mengetahui), ḥākimun (Maha Bijaksana), mudabbir-us-samāwati wal-ardhi (Dzāt yang mengatur langit dan bumi). Inilah maksud hadits Nabi:

مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ.

Barang siapa mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya.

Maksudnya: “Barang siapa yang mengerti dan merasa bahwa dirinya adalah dzāt yang baru dan fakir, maka dia benar-benar mengetahui bahwa Tuhannya adalah Dzāt yang qidam (dahulu) dan ghinā (maha kaya)” (341)

Ada pula yang berpendapat bahwa makna hadits ini memberitahukan kelemahanmu, maksudnya: “Siapa saja yang mengaku mengetahui nafsu atau ruhnya, maka sebenarnya dia tidak tahu” jika demikian adanya, sampai mati pun, jangan pernah engkau berkeinginan mengetahui Tuhanmu. Engkau harus tahu itu, karena tidak ada yang mengetahui Allah kecuali Allah.

Ketika ada sesuatu yang diyakini keberadaannya, bersifat baru dan berada di antara lambungmu, tapi engkau tidak tahu wujudnya, seperti apa warnanya, di mana tempatnya, di bagian atas atau bagian bawah, membutuhkan tempat atau tidak, maka seperti itu pula Dzāt yang qadīm (dahulu) wujudnya, tidak ada arah, tidak bertempat, tanpa warna dan rupa, tidak di atas atau pun di bawah. Adanya ruh dalam dirimu, membuktikan adanya Allah dan menunjukkan keterbatasanmu.

Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa hadits tersebut bermakna istifhām inkari, artinya: “Siapakah orang yang bisa mengetahui nafsu atau ruhnya?” jawabannya: “tidak ada!” Barang siapa yang mengetahui nafsu atau ruhnya, dia mengetahui Tuhannya, padahal mustahil seseorang bisa mengetahui ruhnya, apalagi mengetahui Tuhannya, sebab:

لَا يَعْرِفُ اللهَ إِلَّا اللهُ.

Tidak ada yang mengetahui Allah selain Allah.”

Jika ada sesuatu yang berada di antara lambung saja tidak tahu rupa, warna, letaknya, bukankah hal itu dengan sangat jelas menunjukkan keterbatasanmu? Oleh karena itu, cukup yakini saja bahwa ruh itu ada, begitu juga yakinilah dengan pasti bahwa Allah itu wājib-ul-wujūd, artinya Allah adalah Dzāt yang wajib ada.

Tidak perlu kau renungkan dan kau pikirkan seperti apa wujud Allah, tapi cukup kau ketahui sifat dan af‘āl-Nya saja. Seperti halnya ruhmu yang baru adanya, jangan kau renungkan seperti apa wujudnya, cukup kau amati sifat-sifatnya, bergerak dan diam. Pahamilah dengan baik masalah ini, jangan sampai engkau memiliki pemahaman yang salah!

Jangan sekali-kali berkeyakinan bahwa rūḥ itu qadīm (bersifat dahulu) atau ruh itu akan bertemu dengan cahaya Allah, karena keyakinan seperti itu menyebabkan kekafiran. Ini merupakan keyakinan ahli filsafat yang meyakini bahwa ketika ruh sudah keluar dari jasad, maka akan kembali kepada Allah, seperti kembalinya bayangan pada pemiliki bayangan, atau seperti kembalinya buih pada lautan, sedangkan jasadnya kembali pada asal kejadiannya, yakni tanah, air, udara, dan api, keyakinan seperti ini adalah keyakinan kāfir zindiq.

Jangan sekali-kali engkau membaca buku-buku ahli filsafat atau buku-buku yang kemasukan atau mengandung ajaran ahli filsafat, seperti kitab “Insān Kāmil” (bukan: Al-Insān-ul-Kāmilu fī ma‘rifat-il-awākhiri wal-awā’il milik Syaikh ‘Abd-ul-Karīm al-Jīlī – S.H. karena tidak ada kalimat berikut) yang kalimat pembukanya berbunyi: “Ketahuilah wahai para murid” dan di bagian penutupnya berbunyi: “kemudian bayangan itu kembali pada pemiliknya, dan buih kembali ke air.” Buku itu diharamkan dan tidak boleh dibaca karena tercampur ajaran ahli filsafat, sedangkan orang-orang awam tidak mengerti mana yang benar dan mana yang salah. Di bagian belakang kitab ini in syā’ Allāh akan dijelaskan tentang ahli filsafat.

Setelah engkau nazhar terhadap dirimu dan berubah-ubahnya sifat-sifatmu, yang mana hal itu menunjukkan adanya Dzāt yang menciptakan yang bersifat qadīr (Maha Kuasa) dan ḥakīm (Maha Bijaksana). Maka lanjutkanlah nazhar pada alam raya yang agung ini, seperti langit yang berisi bintang, bulan, dan matahari, suatu waktu, langit terlihat terang, di lain waktu terlihat gelap, kadang juga terjadi gerhana. Matahari terletak di langit ke empat, jarak antara langit satu dengan lain sama dengan perjalanan 500 tahun, dengan jarak sejauh itu, matahari tetap terang dan terasa panas.

Kemudian lihatlah bumi beserta isinya, terdapat berbagai macam tumbuhan dan hewan, kesemuanya berubah-ubah sifatnya, kadang bergerak, kadang diam, bumipun seperti itu. Selain itu, juga terjadi perubahan warna, merah, putih, hitam, itu semua menunjukkan bahwa semuanya baru, maka engkaupun berkata: “Langit dan bumi beserta isinya senantiasa berubah-ubah kondisinya, kadang bergerak, kadang diam, setiap sesuatu yang berubah-ubah pasti sesuatu yang baru, setiap sesuatu yang baru pasti memiliki pencipta.” Dari sini dapat disimpulkan bahwa “langit dan bumi adalah sesuatu yang baru, jika keduanya adalah sesuatu yang baru maka mustahil bila keduanya bersifat qidam (dahulu) dan baqā’ (kekal). Keduanya pasti akan rusak, bermula dari ‘adam (tidak ada) menjadi wujūd (ada) dan dari wujūd (ada) menjadi ‘adam (tidak ada) lagi. Ada juga sesuatu yang setelah ada kemudian bersifat kekal atas kehendak Allah, seperti surga dan neraka. Inilah makna dari perkataan:

 

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

وَ كُلُّ مَا جَازَ عَلَيْهِ الْعَدَمُ عَلَيْهِ قَطْعًا يَسْتَحِيْلُ الْقِدَمُ

Dan setiap sesuatu yang boleh ‘adam (tiada) maka dapat dipastikan mustahil bersifat qidam (dahulu).”

Segala sesuatu yang mungkin tiada di alam ini, maka mustahil jika memiliki sifat qidam (dahulu).

 

Penjelasan:

Perkataan Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī memberi isyarat pada qiyās manthiqī (352), Adapun asalnya: “Alam raya mulai ‘Arsy sampai bumi lapis ketujuh beserta isinya, kesemuanya mungkin tiada, setiap sesuatu yang mungkin tiada maka mustahil bersifat qidam (dahulu)”. Dari sini muncul kesimpulan qiyās seperti ini: “Alam raya mulai dari ‘Arsy ke bawah itu mustahil bersifat qidam (dahulu). Jika mustahil bersifat qidam, pasti bersifat baru; jika bersifat baru, pasti butuh yang menciptakan, dan yang menciptakan adalah Allah s.w.t., Dzāt yang pasti ada dan memiliki sifat sempurna.” (363).

Catatan:


  1. 34). Tuḥfat-ul-Murīd, hal. 85. 
  2. 35). Qiyās manthiqī adalah menggunakan hal-hal yang kulli (universal) untuk bukti hal-hal yang juz’iy (partikular). (Syaikh ‘Abd-ur-Raḥmān al-Ahdharī, Sullām-ul-Munauraq, terj. H.M. Fadhl-is-Sa‘īd an-Nadwī, Surabaya, al-Hidāyah, hal. 29) 
  3. 36). Tuḥfat-ul-Murīd, hal. 88. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *