1-8 Berwudhu’ Karena Menyentuh Wanita – Ringkasan Kitab al-Umm

Ringkasan Kitab al-Umm
Buku 1 (Jilid 1-2)
(Judul Asli: Mukhtashar Kitab al-Umm fil-Fiqhi)
Oleh: Imam Syafi‘i Abu Abdullah Muhammad Idris

Penerjemah: Mohammad Yasir ‘Abd Mutholib
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Berwudhu’ Karena Menyentuh Wanita.

 

Imām Syāfi‘ī berkata: Allah tabāraka wa ta‘ālā berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai ke siku.” (al-Mā’idah [5]: 6).

Dalam ayat ini, Allah ‘azza wa jalla menyebutkan wudhu’ bagi orang yang berdiri hendak mengerjakan shalat. Maksud yang lebih dominan adalah orang yang berdiri (baca: bangun) dari tidur terlentang. Allah s.w.t. juga menyebutkan bersuci dari janabah. Kemudian setelah menyebutkan bersuci dari janabah, Allah s.w.t. berfirman: “Dan jika kamu junub, maka mandilah; dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan, atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan lalu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah.” (al-Mā’idah [5]: 6).

Imām Syāfi‘ī berkata: Telah sampai kepada kami dari Ibnu Mas‘ūd yang mendekati makna ucapan Ibnu ‘Umar: Apabila seorang laki-laki menyentuhkan tangannya kepada istrinya, atau bersentuhan sebagian tubuhnya pada sebagian tubuh istrinya di mana tidak ada pembatas antara dia dan istrinya, baik dengan nafsu birahi atau tidak, maka wajib atas keduanya berwudhu’.

Demikian halnya apabila sentuhan itu dari pihak istri, maka keduanya pun wajib berwudhu’. Jadi, mana saja dari badan keduanya yang tersentuh pada yang lain, baik dari pihak laki-laki yang menyentuh kulit wanita atau wanita yang menyentuh kulit lelaki, keduanya wajib berwudhu’.

Apabila laki-laki menyentuhkan tangannya pada rambut wanita, namun tidak sampai menyentuh kulitnya, maka tidak wajib atas orang itu berwudhu’, baik terdorong oleh nafsu birahi atau tidak. Demikian juga halnya apabila ia bernafsu kepada istrinya, namun ia tidak menyentuhnya, maka tidak wajib baginya berwudhu’ kembali. Nafsu tidak dapat dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum, sebab ia hanya ada dalam hati. Bahkan yang mesti dijadikan pegangan adalah perbuatan, sementara rambut berbeda dengan kulit.

Imām Syāfi‘ī berkata: Seandainya seseorang lebih berjaga-jaga dan berhati-hati, misalnya ketika ia menyentuh rambut wanita kemudian ia berwudhu’, niscaya hal itu lebih saya sukai.

Jika seseorang menyentuh dengan tangannya apa yang dikehendaki dari badan wanita; baik dilapisi kain tipis maupun yang tebal atau selainnya, disertai rasa nikmat ataupun tidak, dan hal itu diperbuat juga oleh wanita, maka tidak wajib bagi mereka untuk berwudhu’, karena masing-masing dari keduanya tidak saling bersentuhan. Hanya saja, setiap salah seorang dari keduanya menyentuh lawan jenisnya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *