Unta, Sang Hakim
Suatu hari seorang Yahudi menemui Rasūlullāh Saw. mengadukan bahwa seorang Muslim telah mencuri untanya. Ia mendatangkan empat saksi palsu dari kaum munafik. Karena kesaksian empat orang itu, Rasūlullāh Saw. memutuskan bahwa unta itu milik orang Yahudi dan tangan si Muslim harus dipotong. Tentu saja, si Muslim yang tidak merasa mencuri unta itu kaget dan berduka. Ia mengangkat kepalanya dan menadahkan tangannya, lalu berkata, “Ya Allah, Engkau Maha Mengetahui bahwa aku tidak mencuri unta itu.”
Kemudian ia berkata kepada Rasūlullāh Saw.: “Wahai Rasūlullāh, sungguh keputusanmu itu benar. Namun, aku mohon, sebelum tanganku dipotong, mintalah keterangan dari unta ini!”
Maka Rasūlullāh Saw. bertanya kepada si unta, “Hai unta, milik siapakah engkau?”
Unta itu menjawab dengan jelas, “Wahai Rasūlullāh, aku adalah milik orang Muslim ini dan sesungguhnya para saksi itu palsu semua.”
Akhirnya, Rasūlullāh Saw. berkata: “Hai Muslim, katakan kepadaku, apa yang kaulakukan hingga Allah menjadikan unta ini berbicara?”
“Wahai Rasūlullāh, di malam hari aku tidak tidur sebelum membaca shalawat kepadamu sepuluh kali.”
Rasūlullāh Saw. berkata: “Kau telah selamat dari hukum potong tanganmu di dunia dan selamat juga dari siksa di akhirat berkat shalawat yang kaubaca untukku.”
Kisah yang nyaris sama dialami seorang tokoh kafir Quraisy, ‘Amr ibn Hisyām, atau yang lebih dikenal dengan julukan Abū Jahal (Biang Kebodohan). Ketika Rasūlullāh Saw. menyeru kaumnya untuk beriman kepada Allah Swt., para pemuka Quraisy marah. Abū Jahal berseru: “Demi Allah, lebih baik aku mati daripada mengikutimu!”
Ketika para pemimpin Quraisy berkumpul merundingkan apa yang harus mereka lakukan kepada Muḥammad, Abū Jahal bertanya dengan nada marah: “Tidak adakah di antara kalian, hai kaum Quraisy, orang yang siap membunuh Muḥammad?”
“Tidak ada,” jawab mereka.
“Kalau begitu, aku yang akan membunuhnya,” tegas Abū Jahal, “jika keluarga ‘Abd-ul-Muththalib menuntut balas, biar aku sendiri yang terbunuh.”
Mereka berujar: “Sungguh jika benar kau mau melakukan itu, tentu kami akan selalu mengingatmu. Itu sungguh kebaikan yang tidak akan pernah kami lupakan.”
Kemudian Abū Jahal pergi ke Masjid-il-Ḥaram dan melihat Rasūlullāh Saw. sedang tawaf, lalu beliau shalat, dan sujud sangat lama. Sungguh kesempatan yang sempurna, pikir Abū Jahal. Lalu, ia mengambil batu dan membawanya untuk dilontarkan pada kepala Rasūlullāh Saw. yang sedang bersujud. Namun, saat ia berjalan mendekati Rasūlullāh, tiba-tiba seekor unta jantan muncul dari arah beliau, menghadang langkah Abū Jahal dan membuka mulutnya sagat lebar.
Menyaksikan unta besar yang menakutkan itu Abū Jahal gemetar hingga batu itu jatuh menimpa kakinya sendiri. Ia bergegas pulang dengan langkah tertatih dan muka pucat berkeringat. Para pemuka Quraisy yang ditemuinya bertanya: “Apa yang terjadi? Kami tidak pernah melihatmu dalam keadaan seperti sekarang.”
Abū Jahal menjawab: “Maafkan aku, saat aku hendak menumbuk kepalanya dengan batu, tiba-tiba seekor unta jantan muncul dari arah Muḥammad. Unta itu menghadangku dan membuka mulutnya lebar-lebar, siap menelanku. Batu yang siap kutumbukkan pada kepalanya jatuh menimpa kakiku sendiri.”
Allah Al-Musta’an.[]