Lingkungan masyarakat dalam alam demikian ini serta keadaan moral, politik dan sosial yang ada pada mereka, mempunyai pengaruh yang sama terhadap cara beragamanya. Melihat hubungannya dengan agama Kristen Rumawi dan Majusi Persia, adakah Yaman dapat terpengaruh oleh kedua agama itu dan sekaligus mempengaruhi kedua agama tersebut di jazīrah ‘Arab lainnya? Ini juga yang terlintas dalam pikiran kita, terutama mengenai agama Kristen. Misi Kristen yang ada pada masa itu sama giatnya seperti yang sekarang dalam mempropagandakan agama. Pengaruh pengertian agama dalam jiwa serta cara hidup kaum pengembara tidak sama dengan orang kota. Dalam kehidupan kaum pengembara manusia berhubungan dengan alam, ia merasakan adanya wujud yang tak terbatas dalam segala bentuknya. Ia merasa perlu mengatur suatu cara hidup antara dirinya dengan alam dengan ketak-terbatasannya itu. Sedang bagi orang kota ketak-terbatasan itu sudah tertutup oleh kesibukannya hari-hari, oleh adanya perlindungan masyarakat terhadap dirinya sebagai imbalan atas kebebasannya yang diberikan sebagian kepada masyarakat, serta kesediaannya tunduk kepada undang-undang penguasa supaya memperoleh jaminan dan hak perlindungan. Hal ini menyebabkannya tidak merasa perlu berhubungan dengan yang di luar penguasa itu, dengan kekuatan alam yang begitu dahsyat terhadap kehidupan manusia. Hubungan jiwa dengan unsur-unsur alam yang di sekitarnya jadi berkurang.
Dalam keadaan serupa ini, apakah yang telah diperoleh Kristen dengan kegiatannya yang begitu besar sejak abad-abad permulaan dalam menyebarkan ajaran agamanya itu? Barangkali soalnya hanya akan sampai di situ saja kalau tidak karena adanya soal-soal lain yang menyebabkan negeri-negeri ‘Arab itu, termasuk Yaman, tetap bertahan pada paganisma agama nenek-moyangnya, dan hanya beberapa kabilah saja yang mau menerima agama Kristen.
Manifestasi peradaban dunia yang paling jelas pada masa itu – seperti yang sudah kita saksikan – berpusat di sekitar Laut Tengah dan Laut Merah. Agama-agama Kristen dan Yahudi bertetangga begitu dekat sekitar tempat itu. Kalau keduanya tidak memperlihatkan permusuhan yang berarti, juga tidak memperlihatkan persahabatan yang berarti pula. Orang-orang Yahudi masa itu dan sampai sekarang juga masih menyebut-nyebut adanya pembangkangan dan perlawanan Nabi ‘Īsā kepada agama mereka. Dengan diam-diam mereka bekerja mau membendung arus agama Kristen yang telah mengusir mereka dari Palestina, dan yang masih berlindung di bawah panji Imperium Rumawi yang membentang luas itu.
Orang-orang Yahudi di negeri-negeri ‘Arab merupakan kaum imigran yang besar, kebanyakan mereka tinggal di Yaman dan Yatsrib. Di samping itu kemudian agama Majusi (Mazdaisma) Persia tegak menghadapi arus kekuatan Kristen supaya tidak sampai menyeberangi Furat (Euphrates) ke Persia, dan kekuatan moril demikian itu didukung oleh keadaan paganisma di mana saja ia berada. Jatuhnya Rumawi dan hilangnya kekuasaan yang di tangannya, ialah sesudah pindahnya pusat peradaban dunia itu ke Bizantium.
Gejala-gejala kemunduran berikutnya ialah bertambah banyaknya sekta-sekta Kristen yang sampai menimbulkan pertentangan dan peperangan antara sesama mereka. Ini membawa akibat merosotnya martabat iman yang tinggi ke dalam kancah perdebatan tentang bentuk dan ucapan, tentang sampai di mana kesucian Mariam: adakah ia yang lebih utama dari anaknya ‘Īsā al-Masīḥ atau anak yang lebih utama dari ibu – suatu perdebatan yang terjadi di mana-mana, suatu pertanda yang akan membawa akibat hancurnya apa yang sudah biasa berlaku.
Ini tentu disebabkan oleh karena isi dibuang dan kulit yang diambil, dan terus menimbun kulit itu di atas isi sehingga akhirnya mustahil sekali orang akan dapat melihat isi atau akan menembusi timbunan kulit itu.
Apa yang telah menjadi pokok perdebatan kaum Nasrani Syām, lain lagi dengan yang menjadi perdebatan kaum Nasrani di Hira dan Abisinia. Dan orang-orang Yahudipun, melihat hubungannya dengan orang-orang Nasrani, tidak akan berusaha mengurangi atau menenteramkan perdebatan semacam itu. Oleh karena itu sudah wajar pula orang-orang ‘Arab yang berhubungan dengan kaum Nasrani Syam dan Yaman dalam perjalanan mereka pada musim dingin atau musim panas atau dengan orang-orang Nasrani yang datang dari Abisinia, tetap tidak akan sudi memihak salah satu di antara golongan-golongan itu. Mereka sudah puas dengan kehidupan agama berhala yang ada pada mereka sejak mereka dilahirkan, mengikuti cara hidup nenek-moyang mereka.
Oleh karena itu, kehidupan menyembah berhala itu tetap subur di kalangan mereka, sehingga pengaruh demikian inipun sampai kepada tetangga-tetangga mereka yang beragama Kristen di Najran dan agama Yahudi di Yatsrib, yang pada mulanya memberikan kelonggaran kepada mereka, kemudian turut menerimanya. Hubungan mereka dengan orang-orang ‘Arab yang menyembah berhala untuk mendekatkan diri kepada Tuhan itu baik-baik saja.
Yang menyebabkan orang-orang ‘Arab itu tetap bertahan pada paganismanya bukan saja karena ada pertentangan di antara golongan-golongan Kristen. Kepercayaan paganisma itu masih tetap hidup di kalangan bangsa-bangsa yang sudah menerima ajaran Kristen. Paganisma Mesir dan Yunani masih tetap berpengaruh di tengah-tengah pelbagai madzhab yang beraneka macam dan di antara pelbagai sekta-sekta Kristen sendiri. Aliran Alexandria dan filsafat Alexandria masih tetap berpengaruh, meskipun sudah banyak berkurang dibandingkan dengan masa Ptolemies dan masa permulaan agama Masehi. Bagaimanapun juga pengaruh itu tetap merasuk ke dalam hati mereka. Logikanya yang tampak cemerlang sekalipun pada dasarnya masih bersifat sofistik – dapat juga menarik kepercayaan paganisma yang polytheistik, yang dengan kecintaannya itu dapat didekatkan kepada kekuasaan manusia.
Saya kira inilah yang lebih kuat mengikat jiwa yang masih lemah itu pada paganisma, dalam setiap zaman, sampai saat kita sekarang ini. Jiwa yang lemah itu tidak sanggup mencapai tingkat yang lebih tinggi, jiwa yang akan menghubungkannya pada semesta alam sehingga ia dapat memahami adanya kesatuan yang menjelma dalam segala yang lebih tinggi, yang sublim dari semua yang ada dalam wujud ini, menjelma dalam Wujud Tuhan Yang Maha Esa. Kepercayaan demikian itu hanya sampai pada suatu manifestasi alam saja seperti matahari, bulan atau api misalnya. Lalu tak berdaya lagi mencapai segala yang lebih tinggi, yang akan memperlihatkan adanya manifestasi alam dalam kesatuannya itu.
Bagi jiwa yang lemah ini cukup hanya dengan berhala saja. Ia akan membawa gambaran yang masih kabur dan rendah tentang pengertian wujud dan kesatuannya. Dalam hubungannya dengan berhala itu lalu dilengkapi lagi dengan segala gambaran kudus, yang sampai sekarang masih dapat kita saksikan di seluruh dunia, sekalipun dunia yang mendakwakan dirinya modern dalam ilmu pengetahuan dan sudah maju pula dalam peradaban. Misalnya mereka yang pernah berziarah ke gereja Santa Petrus di Roma, mereka melihat kaki patung Santa Petrus yang didirikan di tempat itu sudah bergurat-gurat karena diciumi oleh penganut-penganutnya, sehingga setiap waktu terpaksa gereja memperbaiki kembali mana-mana yang rusak.
Melihat semua itu kita dapat memaklumi. Mereka belum nmendapat petunjuk Tuhan kepada iman yang sebenarnya. Mereka melihat pertentangan-pertentangan kaum Kristen yang menjadi tetangga mereka serta cara-cara hidup paganisma yang masih ada pada mereka, di tengah-tengah mereka sendiri yang masih menyembah berhala itu sebagai warisan dari nenek-moyang mereka. Betapa kita tak akan memaafkan mereka. Situasi demikian ini sudah begitu berakar di seluruh dunia, tak putus-putusnya sampai saat ini, dan saya kira memang tidak akan pernah berakhir. Kaum Muslimin dewasa inipun membiarkan paganisma itu dalam agama mereka, agama yang datang hendak menghapus paganisma, yang datang hendak menghilangkan segala penyembahan kepada siapa saja selain kepada Allah Yang Maha Esa.
Cara-cara penyembahan berhala orang-orang ‘Arab dahulu itu banyak sekali macamnya. Bagi kita yang mengadakan penyelidikan dewasa ini sukar sekali akan dapat mengetahui seluk-beluknya. Nabi sendiri telah menghancurkan berhala-berhala itu dan menganjurkan para sahabat menghancurkannya di mana saja adanya. Kaum Muslimin sudah tidak lagi bicara tentang itu sesudah semua yang berhubungan dengan pengaruh itu dalam sejarah dan lektur dihilangkan. Tetapi apa yang disebutkan dalam Qur’ān dan yang dibawa oleh ahli-ahli sejarah dalam abad kedua Hijrah – sesudah kaum Muslimin tidak lagi akan tergoda karenanya – menunjukkan, bahwa sebelum Islam paganisma dalam bentuknya yang pelbagai macam, mempunyai tempat yang tinggi.
Di samping itu menunjukkan pula bahwa kekudusan berhala-berhala itu bertingkat-tingkat adanya. Setiap kabilah atau suku mempunyai patung sendiri sebagai pusat penyembahan. Sesembahan-sesembahan zaman jahiliah inipun berbeda-beda pula antara sebutan shanam (patung), wathan (berhala) dan nushub. Shanam ialah dalam bentuk manusia dibuat dari logam atau kayu, Wathan demikian juga dibuat dari batu, sedang nushub adalah batu karang tanpa suatu bentuk tertentu. Beberapa kabilah melakukan cara-cara ibadahnya sendiri-sendiri. Mereka beranggapan batu karang itu berasal dari langit meskipun agaknya itu adalah batu kawah atau yang serupa itu. Di antara berhala-berhala yang baik buatannya agaknya yang berasal dari Yaman. Hal ini tidak mengherankan. Kemajuan peradaban mereka tidak dikenal di Hijaz, Najd atau di Kinda. Sayang sekali, buku-buku tentang berhala ini tidak melukiskan secara terperinci bentuk-bentuk berhala itu, kecuali tentang Hubal yang dibuat dari batu akik dalam bentuk manusia, dan bahwa lengannya pernah rusak dan oleh orang-orang Quraisy diganti dengan lengan dari emas. Hubal ini ialah dewa orang ‘Arab yang paling besar dan diletakkan dalam Ka‘bah di Makkah. Orang-orang dari semua penjuru jazīrah datang berziarah ke tempat itu.
Tidak cukup dengan berhala-berhala besar itu saja buat orang-orang ‘Arab guna menyampaikan sembahyang dan memberikan kurban-kurban, tetapi kebanyakan mereka itu mempunyai pula patung-patung dan berhala-berhala dalam rumah masing-masing. Mereka mengelilingi patungnya itu ketika akan keluar atau sesudah kembali pulang, dan dibawanya pula dalam perjalanan bila patung itu mengijinkan ia bepergian. Semua patung itu, baik yang ada dalam Ka‘bah atau yang ada di sekelilingnya, begitu juga yang ada di semua penjuru negeri ‘Arab atau kabilah-kabilah dianggap sebagai perantara antara penganutnya dengan dewa besar. Mereka beranggapan penyembahannya kepada dewa-dewa itu sebagai pendekatan kepada Tuhan dan menyembah kepada Tuhan sudah mereka lupakan karena telah menyembah berhala-berhala itu.
Meskipun Yaman mempunyai peradaban yang paling tinggi di antara seluruh jazīrah ‘Arab, yang disebabkan oleh kesuburan negerinya serta pengaturan pengairannya yang baik, namun ia tidak menjadi pusat perhatian negeri-negeri sahara yang terbentang luas itu, juga tidak menjadi pusat keagamaan mereka. Tetapi yang menjadi pusat adalah Makkah dengan Ka‘bah sebagai rumah Ismā‘īl. Ke tempat itu orang berkunjung dan ke tempat itu pula orang melepaskan pandang. Bulan-bulan suci sangat dipelihara melebihi tempat lain.
Oleh karena itu, dan sebagai markas perdagangan jazīrah ‘Arab yang istimewa, Makkah dianggap sebagai ibukota seluruh jazīrah. Kemudian takdirpun menghendaki pula ia menjadi tanah kelahiran Nabi Muḥammad, dan dengan demikian ia menjadi sasaran pandangan dunia sepanjang zaman. Ka‘bah tetap disucikan dan suku Quraisy masih menempati kedudukan yang tinggi, sekalipun mereka semua tetap sebagai orang-orang Badwi yang kasar sejak berabad-abad lamanya.