1-7 Pertemuan Pertama – Tauhid Mufadhdhal – Mengurai Tanda Kebesaran Allah

Mengurai Tanda KEBESARAN ALLAH

(Judul Asli:
تَوْحِيْدُ الْمُفَضَّلِ
TAUḤĪD-UL-MUFADHDHAL
Imlā’ al-Imām Abī ‘Abdillāh ash-Shādiq, ‘alā al-Mufadhdhal ibn ‘Umar al-Ju‘fiy)

Penerjemah: Irwan Kurniawan
Penerbit: PUSTAKA HIDAYAH

(Diketik oleh: Said (Rico Akbar)

Rangkaian Pos: Pertemuan Pertama - Tauhid Mufadhdhal - Mengurai Tanda Kebesaran Allah

KEEMPAT PULUH ENAM.

Karunia bagi Manusia: Apa yang Mendatangkan Kebaikan bagi Agama dan Dunianya, serta Pencegahannya dari selain Itu.

Wahai Mufadhdhal, pikirkanlah mengenai apa yang diberikan kepada manusia untuk diketahui dan yang untuk tidak diketahui. Manusia diberi ilmu yang dapat mendatangkan kebaikan bagi agama dan dunianya. Di antara yang dapat mendatangkan kebaikan bagi agamanya adalah makrifat kepada Pencipta Yang Maha Suci dan Maha Tinggi dan dalil-dalil dan bukti-bukti yang berlaku dalam ciptaan, dan mengetahui hal-hal yang wajib baginya berupa sifat keadilan bagi seluruh manusia, perbuatan baik kepada kedua orang tua, menunaikan amanat, menyayangi makhluk dan sebagainya dari hal-hal yang didapati pengetahuannya dan pengakuannya melalui bawaan dan fitrah dari setiap umat, yang sama dan yang berbeda. Demikian pula manusia diberi ilmu yang dapat mendatangkan kebaikan bagi dunianya, seperti pengetahuan tentang pengolahan tanah dan bercocok tanam, beternak, pengairan, pengobatan, pengolahan barang tambang untuk memperoleh perhiasan, pembuatan kapal, penyelaman di dalam laut, teknik-teknik perburuan binatang-binatang liar, industri, perdagangan dan sebagainya yang mengandung kebaikan bagi kepentingannya di dunia ini. Manusia diberi ilmu yang mengandung kebaikan bagi agama dan dunianya, dan pencegahannya dari selain itu, yang tidak penting baginya dan tidak mampu diketahuinya, seperti ilmu gaib dan bahkan yang nyata. Termasuk yang tidak mampu diketahuinya adalah juga sebagian yang nyata seperti pengetahuan terhadap apa yang ada di langit dan di dalam bumi, yang ada di dasar lautan dan di penjuru dunia, yang ada di dalam hati manusia, di dalam rahim dan sebagainya yang tertutup dari pengetahuan manusia.

Sekelompok manusia mengaku tahu terhadap masalah-masalah ini. Maka terbantah pengakuan mereka yang ditampakkan dari kesalahan-kesalahan mereka dengan apa yang mereka putuskan sendiri.

Perhatikanlah, bagaimana manusia diberi pengetahuan tentang semua yang diperlukan bagi agama dan dunianya, dan tercegah dari hal selain itu agar menyadari kekurangan dan kemampuannya. Dan di dalam kedua hal itu terdapat kebaikan baginya.

 

KEEMPAT PULUH TUJUH.

Ketidaktahuan Manusia terhadap Lama Hidupnya.

Kini perhatikan, wahai Mufadhdhal, ketidaktahuan manusia terhadap lama hidupnya. Kalau ia mengetahui kadar usianya–dan ia berumur pendek–maka ia tidak akan merasa tenang hidupnya, karena kematian telah dekat dan akan menjemputnya pada waktu yang telah ia ketahui. Bahkan ia seperti orang yang telah kehilangan atau hampir lenyap hartanya. Ia merasakan kefakiran dan merasa ketakutan akan kehilangan harta. Padahal orang yang menghadapi kehilangan umur lebih besar ketakutannya daripada orang yang kehilangan harta. Karena, orang yang berkurang hartanya masih dapat berharap akan mendapatkannya kembali, sehingga ia merasa terhibur. Sedangkan orang yang yakin akan kehilangan umur, ia akan ditimpa keputusasaan. Kalau seseorang itu berumur panjang dan ia mengetahuinya, maka ia akan merasa tenang sehingga menghambur-hamburkan (throw away, waste) sisa usianya dalam kelezatan duniawi, kemaksiatan dan mengumbar (free something, let loose) hawa nafsunya. Kemudian ia bertobat di usianya. Ini merupakan jalan hidup yang tidak diridhai Allah s.w.t. dari hamba-hambaNya. Dan Dia tidak akan menerima tobatnya. Tidakkah engkau perhatikan bahwa kalau seorang budakmu melakukan hal yang tidak engkau senangi selama satu hari atau satu bulan, maka engkau tidak akan menerima hal itu. Engkau tidak akan menganggapnya sebagai hamba yang saleh ketika ia tidak menampakkan ketaatan kepadamu dan mengikuti nasihatmu dalam setiap pekerjaannya. Dalam setiap waktu seseorang melakukan kemaksiatan, lalu bertobat, maka apakah diterima tobatnya? Jawab kami adalah: Jika hal itu disebabkan kekuatan syahwatnya, tanpa dapat menguasai dirinya, maka Allah akan berpaling kepadanya dan memberikan ampunan-Nya. Tetapi jika ia melakukan kemaksiatan atas kehendaknya, kemudian setelah ia bertobat, maka ia hanya mencoba mengelabui (deceive) Zat yang tidak dapat dikelabui. Ia bersenang-senang dahulu, lalu bersungguh-sungguh dan mengikhlaskan dirinya untuk bertobat kemudian. Padahal kesungguhannya dalam bertobat tidak mengimbangi (equal) kemaksiatannya. Kecenderungan pada kesenangan dan kelezatan, lalu ketabahan (firmness, determination) dalam bertobat, terutama ketika sudah lanjut usia dan badan menjadi lemah, bukanlah hal yang mudah. Tidak ada jaminan bagi manusia, dengan menolak tobat dalam menyongsong (welcome, carry out) kematian sehingga ia keluar dari dunia ini dalam keadaan tidak bertobat. Ibarat orang yang berutang hingga batas waktu tertentu, ketika ia mampu untuk membayarnya tetapi tidak melunasinya dan menangguhkan utangnya sampai melewati batas waktu yang ditentukannya. Hal yang paling baik bagi manusia adalah tidak mengetahui batas umurnya. Sehingga sekalipun orang itu memiliki usia yang panjang, ia selalu menantikan kematian. Ia meninggalkan kemaksiatan dan memperbanyak amal saleh.

Manusia tidak mengetahui lama hidupnya, sehingga ia selalu mengingat mati setiap kali mendekati perbuatan keji dan melakukan perbuatan haram. Hikmah dari pengaturan ini adalah jika ketidaktahuan terhadap lamanya hidup ini tetap tidak menjadikannya menyesal dan berpaling dari keburukan, maka itu merupakan kesombongan dan kekerasan hatinya, bukan kesalahan dalam pengaturan. Ibarat dokter yang menuliskan resep untuk orang sakit dengan apa yang bermanfaat baginya. Tetapi jika si sakit itu menyimpang dari apa yang dikatakan dokter, tidak melakukan apa yang diperintahkan kepadanya, tidak berhenti dari apa yang dilarangnya, tidak mengambil manfaat dari resep yang diberikan kepadanya, maka kesalahan bukanlah dari dokter, melainkan dari si sakit yang tidak mengindahkannya. Kalau orang yang mengira akan datangnya kematian setiap saat tidak menghindarkan diri dari kemaksiatan, maka apalagi orang yang meyakini bahwa usianya masih panjang, sehingga ia akan melakukan dosa-dosa besar dan keji.

Menghadapi kematian dalam segala keadaan adalah lebih baik baginya daripada meyakini panjangnya usia kemudian kematian itu menjemputnya. Sebagian orang melupakannya dan tidak mengambil pelajaran darinya. Tetapi ada sebagian lagi yang mengambil pelajaran darinya, berhenti dari kemaksiatan, memperbanyak amal saleh, mendermakan harta dan kekayaannya yang bagus kepada para fakir miskin. Tidaklah merupakan keadilan jika ia tidak memperoleh keuntungan dari perangainya ini.

 

KEEMPAT PULUH DELAPAN.

Bercampurnya Impian antara yang Benar dan yang Bohong.

Wahai Mufadhdhal, perhatikanlah mengenai mimpi, bagaimana pengaturannya. Di dalam mimpi tercampur antara yang benar dan yang bohong. Karena, kalau semua mimpi itu benar, maka semua manusia adalah nabi. Dan kalau semua mimpi itu bohong, maka tidaklah ada manfaatnya, melainkan semata-mata kesia-siaan yang tidak bermanfaat. Maka dijadikanlah mimpi itu kadang-kadang benar sehingga manusia dapat mengambil manfaat bagi kemaslahatan dengan mengambil petunjuk darinya dan bahaya yang diwaspadainya. Dan kebanyakannya adalah bohong agar ia tidak selalu bersandar padanya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *