1-7 Hal-hal Yang Mewajibkan Wudhu’ Dan Yang Tidak – Ringkasan Kitab al-Umm

Ringkasan Kitab al-Umm
Buku 1 (Jilid 1-2)
(Judul Asli: Mukhtashar Kitab al-Umm fil-Fiqhi)
Oleh: Imam Syafi‘i Abu Abdullah Muhammad Idris

Penerjemah: Mohammad Yasir ‘Abd Mutholib
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Hal-hal yang Mewajibkan Wudhu’ dan yang Tidak

 

Imām Syāfi‘ī berkata: Allah s.w.t. berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu.” (al-Mā’idah [5]: 6).

Imām Syāfi‘ī berkata: Diriwayatkan dari Abū Hurairah r.a. bahwa Nabi s.a.w. bersabda:

إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحْدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلَا يَغْمِسْ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلَاثًا فَإِنَّهُ لَا يَدْرِيْ أَيْنَ بَاتَتْ يَدَهُ.

Apabila salah seorang di antara kamu bangun dari tidurnya, maka janganlah ia membenamkan tangannya ke dalam bejana sebelum ia mencucinya tiga kali, karena ia tidak mengetahui di manakah tangannya bermalam.” (251).

Imām Syāfi‘ī berkata: Barang siapa tidur dengan terlentang maka wajib atasnya berwudhu’ kembali, karena ia berarti bangun dari tidur. Tidur dapat menghilangkan fungsi akal. Barang siapa akalnya tidak berfungsi akibat gila atau sakit, baik ia tidak terlentang ataupun tidak, maka wajib atasnya berwudhu’, karena keadaannya lebih banyak menyerupai orang tidur. Bahkan, orang yang tidur bisa sadar dengan sebab tergeraknya sesuatu atau tanpa sebab apa-apa. Sementara orang yang akalnya tidak berfungsi akibat gila atau sebab lainnya, ia tidak akan bergerak (yakni tidak sadar).

Imām Syāfi‘ī berkata: Apabila seseorang tidur dalam keadaan duduk, maka saya lebih suka jika orang tersebut berwudhu’ kembali.

Imām Syāfi‘ī berkata: Apabila ia tidur pada posisi duduk tegak, maka saya memandang bahwa ia tidak wajib berwudhu’, sebab orang yang tidur dengan posisi terlentang tidak sama dengan orang yang tidur dalam keadaan duduk, dikarenakan tidur dengan posisi terlentang akan terasa lebih nyenyak, sehingga akalnya akan terasa lebih tidak berfungsi dibanding orang yang tidur dalam keadaan duduk.

Imām Syāfi‘ī berkata: Apabila ia telah bergeser dari posisi duduk tegak saat tidur, maka ia wajib mengulang wudhu’nya, karena orang yang tidur dalam keadaan duduk itu menekan dirinya pada lantai dan hampir tidak keluar sesuatu kecuali ia akan menyadarinya. Apabila ia telah bergeser dari duduknya yang tegak, maka ia berada dalam batasan tidur dengan terlentang yang rawan terjadi hadats. Apabila seseorang tidur dengan posisi ruku atau sujud, maka saya wajibkan atasnya untuk berwudhu’, sebab posisi ini lebih rawan lagi di mana hadats dapat keluar tanpa disadari dibandingkan orang yang tidur dengan posisi terlentang.

Imām Syāfi‘ī berkata: Yang mewajibkan seseorang untuk berwudhu’ kembali karena tidur ialah hilangnya fungsi akal, baik tidur ringan maupun tidur nyenyak. Adapun orang yang fungsi akalnya tidak hilang, baik tidur dengan posisi terlentang, menganggukkan kepala karena mengantuk atau adanya bisikan hati, maka hal itu tidak mewajibkan untuk berwudhu’ kembali, sehingga ia yakin bahwa ia telah berhadats.

Beliau (Imām Syāfi‘ī) berkata: Sama halnya apakah seseorang menaiki perahu layar, menunggang unta maupun binatang lainnya, atau orang yang duduk tegak di lantai tatkala telah melewati batasan “tegak” sewaktu duduk, atau tidur dengan posisi berdiri, ruku‘, sujud atau terlentang, maka wajib atas orang itu mengulangi wudhu’nya. Apabila orang itu ragu tentang tidurnya dan terbesit dalam benaknya sesuatu yang tidak diketahuinya, apakah ia bermimpi atau hanya bisikan hati, maka orang tersebut bukan termasuk orang yang tidur. Apabila ia yakin bermimpi dan ragu apakah ia tidur atau tidak, maka ia dianggap telah tidur dan harus mengulangi wudhu’nya.

Berhati-hati pada masalah pertama bisa dilakukan dengan cara berwudhu’ kembali. Wajib baginya berwudhu’ karena bermimpi dan ketika yakin bahwa ia telah tidur, meski tidak lama.

Catatan:


  1. (25). HR. Abū Dāūd, pembahasan tentang wajibnya wudhu’, bab “Seorang Lelaki yang Memasukkan Tangannya ke dalam Bejana Sebelum Mencucinya”, hadits no. 203, ‘Aun-ul-Ma‘būdi Syarḥi Sunani Abī Dāūd, jilid 1, hal. 177. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *