1-7 Haidh – Fiqih Lima Madzhab

FIQIH LIMA MADZHAB
(Ja‘farī, Ḥanafī, Mālikī, Syāfi‘ī, Ḥanbalī)
(Judul Asli: Al-Fiqhu ‘Alal-Madzāhib-il-Khamsah)
Oleh: Muhammad Jawad Mughniyah.

Penerjemah: Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus al-Kaff.
Penerbit: PT LENTERA BASRITAMA

Rangkaian Pos: 001 Thaharah | Fiqih Lima Madzhab

BAB 7

HAIDH

 

Haidh secara bahasa berarti: Mengalir, sedangkan secara terminologis (istilah) menurut para ahli fiqih berarti: Darah yang biasa keluar pada diri seorang wanita pada hari-hari tertentu. Haidh itu mempunyai dampak yang membolehkan meninggalkan ibadah dan menjadi patokan selesainya ‘iddah bagi wanita yang dicerai. Biasanya darahnya berwarna hitam atau merah kental (tua) dan panas. Ia mempunyai daya dorong, tetapi kadang-kadang ia keluar tidak seperti yang digambarkan di atas, karena sifat-sifat darah haidh sesuai dengan makanan yang masuk ke dalam tubuhnya.

 

Usia Wanita Haidh

Semua ulama madzhab sepakat bahwa wanita itu tidak akan haidh kalau belum berusia sembilan tahun. Maka bila datang sebelum usia tersebut, semua sepakat bahwa itu darah penyakit. Begitu juga darah yang keluar dari wanita berusia lanjut. Hanya mereka berbeda pendapat tentang batas usia lanjut yang haidnya telah berhenti.

Ḥanbalī: Lima puluh tahun.

Ḥanafī: Lima puluh lima tahun.

Mālikī: Tujuh puluh tahun.

Syāfi‘ī: Selama masih hidup haidh itu masih mungkin, sekalipun biasanya berhenti setelah berusia enam puluh dua tahun.

Imāmiyyah: Batasnya berhenti lima puluh lima tahun bagi wanita-wanita yang bukan keturunan Quraisy dan juga bagi wanita yang diragukan apakah ia Quraisy atau bukan. Sedangkan wanita Quraisy biasanya enam puluh tahun.

 

Lamanya Waktu Haidh.

Ḥanafī dan Imāmiyyah: Paling sedikitnya haidh itu tiga hari, dan paling banyak sepuluh hari. Dan darah itu tidak keluar terus-menerus selama tiga hari, atau darah yang keluar lebih dari sepuluh hari, maka ia bukan darah haidh.

Ḥanbalī dan Syāfi‘ī: Paling sedikitnya selama satu hari satu malam, dan paling banyaknya selama lima belas hari.

Mālikī: Paling banyaknya lima belas hari bagi wanita yang tidak hamil, sedangkan sedikitnya tidak ada batas.

Semua ulama madzhab sepakat bahwa haidh itu tidak ada batas masa sucinya, yang dipisah dengan dua kali haidh. Sedangkan paling sedikitnya tiga belas hari, menurut Ḥanafī, Syāfi‘ī dan Mālikī: paling sedikit 15 hari.

Imāmiyyah: Paling sedikitnya masa suci itu adalah paling banyaknya masa haidh, yaitu sepuluh hari.

Ulama madzhab berbeda pendapat terjadinya haidh dengan hamil secara bersamaan. Apakah kalau ia sudah nampak hamil masih bisa haidh?

Syāfi‘ī, Mālikī dan kebanyakan ulama Imāmiyyah: Haidh dan hamil masih bisa secara bersamaan. Ḥanafī, Ḥanbalī dan Syaikh al-Mufīd dari golongan Imāmiyyah: Tidak bisa berkumpul secara bersamaan.

 

Hukum-hukum Haidh.

Bagi wanita haidh diharamkan semua yang diharamkan pada orang yang junub, baik menyentuh al-Qur’ān dan berdiam di dalam masjid. Pada hari-hari haidh diharamkan berpuasa dan shalat, hanya ia wajib menggantinya (mengqadhā’) hari-hari puasa Ramadhān yang ditinggalkannya, tetapi kalau shalat tidak usah diganti, karena berdasarkan beberapa hadits dan demi menjaga (terhindar) kesukaran karena banyaknya mengulang-ulang shalat, tapi kalau puasa tidak. Diharamkan pula mentalak istri yang sedang haidh, tapi kalau telah terjadi, maka sah talaknya, hanya menurut empat madzhab orang yang mentalaknya itu berdosa, sedangkan menurut Imāmiyyah talaknya itu batal kalau suami itu telah menyetubuhinya, atau suaminya masih berada di sisinya, atau istri itu masih belum hamil. Dan sah mentalak istri yang sedang haidh, istri yang sedang hamil dan belum disetubuhi serta bagi wanita yang sedang ditinggal suaminya. Keterangan lebih rinci, in syā’ Allāh akan dijelaskan nanti dalam bāb thalāq (talak).

Semua ulama madzhab sepakat bahwa mandi haidh tidak cukup tanpa wudhu’, karena wudhu’nya wanita haidh dan mandinya tidak dapat menghilangkan hadats. Mereka juga sepakat untuk mengharamkan menyetubuhi wanita pada hari-hari haidh. Sedangkan kalau menikmatinya di antara lutut dan pusar, menurut Imāmiyyah dan Ḥanbalī: Boleh secara mutlak, baik dengan aling-aling maupun tidak.

Pendapat Mālikī yang terkenal adalah tidak boleh walau ada aling-aling (batas). Ḥanafī dan Syāfi‘ī: Diharamkan kalau tanpa aling-aling tetapi bila dengan aling-aling adalah boleh.

Pendapat kebanyakan ulama fiqih Imāmiyyah: Kalau suaminya telah dikalahkan oleh nafsu seksualnya, lalu ia mendekati istrinya yang sedang haidh, maka ia harus membayar kifārah (denda) dengan satu dinar kalau ia mengerjakannya pada masa awal haidh; Tetapi jika ia mengerjakannya pada pertengahan haidh, ia harus membayarnya setengah dinar; dan kalau ia mengerjakannya pada akhir masa haidh, ia membayarnya seperempat dinar.

Syāfi‘ī, dan Mālikī: Disunnahkan bersedekah, tetapi tidak diwajibkan. Sedangkan wanitanya (istrinya) tidak perlu (ada kewajiban) membayar kifārah, menurut semua ulama madzhab tetapi ia tetap berdosa kalau ia suka dan menurutinya.

 

Cara-cara Mandi.

Mandi haidh sama seperti mandi junub, baik dari segi airnya, ia wajib air muthlak, dari sucinya, wajib suci badannya, dan tidak ada sesuatu yang mencegah sampainya air ke badan, niat, memulai dari kepala, kemudian dari bagian tubuh yang kanan, lalu bagian tubuh yang kiri, menurut Imāmiyyah, dan cukup dengan menceburkan semua badannya sekaligus ke dalam air.

Empat Madzhab: Meratakan air ke semua badannya, sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan tentang mandi junub, tanpa ada perbedaan.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *