1-6 Wajibnya Ma’rifatullah – Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

TERJEMAH TAUHID

سَبِيْلُ الْعَبِيْدِ عَلَى جَوْهَرَةِ التَّوْحِيْدِ
Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat
Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah
Penerbit: Sahifa Publishing

Wajibnya Ma‘rifatullah dan Larangan Taqlid.

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī melanjutkan pembahasan tentang wajibnya ma‘rifatullāh dan larangan bertaqlid. Beliau berkata:

إِذْ كُلُّ مَنْ قَلَّدَ فِي التَّوْحِيْدِ إِيْمَانُهُ لَمْ يَخْلُ مِنْ تَرْدِيدِ.

Karena setiap orang yang taqlid dalam ilmu tauhid imannya tidaklah sunyi dari keraguan.

Diwajibkan ma‘rifatullāh karena status keimanan orang yang taqlid (memercayai ucapan orang lain tanpa adanya dalil) dalam masalah mengesakan Allah s.w.t. masih diperselisihkan oleh para ulama Ahl-us-Sunnah wal-Jama‘ah.

Penjelasan

Seorang mukallaf diwajibkan ma‘rifatullāh secara mantap disertai dengan dalil, walaupun hanya dalil ijmāli (global). Karena orang yang taqlid hatinya masih terombang-ambing, belum ada kemantapan dalam hati dan belum mengetahui dalīl qath‘i, atau dalam hatinya masih menerima perkataan atau pendapat lain yang sebenarnya tidak benar, hatinya masih ragu-ragu serta terpengaruh oleh para ahli filsafat dan kaum dahri, maka dikhawatirkan akan kembali kafir.

Sebagian ulama berpendapat bahwa makna (مِنْ تَرْدِيدِ) adalah perbedaan pendapat para ulama Ahl-us-Sunnah wal-Jama‘ah, maksudnya status keimanan seorang muqallid (orang yang taqlid) tidak luput dari perbedaan pendapat para ulama.

Muqallid adalah orang yang keyakinannya berdasar pada perkataan orang lain, bukan berdasarkan dalil yang pasti. Berbeda dengan orang yang belajar kepada seorang guru, dia diajari, ditunjukkan dan dijelaskan dalilnya walaupun hanya secara global, orang seperti ini dinamakan ‘ārif, bukan muqallid.

Imām Sanūsī membuat perumpamaan perbedaan antara muqallid dan ‘ārif, keduanya diumpamakan seperti orang-orang yang sedang melihat hilal (bulan yang terbit pada tanggal satu bulan Qamariyyah). Salah seorang dari mereka ada yang berhasil melihat hilal, kemudian dia mengumumkan kepada orang lain yang belum bisa melihat hilal bahwa dia telah melihat hilal. Jika orang-orang langsung percaya tanpa membuktikan dan melihat sendiri hilalnya, maka orang-orang tersebut dinamakan muqallid. Adapun jika dia menjelaskan tanda-tanda hilal beserta dalilnya, agar orang-orang tersebut bisa melihat hilal sendiri, maka bukan dinamakan muqallid, tapi ‘ārif. Pahamilah perumpamaan ini! (271).

Dikarenakan status keimanan muqallid (orang yang taqlid) masih diperselisihkan dalam pandangan para ulama, maka Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

فَفِيْهَ بَعْضُ الْقَوْمِ يَحْكِي الْخُلَفَا وَ بَعْضُهُمْ حَقَّقَ فِيْهِ الْكَشَفَا
فَقَالَ إِنْ يَجْزِمْ بِقَوْلِ الْغَيْرِ كَفَى وَ إِلَّا لَمْ يَزَلْ فِي الضَّيْرِ.

Maka dalam hal (taqlīd) ini, sebagian ulama meriwayatkan perbedaan pendapat dan sebagian yang lain menyatakan adanya penjelasan.”

“Maka sebagian ulama menyatakan: apabila orang yang taqlid menetapkan pendapat orang lain, maka dianggap cukup. Namun jika tidak, maka senantiasalah ia dalam bahaya.

Dalam pembahasan tentang keimanan orang yang taqlid, sebagian ulama Ahl-us-Sunnah wal-Jama‘ah meriwayatkan perbedaan pendapat, dan sebagian yang lain meriwayatkan bahwa iman orang yang taqlid bisa dianggap cukup atau tidak cukup. Sebagian ulama menyatakan bahwa jika orang yang taqlid memiliki kemantapan hati terhadap ucapan orang lain sampai jika ada orang lain yang menasihati dan meyakinkannya, hatinya tetap tidak berubah, kemantapan hatinya tidak goyah, maka keimanan muqallid tersebut sah. Namun jika tidak punya kemantapan hati, hatinya masih gonjang-ganjing, maka muqallid tersebut masih dalam bahaya masuk neraka Jahannam.

Penjelasan

Ulama Ahl-us-Sunnah wal-Jama‘ah berbeda pendapat tentang keimanan muqallid menjadi 6 pendapat: (282)

  1. Keimanan muqallid belum dianggap cukup atau belum dianggap beriman, maka dia seperti orang kafir.
  2. Keimanan muqallid dianggap cukup dan sah, tetapi dianggap berdosa secara mutlak, baik dia termasuk orang yang ahl-un-nazhar maupun bukan.
  3. Keimanan muqallid dianggap cukup dan sah, tetapi dianggap berdosa jika dia termasuk orang yang ahl-un-nazhar dan tidak dianggap berdosa jika bukan ahl-un-nazhar.
  4. Keimanan muqallid terhadap ayat al-Qur’ān:

وَ إِلهُكُمْ إِلهٌ وَاحِدٌ لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمنُ الرَّحِيْمُ.

Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (al-Baqarah [2]: 163).

Pada hadits Nabi yang shaḥīḥ, dianggap cukup dan sah, karena taqlid pada dalīl qath‘i. Adapun taqlid pada selain al-Qur’ān dan hadits, maka keimanannya dianggap tidak sah. Sebab, taqlid pada selain keduanya, tidak ada jaminan dari kesalahan, karena tidak ma‘shūm (terjaga dari kesalahan).

  1. Keimanan muqallid dianggap cukup dan sah dan tidak berdosa, baik dia ahl-un-nazhar maupun bukan, karena nazhar hanya syarat kesempurnaan iman. Jika tidak nazhar, maka imannya tidak sempurna.
  2. Keimanan muqallid sah dan cukup, bahkan dia haram untuk nazhar.

Pendapat keenam ini dikhususkan bagi orang yang berbaur dengan ahli filsafat, karena dikhawatirkan nazhar-nya malah akan mendatangkan keragu-raguan. Dibagian belakang in syā’ Allāh akan dijelaskan tentang ahli filsafat.

Dari enam pendapat ini, yang mu‘tamad (bisa dibuat pegangan) adalah pendapat yang ketiga. Perbedaan pendapat ini umum terjadi dalam masalah keharusan mengetahui sifat-sifat Allah dan sifat-sifat para rasul. Dalam masalah taqlid, tidak ada bedanya antara orang kota, orang desa, ataupun orang pegunungan. (293)

Imām al-Māturīdī berkata: “Sesungguhnya semua orang awam itu mu’min, mengetahui Tuhannya, dan termasuk penghuni surga, sebagaimana disebutkan dalam hadits: “Sesungguhnya dua pertiga penghuni surga adalah umat Nabi Muḥammad s.a.w., dan sepertiganya lagi adalah umat nabi-nabi yang lain” Jika iman orang-orang awam tidak dianggap sah, maka mayoritas orang muslim yang kebanyakan adalah orang-orang awam tidak akan bisa masuk surga, Nabi akan masuk surga sendiri. Hal ini jelas tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Nabi s.a.w.” (304)

Orang awam tidak disyaratkan mengerti dalil sebagaimana para ahli ushūl, yang terpenting hatinya mantap, itu saja sudah cukup. Sebab, arti ma‘rifatullāh adalah mengetahui sifat dan ciptaan Allah, bukan mengetahui Dzat-Nya, karena mengetahui Dzat Allah adalah sesuatu yang mustahil, tidak ada satu makhluk pun yang mengetahui Dzat Allah. Manusia hanya mengetahui sifat-sifatNya, ketidakmampuan akal manusia menemukan Dzat Allah itulah yang dinamakan menemukan, jika benar-benar mengaku menemukan, malah kufur namanya karena setiap apa yang terlintas dalam akal dan hati manusia tentang Allah, maka Allah tidak seperti itu. Orang yang suka membahas Dzat Allah dihukumi syirik bahkan kufur. Na‘ūdzu billāh.

Haram bertanya tentang hal-hal yang detail terkait ilmu Allah, karena itulah Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

فَقَالَ إِنْ يَجْزِمْ بِقَوْلِ الْغَيْرِ كَفَى وَ إِلَّا لَمْ يَزَلْ فِي الضَّيْرِ.

“Maka sebagian ulama menyatakan: apabila orang yang taqlid menetapkan pendapat orang lain, maka dianggap cukup. Namun jika tidak, maka senantiasalah ia dalam bahaya.

Maksudnya, jika muqallid punya kemantapan hati pada perkataan orang lain, maka keimanannya dianggap cukup dan tetaplah hukum-hukum duniawi baginya sebagaimana orang Islam lainnya, sah nikahnya, halal sembelihannya, serta dapat mewarisi dan mewariskan. Adapun jika zhahirnya menunjukkan tanda-tanda kekufuran, baik ucapan maupun perbuatan, maka dihukumi murtad, dan berlaku baginya hukum orang yang murtad.

Perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama adalah tentang orang muqallid yang punya keyakinan dan kemantapan hati, adapun muqallid yang tidak memiliki keyakinan dan kemantapan hati, ulama sepakat menghukuminya kafir.

Catatan:


  1. 27). Tuḥfat-ul-Murīd, hal. 76. 
  2. 28). Ibid, hal. 77 
  3. 29). Ibid, hal. 77-78 
  4. 30). Ibid, hal. 78. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *