1-6 Pertemuan Pertama – Tauhid Mufadhdhal – Mengurai Tanda Kebesaran Allah

Mengurai Tanda KEBESARAN ALLAH

(Judul Asli:
تَوْحِيْدُ الْمُفَضَّلِ
TAUḤĪD-UL-MUFADHDHAL
Imlā’ al-Imām Abī ‘Abdillāh ash-Shādiq, ‘alā al-Mufadhdhal ibn ‘Umar al-Ju‘fiy)

Penerjemah: Irwan Kurniawan
Penerbit: PUSTAKA HIDAYAH

(Diketik oleh: Said (Rico Akbar)

Rangkaian Pos: Pertemuan Pertama - Tauhid Mufadhdhal - Mengurai Tanda Kebesaran Allah

KEEMPAT PULUH SATU.

Aktivitas Manusia: Makan, Tidur dan Berhubungan serta Penjelasannya.

Wahai Mufadhdhal. pikirkanlah mengenai perbuatan-perbuatan yang dilakukan manusia berupa makan, tidur dan berhubungan, serta keteraturannya. Bagi masing-masing perbuatan itu dijadikan penggerak yang menuntut dan mendorong yang bersifat bawaan. Lapar menuntut makan yang memberikan kesegaran dan kekuatan pada tubuh. Rasa kantuk menuntut tidur yang memberikan ketenangan pada tubuh. Syahwat menuntut hubungan kelamin yang memberikan kelanjutan keturunan. Kalau manusia makan karena mengetahui keperluan tubuh terhadapnya, tetapi tidak menemukan dalam tabiatnya sesuatu yang memaksa untuk itu, maka itu akan menjadikannya tidak bernafsu sehingga ia menjadi lemah dan lalu mati. Demikian pula kalau ia hanya tidur dengan memikirkan kebutuhannya terhadap ketenangan tubuhnya dan memulihkan kekuatannya, maka ia akan merasa berat untuk melakukan hal itu, lalu ia menolaknya sehingga menjadi lemah badannya. Kalau ia hanya bergerak untuk berhubungan kelamin karena mengharap kelahiran anak, niscaya ia akan lari darinya sehingga berkurang atau berhenti keturunannya, karena di antara manusia ada yang tidak menyukai anak dan tidak memperhatikannya.

Perhatikanlah, bagaimana bagi masing-masing perbuatan ini, yang tersedia bagi manusia dan untuk kepentingannya, bersumber dari dalam dirinya sendiri. Tabiatlah yang menggerakkan dan mendorongnya.

Ketahuilah, di dalam diri manusia terdapat empat kekuatan. Yakni daya tarik (selera) yang mengambil makanan dan menyalurkannya ke dalam perut, kekuatan penahan yang menahan makanan sehingga dilakukan pemrosesannya, kekuatan percernaan yang mencerna makanan dan mengeluarkan sarinya serta menyebarkannya ke seluruh tubuh, dan kekuatan penolak yang mengeluarkan ampas setelah pencernaan mengambil sarinya. Maka pikirkanlah mengenai pengaturan keempat kekuatan ini yang berkerja dan terjadi di dalam tubuh karena keperluan dan kebutuhan terhadapnya. Perhatikan pula perencanaan dan keteraturan dalam hal itu. Kalau saja tidak ada daya tarik (selera), bagaimana manusia tergerak untuk mencari makan dan menguatkan tubuh? Kalau tidak ada daya penahan, bagaimana makanan dapat tertahan di dalam lambung hingga dicerna oleh perut (usus)? Kalau tidak ada daya pencerna, bagaimana makanan itu dicerna sehingga diperas sarinya, yang memberi makan kepada tubuh. Kalau tidak ada daya penolak, bagaimana ampas yang dihasilkan alat pencernaan dapat dikeluarkan sedikit demi sedikit? Tidakkah engkau lihat bagaimana Allah s.w.t.–dengan ciptaan-Nya yang bagus dan perhitungan-Nya yang baik– menyediakan kekuatan ini di dalam tubuh dan bekerja untuk kepentingannya. Mengenai hal itu, akan aku berikan permisalannya kepadamu. Tubuh itu ibarat rumah, di dalmnya terdapat anggota keluarga, anak-anak dan pelayan-pelayan rumah. Ada yang bertugas mencari bahan-bahan kebutuhan mereka, ada yang bertugas menangani dan menyiapkannya untuk diolah, ada yang bertugas mengolah, menyajikan dan membagikannya, dan ada pula yang bertugas membersihkan rumah dari segala kotoran. Yang diibaratkan sebagai pemilik rumah di dalam hal ini adalah Pencipta Yang Maha Bijaksana, Pemilik alam semesta. Rumah merupakan permisahan dari tubuh, anggota keluarga adalah anggota-anggota tubuh, dan pelayan adalah empat kekuatan ini. Mudah-mudahan engkau memperhatikan yang kami sebutkan ini, empat kekuatan dan peranannya masing-masing–yang telah aku jelaskan–sebagai tambahan dan pelengkap saja. Empat kekuatan yang kami sebutkan ini bukanlah yang disebutkan di dalam buku-buku kedokteran, dan pembicaraan kami pun bukanlah seperti pembicaraan mereka. Mereka menyebutkannya berdasarkan apa yang dibutuhkan dalam bidang kedokteran dalam hal menyehatkan tubuh. Sedangkan yang kami sebutkan adalah berdasarkan apa yang dibutuhkan dalam kepentingan agama dan penyembuhan jiwa dari kesesatan seperti yang telah saya jelaskan dengan penjelasan yang pasti dan permisalan yang akurat dari pengaturan dan perencanaan-Nya.

 

KEEMPAT PULUH DUA.

Kekuatan Jiwa dan Peranannya bagi Manusia.

Wahai Mufadhdhal, perhatikanlah kekuatan-kekuatan yang ada di dalam jiwa dan peranannya bagi manusia.Yang aku maksudkan adalah pikiran, perasaan, akal, penghapalan dan sebagainya. Tidakkah engkau perhatikan kalau manusia kekurangan unsur-unsur ini, daya penghapalan saja, misalnya, maka bagaimanakah keadaannya. Berapa banyak kekurangan yang disebabkannya dalam berbagai iḥwāl kehidupan dan pengalamannya. Jika ia tidak mengingat apa yang baik baginya dan yang buruk baginya, apa-apa yang diambil, yang diberikan, yang dilihat, yang didengar, yang diucapkan dan yang dikatakan kepadanya, serta tidak mengingat apa yang mendatangkan kebaikan baginya dari yang mendatangkan keburukan, dan yang bermanfaat baginya dari yang membahayakannya. Kemudian, ia tidak ditunjukkan pada suatu jalan walau seringkali ia melaluinya. Ia tidak dapat meyakini agama, tidak dapat mengambil pelajaran dari apa yang sudah berlalu. Bahkan, pada dasarnya, ia menanggalkan sifat kemanusiaannya.

 

KEEMPAT PULUH TIGA.

Kenikmatan bagi Manusia dalam Ingat dan Lupa.

Perhatikanlah kenikmatan bagi manusia dalam hal ini, bagaimana berlaku satu per satu, tidak semuanya sekaligus. Terdapat kenikmatan terbesar bagi manusia dalam hal ingat dan lupa. Andaikan tidak ada lupa, niscaya seseorang tidak akan melupakan musibah yang menimpanya, tidak henti-hentinya ia dalam kesedihan, tidak hilang rasa dendam, tidak mengharap lupa dari kekuasaan, tidak tenang terhadap orang yang dengki. Tidakkah engkau perhatikan bagaimana dijadikan bagi manusia daya ingat dan lupa, dan keduanya berbeda dan berlawanan. Dan dijadikan di dalam masing-masing dari keduanya aspek kebaikan baginya. Tidaklah benar orang-orang yang membagikan segala sesuatu di antara dua hal yang berbeda dan saling bertentangan ke dalam sesuatu yang berlawanan dan bertolak belakang ini. Kadang-kadang engkau melihatnya berkumpul dalam sesuatu yang mengandung kebaikan dan manfaat. (141).

 

KEEMPAT PULUH EMPAT.

Kekhususan Manusia dengan Rasa Malu.

Wahai Mufadhdhal, perhatikanlah apa yang dikhususkan bagi manusia, yang tidak diberikan kepada makhluk lain. Yang Maha Tinggi menganugerahinya dengan kekayaan yang amat besar, yakni rasa malu. Andaikan tidak memiliki rasa malu, niscaya manusia tidak akan mengakui kemulian dan tidak meraih ketinggian, tidak terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya, tidak mencari keindahan dan tidak menghindari keburukan. Sehingga kebanyakan iḥwālnya yang juga diwajibkan hanya dilakukan karena rasa malu, ia tidak menjaga hak kedua orangtuanya, tidak menyambungkan tali silaturahmi, tidak menunaikan amanat, tidak memaafkan orang yang bersalah, dan sebagainya. Tidaklah engkau perhatikan, bagaimana manusia memenuhi seluruh kebutuhan yang mengandung kebaikan dan kesempurnaan.

 

KEEMPAT PULUH LIMA.

Wahai Mufadhdhal, perhatikanlah apa yang dianugerahkan Allah—Maha Suci nama-namaNya–kepada manusia berupa kemapuan berbicara untuk mengungkapkan apa yang terpendam di dalam dadanya dan yang tersirat di dalam hatinya, serta mengekspresikan pikirannya. Dengan kemampuannya ini ia dapat memahami apa yang ada di dalam diri orang lain. Andaikan manusia tidak memiliki itu semua, maka ia seperti binatang liar yang tidak dapat mengekspresikan sesuatu apa pun dari dalam dirinya dan tidak memahami apa yang disampaikan kepadanya. Demikian pula kemampuan menulis yang dengannya manusia dapat mencatat kisah-kisah masa lalu untuk orang yang hidup di masa kini, dan mencatatkan kisah-kisah orang-orang yang hidup sekarang untuk generasi yang akan datang. Dengan tulisan, buku-buku dapat menyimpan ilmu, adab dan sebagainya. Dengan tulisan manusia dapat menjaga apa yang berlaku antara dirinya dan orang lain berupa transaksi dan perhitungan. Andaikan tiada tulisan, niscaya terputus kabar-kabar generasi terdahulu dari generasi berikutnya, terhapuslah ilmu, hilanglah adab dan banyak hal lagi yang diperlukan manusia dalam pergaulan mereka, yang memerlukan nalar dan pikiran dalam urusan agama mereka, dan yang mereka ketahui. Barangkali mereka mengira bahwa hal itu diperoleh dari kecerdikan dan kecerdasan, bukan yang diberikan kepada manusia melalui penciptaan dan pembawaan.

Demikian pula bahasa. Semata-mata itu merupakan sesuatu yang disepakati manusia, sehingga berlaku di antara mereka. Karena itu, bahasa menjadi berbeda karena perbedaan bangsa. Seperti itu pula tulisan ‘Arab, Suryani, Ibrani, Rumi dan bentuk-bentuk tulisan lainnya yang tersebar di antara bangsa-bangsa, semata-mata hanya diistilahkan oleh mereka, sebagaimana mereka membuat istilah dalam pembicaraan. Dikatakan kepada orang yang memiliki pendapat seperti itu, bahwa walaupun manusia memiliki pengaruh dan kecerdikan, maka sesuatu yang disampaikan oleh pengaruh dan kecerdikannya itu adalah pemberian dan hibah dari Allah s.w.t. kepadanya dalam penciptaannya. Karena itu, kalau manusia tidak memiliki lidah yang disediakan untuk berbicara dan pikiran yang menunjukkan pada sesuatu, maka selamanya ia tidak akan dapat berbicara. Dan kalau ia tidak memiliki tangan dan jemari untuk menulis, maka selamanya tidak akan dapat menulis.

Perhatikan hal itu pada binatang yang tidak dapat berbicara dan tidak pula dapat menulis. Maka itu adalah fitrah dari Sang Pencipta Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi yang dikaruniakan kepada makhluk-Nya. Siapa yang bersyukur, maka ia menjadi kokoh. Dan siapa yang kufur, maka sesungguhnya Allah tidak butuh kepada alam semesta. (152)

Catatan:


  1. 14). Psikologi modern mengatakan bahwa lupa merupakan salah kerja otak, persis seperti ingat. Tidaklah kita ditakdirkan untuk mengingat suatu hal, melainkan kita juga melupakan banyak hal. Sehingga dapat dikatakan bahwa ingat merupakan medium lupa. Kita memikirkan kelebihan lupa sebagaimana kita memikirkan kelebihan ingat. 
  2. 15). Ungkapan Imām a.s. dalam pembahasan mengenai bahasa dan sebabnya di sini menunjukkan bahwa manusialah yang membuat bahasa dengan apa yang telah Allah berikan berupa kemampuan berbicara dan kemampuan untuk belajar bicara. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *