1-6 Mandi – Fiqih Lima Madzhab

FIQIH LIMA MADZHAB
(Ja‘farī, Ḥanafī, Mālikī, Syāfi‘ī, Ḥanbalī)
(Judul Asli: Al-Fiqhu ‘Alal-Madzāhib-il-Khamsah)
Oleh: Muhammad Jawad Mughniyah.

Penerjemah: Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus al-Kaff.
Penerbit: PT LENTERA BASRITAMA

Rangkaian Pos: 001 Thaharah | Fiqih Lima Madzhab

BAB 6

MANDI

 

Macam-macam Mandi Wājib yaitu:

  1. Junub
  2. Haidh
  3. Nifās
  4. Orang Islam yang meninggal dunia.

Keempat hal ini telah disepakati semua ulama madzhab.

Ḥanbalī: Menambah satu hal lagi, yaitu: Ketika orang kafir memeluk agama Islam.

Syāfi‘ī, dan Imāmiyyah: Kalau orang kafir itu masuk Islam dalam keadaan junub, maka ia wajib mandi karena junub-nya, bukan Islamnya. Dari itu, kalau pada waktu masuk Islam ia tidak dalam keadaan junub, ia tidak diwajibkan mandi.

Ḥanafī: Ia tidak diwajibkan mandi, baik junub maupun tidak (Ibnu Qudamah, al-Mughnī, Jilid I, hal. 207).

Imāmiyyah: Menambah dua mandi lagi dari empat macam di atas, yaitu: Mandi istiḥādhah, dan mandi ketika menyentuh mayat. Mereka (Imāmiyyah) mewajibkan mandi bagi yang menyentuh mayat yang telah dingin, dan mayat tersebut belum dimandikan. Keterangan lebih rinci akan dijelaskan nanti.

Dari keterangan di atas jelaslah bahwa jumlah mandi wajib itu sebanyak empat, menuru Ḥanafī dan Syāfi‘ī; dan menurut Ḥanbalī dan Mālikī ada lima; sedangkan menurut Imāmiyyah ada enam.

 

Mandi Junub.

Junub mewajibkan mandi itu ada dua, yaitu:

 

1. Keluar mani, baik dalam keadaan tidur maupun bangun.

Imāmiyyah dan Syāfi‘ī: Kalau mani itu keluar maka ia wajib mandi, tak ada bedanya, baik keluar karena syahwat maupun tidak.

Ḥanafī, Mālikī dan Ḥanbalī: Tidak diwajibkan mandi kecuali kalau pada waktu keluarnya itu merasakan nikmat. Kalau mani itu keluar karena dipukul, dingin, atau karena sakit bukan karena syahwat, maka ia tidak diwajibkan mandi. Tapi kalau mani sudah terpisah dari sulbi lelaki atau dari tulang dada wanita dan mani belum sampai pindah keluar (pada yang lain), maka ia tidak diwajibkan mandi, kecuali menurut Ḥanbalī.

(Masalah) kalau orang yang tidur telah sadar (bangun), lalu ia melihat basah, tetapi ia tidak mengetahui apakah yang basah itu manī atau madzī. Ḥanafī: Wajib mandi. Syāfi‘ī, dan Imāmiyyah: Tidak wajib, karena suci meyakinkan, sedangkan hadats diragukan.

Ḥanbalī: Kalau sebelum tidur ia telah memikirkan hal-hal yang nikmat (berpikir tentang yang porno – pent.), maka ia tidak diwajibkan mandi, tapi kalau sebelum tidur tidak ada sebab (gejala) yang menimbulkan kenikmatan, maka ia diwajibkan mandi, karena basah yang tidak jelas itu.

 

2. Bertemunya dua kemaluan (bersentuhan), yaitu memasukkan kepala zakar atau sebagian dari ḥasyafah (kepala zakar) ke dalam faraj (kemaluan) atau anus, maka semua ulama madzhab sepakat dengan mewajibkan mandi, sekalipun belum keluar mani. Hanya mereka mewajibkan mandi, sekalipun belum mani. Hanya mereka berbeda pendapat tentang beberapa syarat; apakah kalau tidak dimasukkan, yakni sekedar saling sentuhan antara dua kemaluan itu, diwajibkan mandi atau tidak?

Ḥanafī: Wajibnya mandi itu dengan beberapa syarat; yaitu: Pertama, bāligh. Kalau yang bāligh itu hanya yang disetubuhi, sedangkan yang menyentubuhi tidak, atau sebaliknya, maka yang mandi itu hanya yang bāligh saja, dan kalau keduanya sama-sama kecil, maka keduanya tidak diwajibkan mandi.

Kedua, harus tidak ada batas (aling-aling) yang dapat mencegah timbulnya kehangatan. Ketiga, orang yang disetubuhi adalah orang yang masih hidup. Maka kalau memasukkan zakarnya kepada binatang atau kepada orang yang telah meninggal, maka ia tidak diwajibkan mandi.

Imāmiyyah, dan Syāfi‘ī: Sekalipun kepala zakar itu tidak masuk atau sebagiannya saja juga belum masuk, maka ia sudah cukup diwajibakannya mandi, tak ada bedanya baik bāligh maupun tidak, yang menyetubuhi maupun yang disetubuhi ada batas (aling-aling) maupun tidak, baik terpaksa maupun karena suka, baik yang disetubuhi itu masih hidup maupun sudah meninggal, baik pada binatang maupun pada manusia.

Ḥanbalī dan Mālikī: Bagi yang menyetubuhi maupun yang disetubuhi itu wajib mandi, kalau tidak ada batas (aling-aling) yang dapat mencegah kenikmatan, tak ada bedanya baik pada binatang maupun pada manusia, baik yang disetubuhi itu masih hidup maupun yang sudah meninggal.

Kalau yang telah bāligh, Mālikī: Bagi yang menyetubuhi maupun yang disetubuhi itu wajib mandi, kalau ia telah mukallaf dan juga orang yang disetubuhi. Bagi orang yang disetubuhi wajib mandi, kalau yang menyetubuhinya sudah bāligh, tapi kalau belum bāligh atau masih kecil, maka ia tidak diwajibkan mandi kalau belum sampai keluar mani. Ḥanbalī: Mensyaratkan bahwa lelaki yang menyetubuhi itu umurnya tidak kurang dari sepuluh tahun, bagi wanita yang disetubuhi itu tidak kurang dari sembilan tahun.

 

Sesuatu Yang Mewajibkan Mandi Junub.

Semua perbuatan yang mewajibkan wudhū’ pada dasarnya mewajibkan mandi junub, seperti shalat, thawāf, dan menyentuh al-Qur’ān, lebih dari itu yaitu berdiam di masjid. Semua ulama madzhab sepakat bahwa bagi orang junub tidak boleh berdiam di masjid, hanya berbeda pendapat tentang boleh tidaknya kalau ia lewat di dalamnya, sebagaimana kalau ia masuk dari satu pintu ke pintu lainnya.

Mālikī dan Ḥanafī: tidak boleh kecuali karena sangat darurat (penting). Syāfi‘ī dan Ḥanafī: Boleh kalau hanya lewat saja, asal jangan berdiam.

Imāmiyyah: Tidak boleh berdiam dan melewati kalau di Masjid-il-Ḥarām dan Masjid Rasūlullāh (Masjid Nabawi di Madīnah), tetapi kalau selain dua masjid tersebut boleh melewatinya, tapi kalau berdiam, tetap tidak boleh di masjid mana saja, berdasarkan keterangan ayat 43 surat an-Nisā’:

(jangan pula) hampiri masjid sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja.”

Maksud ayat tersebut di atas, dilarang mendekati masjid-masjid yang dijadikan tempat shalat, kecuali kalau ia hanya melewatinya saja. Ayat tersebut mengecualikan dua masjid, yaitu Masjid-il-Ḥarām dan Masjid Nabawi, karena ada dalil khusus yang menunjukkannya berbeda (pengecualian).

Sedangkan membaca al-Qur’ān, Mālikī: Bagi orang yang junub diharamkan membaca sesuatu yang dari al-Qur’ān, kecuali sebentar dengan maksud untuk memelihara (menjaga) dan menjadikannya sebagai dalil (bukti). Pendapat ini hampir sama dengan pendapat Ḥanbalī.

Ḥanafī: Bagi orang yang junub tidak boleh membacanya, kecuali kalau ia jadi guru mengaji al-Qur’ān yang menyampaikannya (men-talqīn; mengajarnya) kata perkata:

Syāfi‘ī: Bahkan satu huruf pun bagi orang yang junub tetap diharamkan, kecuali hanya untuk dzikir (mengingat), seperti menyebutnya pada waktu makan.

Imāmiyyah: Bagi orang yang junub itu tidak diharamkan kecuali membaca Sūrat-ul-‘Azā’im-il-Arba‘ah (yang empat) walau hanya sebagiannya, yaitu: Iqrā’, an-Najm, Ḥamīm as-Sajadah, dan Alif Lām Mīm Tanzīl. Kalau selain empat di atas boleh membacanya, hanya tetap dimakruhkan kalau sampai lebih dari tujuh ayat, dan bila sampai lebih dari tujuh puluh ayat, maka sudah termasuk makruh mu’akkad.

Imāmiyyah menambahkan bahwa pada waktu berpuasa pada bulan Ramadhān dan pada waktu menggantinya (mengqadhā’nya), tidak sah puasa orang yang berpuasa itu kalau masuk waktu pagi dalam keadaan junub, baik sengaja maupun tidak. Sedangkan kalau ia tidur siang atau malam, lalu masuk waktu pagi dalam keadaan “mimpi” (junub), maka tidak menjadikan puasa batal. Dalam masalah ini Imāmiyyah berbeda dengan madzhab-madzhab yang lain.

 

Hal-hal Yang Wajib Dalam Mandi Junub.

Dalam mandi junub diwajibkan apa yang diwajibkan dalam wudhū’, baik dari segi ke-muthlaq-an air, sucinya serta badan harus suci terlebih dahulu, juga tidak ada sesuatu yang dapat mencegah sampainya ke kulit, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab wudhū’. Diwajibkan juga berniat, kecuali Ḥanafī yang menolak niat ini. Alasannya: Ḥanafī tidak menganggap niat itu sebagai syarat sahnya mandi.

Empat madzhab tidak mewajibkan dalam mandi junub itu dengan cara-cara khusus, hanya mereka mewajibkan untuk meratakan air ke seluruh badan. Mereka tidak menjelaskan apakah harus (wajib) dari atas atau sebaliknya.

Ḥanafī: Menambahkan ia harus berkumur-kumur dan menghirup air ke dalam hidung lalu dihembuskan. Mereka (Ḥanafī): Sunnah bila pertama memulai dengan menyiram air dari kepala, tubuh sebelah kanan, kemudian tubuh sebelah kiri. Syāfi‘ī, dan Mālikī: Disunnahkan untuk memulai dari bagian atas badan sebelum pada bagian bawah, selain faraj (kemaluan). Ia (faraj) disunnahkan lebih dahulu dari semua anggota badan yang lain. Ḥanbalī: Disunnahkan mendahulukan yang kanan dari yang kiri.

Imāmiyyah: Membagi mandi junub ke dalam dua bagian, yaitu:

 

Tertib dan Irtimās

Tertib ialah orang yang mandi harus menyiramkan air pada tubuhnya dengan satu siraman. Maka dalam hal ini, ia wajib memulai dari atas, kemudian pada bagian tubuh yang kanan, lalu pada yang kiri. Bila hal itu tidak terlaksana, atau mendahulukan, maka mandinya batal.

Irtimās ialah menceburkan semua tubuhnya ke dalam air satu kali (menyelam). Maka kalau ada sebagian tubuh yang tidak tenggelam, itu tidak cukup (tidak sah).

Imāmiyyah mengatakan bahwa semua jenis mandi tidak memadai sebagai pengganti dari wudhū’, kecuali mandi junub. Karena mandi junub sudah termasuk wudhū’ di dalamnya.

Empat madzhab: Tidak membedakan antara mandi junub dengan mandi-mandi lainnya, karena tidak cukupnya syarat-syarat yang ada dalam wudhū’.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *