1-6 Keterangan Bahwa Ayat Al-Qur’an Bermakna Umum … – Ar-Risalah Imam asy-Syafi’i

الرِّسَالَةُ
AR-RISALAH
(Panduan Lengkap Fikih dan Ushul Fikih)
Oleh: Imam asy-Syafi‘i

Penerjemah: Masturi Irham & Asmui Taman
Penerbit: PUSTAKA AL-KAUTSAR

Keterangan Bahwa Ayat al-Qur’ān Bermakna Umum, yang Benar Adalah Bahwa Ayat al-Qur’ān Mencakup Umum dan Khusus.

188. Allah berfirman:

إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَ أُنْثى وَ جَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبًا وَ قَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ

Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” (al-Ḥujurāt: 13).

189. Allah juga berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak perpuasa itu) pada hari-hari yang lain.” (al-Baqarah: 183-184).

190. Allah juga berfirman: “Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (an-Nisā’: 103).

191. Imām asy-Syāfi‘ī mengatakan: “Maka sungguh jelas, dalam Kitāb Allah (al-Qur’ān), dua ayat ini, (al-Ḥujurāt: 13 dan al-Baqarah: 183-184), mengandung makna umum dan khusus.

192. Adapun makna umum, maka ia dapat ditemukan di dalam firman-Nya: “Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.” (al-Ḥujurāt: 13). Setiap manusia pada zaman Rasūlullāh s.a.w., bahkan sebelum zaman beliau atau sesudahnya, menerima khithāb ayat ini, apakah dia tercipta laki-laki maupun perempuan, hidup dalam lingkungan berbangsa-bangsa maupun bersuku-suku.

193. Sedangkan makna khususnya adalah: “Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” (al-Ḥujurāt: 13). Karena takwa (11) hanya khusus untuk hamba yang sudah baligh dari jenis Bani Ādam yang memahami (makna) takwa dan dia adalah seorang yang bertakwa, bukan makhluk-makhluk yang lain seperti binatang dan selainnya. Takwa tidak diperuntukkan manusia yang tidak mampu mengendalikan akalnya (orang gila) dan tidak pula anak-anak, (2) karena anak-anak belum mampu memahami takwa itu sendiri.

194. Oleh karena itu, manusia tidak boleh diberi sifat bertakwa atau pun kebalikannya kecuali orang-orang yang memahami (makna) takwa dan dia adalah seorang yang bertakwa. Atau diberi sifat kebalikan takwa karena ia bukan seorang yang bertakwa.

195. Ayat al-Qur’ān ini adalah dalil atas apa yang sudah saya jelaskan. Adapun dalam Sunnah, maka makna takwa telah ditunjukkan oleh sabda Rasūlullāh: “Pena diangkat (dari mencatat dosa) dari tiga kelompok: dari orang tidur sampai dia bangun, dari anak-anak sampai dia bāligh, dan dari orang gila sampai dia sembuh” (3).

196. Demikian pula kedudukan puasa dan shalat. Puasa dan shalat hanya diperuntukkan manusia (muslim) yang sudah baligh dan berakal, tidak untuk orang yang belum baligh dan orang yang sudah baligh namun tidak mampu menguasai akalnya (gila). Puasa dan shalat juga tidak diperuntukkan perempuan (muslim yang baligh dan berakal yang) menstruasi sewaktu menjalani hari-hari menstruasinya.

Catatan:


  1. 1). Takwa dalam taat, maksudnya adalah ikhlas, sedangkan takwa dalam maksiat maksudnya adalah meninggalkan dan menjauhinya. Karena itu dikatakan: “Hendaknya hamba itu bertakwa kepada selain Allah.” Ada pula yang mengatakan: “Hamba bertakwa dalam memelihara akhlak agama.” Sedang yang lain mengatakan: “(Takwa adalah) menjauhi segala hal yang dapat menjauhkan dirimu dari Allah,” atau “Meninggalkan dari mengikuti jalan-jalan hawa nafsu dan melawannya,” “Hendaknya kamu tidak melihat dirimu sedikit pun selain (karena) Allah,” “Hendaknya kamu tidak melihat dirimu lebih baik dari siapapun,” “Meninggalkan (segala sesuatu) selain Allah,” dan “Meneladani Nabi Muḥammad dalam perkataan dan perbuatan.” Lihat at-Ta‘rīfāt, hal. 29. Ada pula yang mengatakan: “(Takwa adalah) melakukan (amalan-amalan) ketaatan.” Lihat: Subul-us-Salām, 4/211. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *