Penjelasan Kelima
104. Allah berfirman: “Dan dari mana saja kamu berangkat, maka palingkanlah wajahmu ke Masjid-il-Ḥarām. Dan di mana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya.” (al-Baqarah: 150).
105. Allah mewajibkan kepada mereka untuk menghadap ke arah Masjid-il-Ḥarām di mana saja mereka berada. Syathrah dalam bahasa ‘Arab berarti arahnya. Apabila anda mengucapkan: “Aqshudu Syathra Kadzā,” maka diketahui bahwasanya anda ingin mengatakan: “Aku menuju arah begini”, maksudnya, menuju ke arah ini. Begitu juga dengan kata: “Tilqa’ah,” yakni ke arahnya, yang berarti menghadap kepadanya dan ke arahnya. Dan masing-masing dari kata-kata tersebut memiliki pengertian yang sama meskipun dengan kosa-kata atau redaksi berbeda.
106. Khufāf bin Nudbah mengatakan: “Ingatlah wahai orang yang menjadi utusan seorang utusan. Ketahuilah bahwasanya risalah tidak akan memberikan manfaat di hadapan ‘Amr.”
107. Sa‘īdah bin Ju‘ayyah mengatakan: “Aku berkata kepada Ibunda Zinbā’: “Hadapkanlah dada al-Is (unta berwarna putih) itu ke arah Bani Tamīm.”
108. Lāqith al-‘Iyādhī mengatakan: “Bayangan dari arah benteng yang menutupi kalian telah menimbulkan kengerian karena kezhaliman yang menutupi (menghinggapi diri) kalian.”
109. Seorang penyair mengatakan: “Sesungguhnya penderitaan itu adalah penyakit yang mengacau pikirannya, maka tutupnya (pemecahannya) adalah pandangan kedua mata yang ditundukkan.”
110. Imām asy-Syāfi‘ī mengatakan: “Yang dimaksud dengan menghadap adalah pandangan mata dan badannya ke arahnya.”
111. Semua penjelasan ini (dari al-Qur’ān dan Sunnah) dan ditambah dengan bait-bait syair mereka ini memberikan penjelasan bahwasanya arah sesuatu adalah tujuan dari sesuatu itu secara tepat jika dekat dengannya. Dan apabila berada jauh darinya, maka dengan berijtihad untuk menghadap ke arahnya. Dan semua itu dilakukan dengan semaksimal mungkin.
112. Allah berfirman: “Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut.” (al-An‘ām: 97).
113. Allah berfirman: “(Dan Dia ciptaka) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk.” (an-Nahl: 16).
114. Allah menciptakan tanda-tanda dan mendirikan Masjid-il-Ḥarām untuk mereka serta memerintahkan mereka untuk menghadap ke arahnya. Allah menyerukan kepada mereka untuk menghadap ke arah Masjid-il-Ḥarām melalui tanda-tanda yang telah diciptakan Allah bagi mereka dan akal yang mereka miliki untuk mengenali tanda-tanda tersebut. Semua ini merupakan bukti keagungan dan limpahan kenikmatan Allah.
115. Allah berfirman: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.” (ath-Thalaq: 2). Allah juga berfirman: “Dari saksi-saksi yang kamu ridhai.” (al-Baqarah: 282).
116. Keadilan itu adalah orang yang melakukan suatu ketaatan kepada-Nya. Barang siapa melakukan ketaatan itu, maka bisa dikatakan adil dan barang siapa melakukan sesuatu yang bertentangan dengannya, maka bertentangan dengan keadilan.
117. Allah berfirman: “Janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang berihram. Barang siapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai hadnya yang dibawa sampai ke Ka‘bah.” (al-Mā’idah: 95).
118. Perumpamaan (dalam masalah ini) pada dasarnya ditujukan kepada sesuatu yang paling dekat dengannya dari segi bentuk tulang yang menempel pada tubuh. Dan beberapa kelompok sahabat Rasūlullāh yang membahas tentang berburu telah bersepakat mengenai sesuatu yang paling dekat atau mirip dengan tubuh. Karena itu, kami berpendapat bahwa binatang buruan apa pun yang telah dibunuh dan memiliki kedekatan bentuk dengan binatang lainnya, maka kami menebusnya dengannya.
119. Binatang ini tidak bisa diganti dengan nilainya meskipun mempunyai kesetaraan dengan nilai binatangnya kecuali orang yang dipaksa. Dengan demikian, maka pengertian eksplisit dari suatu kata lebih umum dan harus lebih didahulukan. Inilah salah satu bentuk ijtihad yang harus dilakukan seorang hakim atau kepala negara dengan menggunakan petunjuk-petunjuk yang memiliki kesamaan.
120. Pengetahuan semacam ini merupakan bukti dari pernyataan kami sebelumnya yang menyebutkan bahwa tidak seorang pun mengatakan sesuatu ini halal dan ini haram kecuali berdasarkan ilmu pengetahuan. Pengetahuan yang dimaksudkan adalah yang bersumber dari Kitāb Suci, Sunnah, Ijma‘, atau pun Qiyās (analogi).
121. Yang aku maksudkan dengan analogi atau Qiyās dalam pembahasan ini adalah di dalamnya terdapat ketetapan hukum yang dapat menunjukkan kebenaran qiblat, keadilan, dan persamaan atau perumpamaan.
122. Qiyās adalah menetapkan suatu hukum berdasarkan pentunjuk-petunjuk yang sesuai dengan riwayat atau informasi yang digali dari Kitāb Suci atau pun Sunnah. Dengan alasan bahwa keduanya adalah ilmu kebenaran yang harus dipelajari sebagaimana keharusan umat Islam mencari dan menetapkan arah qiblat, mengetahui tentang keadilan, dan perumpamaan atau persamaan.
123. Kesesuaian itu dapat diterima dari dua sisi.
124. Salah satunya; bahwasanya Allah atau pun utusan-Nya telah mengharamkan sesuatu berdasarkan nash (teks) yang disebutkan atau menghalalkannya karena pengertian yang tersirat di dalamnya. Apabila ada suatu kasus yang memiliki pengertian yang sama akan tetapi tidak disebutkan secara jelas atau pasti dalam Kitāb Suci dan tidak pula dalam Sunnah, maka kami menghalalkan atau pun mengharamkannya karena masuk dalam pengertian halal atau pun haram.
125. Atau kita mendapati suatu perkara darinya dan sesuatu yang lain dari selainnya, akan tetapi kita tidak mendapatkan sesuatu yang lebih dekat dengan salah satu dari keduanya maka kami akan mengikutkan atau mempersamakan hukumnya dengan sesuatu yang paling dekat kemiripannya dengannya. Hal ini sebagaimana yang telah kami kemukakan dalam ash-Shaid.
126. Imām asy-Syāfi‘ī mengatakan: “Dalam ilmu pengetahuan terdapat dua perkara: Perkara yang disepakati dan perkara yang masih diperdebatkan.” Keduanya telah dibahas dalam pembahasan lain selain ini.
127. Di antara totalitas pengetahuan mengenai Kitāb Suci-Nya adalah pengetahuan yang menyatakan bahwa semua ulama bersepakat bahwa Kitāb Suci al-Qur’ān diturunkan dengan menggunakan bahasa ‘Arab.
128. Mengetahui tentang nasikh dan mansukh dalam Kitāb Suci Allah, hukum wajib dalam Kitāb-Nya, sopan santun, kebenaran, dan perkara yang diperbolehkan.
129. Mengetahui tempat-tempat atau pembahasan yang dijelaskan Allah melalui Rasūlullāh mengenai hukum-hukum wajib yang dijelaskan dalam Kitāb-Nya dengan segala kewajiban yang dikehendaki-Nya untuk dilaksanakan semua orang dan berserah diri pada keputusan-Nya.
130. Kemudian mengetahui beberapa perumpamaan untuk dikembangkan agar dapat meningkatkan ketaatan kepada-Nya, yang menjelaskan untuk menghindarkan diri dari perbuatan maksiat terhadap-Nya, tidak melalaikan-Nya dan berpaling dari keberuntungan serta menambah keutamaan-keutamaan.
131. Mereka yang berilmu pengetahuan berkewajiban untuk tidak mengatakan sesuatu kecuali yang mereka ketahui.
132. Terkadang seseorang apabila berpegang teguh atau komitmen dengan beberapa perkara yang diucapkannya maka tentunya lebih baik baginya untuk menjaga komitmen tersebut dan lebih dekat menuju jalan keselamatannya dengan izin Allah berbicara tentang ilmu pengetahuan.
133. Ada di antara mereka yang berpendapat bahwasanya di dalam al-Qur’ān terdapat bahasa ‘Arab dan non-‘Arab.
134. Sedangkan al-Qur’ān sendiri menyatakan bawah tidak ada sesuatu bahasa pun dalam Kitāb Suci Allah kecuali berbahasa ‘Arab.
135. Pernyataan semacam ini telah dilontarkan oleh orang-orang sebelumnya karena meniru-niru tanpa memberikan alasan dan hanya menyisakan kerumitan kepada orang yang tidak tercela. Semoga Allah mengampuni kita dan mereka semua.
136. Taklīd merupakan tindakan yang paling tercela. Semoga Allah mengampuni kita dan mereka semua.