1-5 Hukum Akal, Adat, dan Syariat – Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

TERJEMAH TAUHID

سَبِيْلُ الْعَبِيْدِ عَلَى جَوْهَرَةِ التَّوْحِيْدِ
Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat
Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah
Penerbit: Sahifa Publishing

Hukum Akal, Adat, dan Syariat.

 

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

فَكُلُّ مَنْ كُلِّفَ شَرْعًا وَجَبَا عَلَيْهِ أَنْ يَعْرِفَ مَا قَدْ وَجَبَا
للهِ وَ الْجَائِزَ وَ الْمُمْتَنِعَا وَ مِثْلُ ذَا لِرُسْلِهِ فَاسْتَمِعَا.

Setiap mukallaf secara syariat wajib mengetahui perkara yang

Wajib bagi Allah, ja’iz, dan yang dilarang (mustahil).

Dan (wajib pula mengetahui perkara wajib, ja’iz, dan mustahil) bagi para rasul-Nya, maka hendaklah engkau dengarkan.

Setiap laki-laki dan perempuan yang telah mukallaf, berumur 15 tahun, sempurna akalnya, telah sampai syi‘ar Islam kepadanya, secara syariat wajib mengetahui dan meyakini hal-hal yang wajib, ja’iz, dan mustahil bagi Allah s.w.t. Maksudnya, mengetahui sifat wajib, ja’iz, dan mustahil bagi Allah menurut hukum ‘aqli (akal). Dan juga wajib mengetahui sifat wajib, ja’iz, dan mustahil bagi para rasul Allah. Dengarkanlah masalah ini!

 

Penjelasan

Dari dua bait ini engkau akan mengetahui bahwa batasan hukum ‘aqli (akal) ada 3. Sebagaimana perkataan Imām as-Sanūsī dalam kitab Umm-ul-Barāhīn (191): “Ketahuilah, hukum ‘aqli diringkas dan dibagi menjadi 3 bagian, tidak lebih:

  1. Wajib.
  2. Mustahil.
  3. Ja’iz.

Hukum ‘aqli adalah menetapkan sesuatu pada sesuatu yang lain atau meniadakannya, tanpa harus berulang-ulang seperti hukum adat dan tanpa harus ada syarat, sebab, dan tidak adanya sesuatu yang mencegah seperti hukum syariat.

Di dunia ini hukum hanya ada 3 (tiga) macam:

  1. Hukum ‘aqlī (Hukum Akal).
  2. Hukum ‘ādī (Hukum Adat).
  3. Hukum syar‘ī (Hukum Syariat).

Hukum ‘aqli, pengertiannya telah dijelaskan di atas.

Hukum adat adalah menetapkan hubungan antara sesuatu dengan yang lain atau meniadakannya karena berulangkali terjadi dengan adanya kemungkinan berbeda.

Hukum adat dibagi menjadi 4 (empat):

  1. Hubungan antara wujūd (ada) dengan wujūd (ada). Seperti adanya rasa kenyang karena adanya aktivitas makan.
  2. Hubungan antara ‘adam (tiada) dengan ‘adam (tiada). Seperti tidak adanya rasa kenyang sebab tidak adanya aktivitas makan.
  3. Hubungan antara wujūd (ada) dengan ‘adam (tiada). Seperti adanya rasa dingin sebab tidak memakai selimut.
  4. Hubungan antara ‘adam (tiada) dengan wujūd (ada). Seperti tiada terbakar sebab adanya air.

Penetapan hukum adat dengan adanya kejadian yang berulang-ulang. Ketika seseorang mengatakan bahwa minum kopi dan makan daging kambing bisa memperbaiki daya pemahaman, hak itu belum bisa dinamakan hukum adat jika belum terjadi secara berulang-ulang. Adanya rasa kenyang bersamaan dengan aktivitas makan, adanya kebakaran bersamaan dengan persentuhan dengan api, hal itu bukanlah suatu keniscayaan, artinya bukan makan yang menyebabkan kenyang dan juga bukan api yang menyebabkan terbakar, sama sekali bukan.

Hukum syariat adalah batasan-batasan Allah, maksudnya firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan seorang mukallaf, baik berupa tuntutan maupun penetapan.

Hukum syariat ada 2 (dua), yaitu Khithāb Taklīf (202) dan Khithāb Wadh‘i (213).

Khithāb taklīf ada 5 macam:

  1. Hukum Wajib, yaitu firman Allah yang menunjukkan tuntutan untuk melakukan suatu pekerjaan dengan tuntutan yang lazim (pasti),
  2. Hukum Sunnah, yaitu firman Allah yang menunjukkan tuntutan untuk melakukan suatu pekerjaan dengan tuntutan yang tidak lazim (tidak pasti).
  3. Hukum Haram, yaitu firman Allah yang menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan suatu pekerjaan dengan tuntutan yang lazim (pasti).
  4. Hukum Makruh, yaitu firman Allah yang menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan suatu pekerjaan dengan tuntutan yang tidak lazim (tidak pasti).
  5. Hukum Mubah, yaitu firman Allah yang menunjukkan pada kebolehan untuk memilih antara melakukan atau meninggalkan dengan kadar yang sama.

Khithāb Wadh‘i ada lima macam, yaitu firman Allah yang menunjukkan bahwa sesuatu itu menjadi sebab (224), syarat (235), māni‘ (246), shaḥīḥ (257) atau fāsid (268). Lima hal ini selalu menempel di salah satu dari lima hal dari khithāb taklīf, maka hitungannya adalah 5 hal dikali 5 menjadi 25 masalah.

Contoh, wajibnya shalat Zhuhur, penyebabnya adanya zawāl (matahari condong ke arah barat), syaratnya harus suci, māni‘-nya adalah adanya haid, keabsahannya tergantung pada lengkapnya syarat, fāsid-nya adalah ketika ada syarat yang tidak terpenuhi. Demikian seterusnya, khithāb taklīf selalu disertai khithāb wadh‘i. Pahamilah khithāb taklīf yang ada 5 dan khithāb wadh‘i yang ada.

Wājib ‘aqli adalah sesuatu yang tidak mungkin tidak ada menurut akal, atau sesuatu yang pasti ada menurut akal. Seperti sifat qudrah dan irādah bagi Allah, dan bahwasanya setiap sesuatu memerlukan ruang kosong untuk bertempat. Contoh pertama adalah wajib ‘aqli nazhari (butuh pemikiran dan perenungan) dan yang kedua adalah wajib ‘aqli dharūri (tidak butuh pemikiran atau perenungan).

Muḥāl ‘aqli adalah sesuatu yang tidak mungkin ada menurut akal. Seperti sifat lemah dan bodoh bagi Allah s.w.t. Itu tidak mungkin ada menurut akal, maksudnya, Allah tidak mungkin bersifat lemah dan bodoh, juga seperti adanya jirm yang tidak membutuhkan ruang kosong secukupnya untuk bertempat, atau jirm tidak bergerak dan juga tidak diam, hal itu mustahil menurut akal. Contoh yang pertama adalah muḥāl ‘aqli nazhari, sedangkan contoh kedua adalah muḥāl ‘aqli dharūri.

Jā’iz ‘aqli adalah sesuatu yang mungkin ada dan juga mungkin tidak ada menurut akal. Seperti ada atau tidaknya Zaid setelah dia ada, maka itu jā’iz menurut akal. Jika ada orang yang memberi kabar bahwa Zaid memiliki anak laki-laki, maka akalmu akan percaya dan berkata: “Iya, itu mungkin terjadi”, kemudian ada orang lain yang berkata: “Anaknya Zaid meninggal”, engkau juga akan percaya dan berkata: “Iya, kematian anak Zaid mungkin terjadi”. Itulah gambaran dari jā’iz ‘aqli.

Pahamilah bahwa seorang mukallaf wajib mengetahui sifat wajib bagi Allah yang jumlahnya ada 20. Kewajiban di sini berdasarkan syara‘, maksudnya, jika tidak mengetahui maka berdosa, jika mengetahui maka akan mendapat pahala. Tetapnya 20 sifat bagi Allah itu wājib ‘aqli, maksudnya tidak mungkin 20 sifat tersebut tidak dimiliki oleh Allah.

Setelah engkau mengerti definisi hukum ‘aqli, hukum syariat dan hukum adat, maka ketahuilah bahwa makna perkataan Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī: “Seorang mukallaf (baligh dan berakal) wajib secara syara‘ mengetahui dan meyakini dalam hati sifat-sifat wājib, mustaḥīl, dan jā’iz bagi Allah”. Ini menunjukkan bahwa kewajiban mengetahui sifat-sifat Allah adalah wājib syar‘i, bukan wājib ‘aqli, hal ini menurut pendapat madzhab Asy‘ariyyah, berbeda dengan madzhab Mu‘tazilah yang menyatakan bahwa kewajiban mengetahui sifat-sifat Alah adalah wājib ‘aqli, bukan wājib syar‘i, ini pendapat yang sesat, karena meniadakan syariat.

Adapun menurut madzhab Abū Manshūr al-Māturīdī, wajibnya mengetahui Allah itu berdasarkan akal, dalam arti tanpa harus menunggu datangnya syariat, tapi hal ini hanya terkhusus pada masalah ma‘rifat Allah, selain itu maka kewajibannya berdasarkan syariat. Pendapat yang mu‘tamad adalah pendapat yang pertama, yakni pendapat madzhab Asy‘ariyyah.

Selain wajib mengetahui sifat-sifat Allah, seorang mukallaf juga diwajibkan mengetahui sifat-sifat wajib, mustahil, dan ja’iz bagi para rasul yang agung.

Catatan:


  1. 19). Al-Imām Sayyid Muḥammad as-Sanūsī, Umm-ul-Barāhīn, Surabaya, al-Haramain, tth., hal. 30-45. 
  2. 20). Khithāb Allah yang berhubungan dengan perbuatan seorang mukallaf yang berupa tuntutan. (Lihat: Al-Imām Sayyid Muḥammad as-Sanūsī, Umm-ul-Barāhīn, Surabaya, al-Haramain, tth., hal. 33). 
  3. 21). Khithāb Allah yang berhubungan dengan perbuatan seorang mukallaf atau selainnya yang berupa ketentuan atau ketetapan. (Lihat: Al-Imām Sayyid Muḥammad as-Sanūsī, Umm-ul-Barāhīn, Surabaya, al-Haramain, tth., hal. 35). 
  4. 22). Sabab (sebab) adalah sesuatu yang ketiadaannya menetapkan ketiadaan musabbab dan keberadaannya menetapkan keberadaan musabbab. Contohnya: condongnya matahari ke arah barat (sabab – sebab). Allah menetapkannya menjadi sebab wajibnya shalat Zhuhur (musabbab). (Lihat: Al-Imām Sayyid Muḥammad as-Sanūsī, Umm-ul-Barāhīn, Surabaya, al-Haramain, tth., hal. 35). 
  5. 23). Syarath adalah sesuatu yang ketiadaannya menetapkan ketiadaan masyrūth, sedangkan keberadaannya tidak menetapkan keberadaan atau ketiadaan masyrūth. Contohnya ḥaul (syarath) dengan kewajiban zakat (masyrūth), dalam hal ini ketiadaan ḥaul menetapkan tidak adanya kewajiban zakat, akan tetapi adanya ḥaul tidak menetapkan wajib atau tidaknya zakat. (Lihat: Al-Imām Sayyid Muḥammad as-Sanūsī, Umm-ul-Barāhīn, Surabaya, al-Haramain, tth., hal. 36). 
  6. 24). Māni‘ adalah sesuatu yang keberadaannya menetapkan ketiadaan hukum, namun ketiadaannya tidak menetapkan ada atau tidaknya hukum. Contohnya: haid (māni‘) keberadaannya menetapkan tidak adanya kewajiban shalat, namun ketiadaannya tidak menetapkan wajib atau tidaknya shalat. (Lihat: Al-Imām Sayyid Muḥammad as-Sanūsī, Umm-ul-Barāhīn, Surabaya, al-Haramain, tth., hal. 37). 
  7. 25). Shaḥīḥ adalah sesuainya sesuatu yang memiliki dua wajah pada aturan syara‘. Misalnya shalat, akan berhukum shaḥīḥ (sah) jika sesuai dengan ketentuan syara‘.(Lihat: Al-Imām Sayyid Muḥammad as-Sanūsī, Umm-ul-Barāhīn, Surabaya, al-Haramain, tth., hal. 13). 
  8. 26). Fāsid adalah tidak sesuainya sesuatu yang memiliki dua wajah pada aturan syarath. Misalnya shalat, akan berhukum fāsid (rusak atau batal) jika tidak sesuai dengan ketentuan syara‘ (Lihat: Al-Imām Sayyid Muḥammad as-Sanūsī, Umm-ul-Barāhīn, Surabaya, al-Haramain, tth., hal. 16). 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *