1-5-6 Kewajiban 5 – Pantangan 6 – Rambu-rambu Berteologi Imam al-Ghazali

RAMBU-RAMBU BERTEOLOGI
(Judul Asli: Iljām-ul-‘Awāmi ‘an ‘Ilm-il-Kalām)

Oleh: Imām al-Ghazālī

Alih Bahasa: Kamran As‘ad Irsyady
Penerbit: Pustaka Sufi

001-5-6

Kewajiban Kelima

Pantangan Keenam.

 

Pantangan keenam: tafrīq; memisah-misahkan hal yang terhimpun. Sebagaimana tidak boleh menggabungkan yang terpisah, jangan pula memisahkan yang sudah terhimpun. Karena setiap kata memiliki kata pendahulu dan kata lanjutan yang memiliki pengaruh dalam pemahaman maknanya secara mutlak dan preferensi kemungkinan yang lebih kuat darinya. Jika dipecah-pecah dan dipisah-pisahkan, maka makna (dalālah)-nya menjadi hilang. Misalnya firman Allah:

Dan Dia Maha Perkasa di atas hamba-hambaNya.” (QS. Al-An‘ām [6]: 18).

Jangan putus ayat di atas misalnya dengan hanya mengatakan “Dia di atas”, karena penyebutan kata “al-Qāhir” (Yang Maha Perkasa) sebelum kata “di atas” menunjukan makna “atas” di sini sebagai “ketinggian” yang dimiliki oleh penguasa atas orang yang dikuasainya. Atau dengan kata lain “atas” di sini adalah atas posisional, dan ini ditunjukkan oleh kata “Yang Maha Perkasa.” Boleh juga menyebut “Dia di atas yang lain-Nya,” namun seyogianya kita menyebut: “Dia di atas hamba-hambaNya” sebab penyebutan “hamba” dalam mensifati “keatasan” Allah lebih menegaskan kemungkinan “keatasan otoritas,” karena tidak baik menyebut “Si A di atas si B” tanpa menyebutkan perbedaan makna antara majikan-hamba, menguasai-dikuasai, ayah-anak, atau dalam masalah keluarga.

Masalah-masalah seperti ini banyak dilupakan oleh para ulama, apalagi orang awam. Lalu bagimana bisa menuntut orang awam untuk melakukan penggabungan dan pemisahan, juga tafsīr dan ta’wīl, serta segala macam perubahan. Karena detail-detail inilah kaum Salaf sampai berlebih-lebihan dalam mendiamkan dan membatasi diri hanya pada apa adanya lafal. Ini merupakan bentuk kehati-hatian mereka untuk tidak terjebak pada kesalahan, apalagi menyangkut Dzāt Allah dan sifat-sifatNya, karena kesalahan dalam hal ini akan menyeret pelakunya dalam kekafiran. Lalu adakah bahaya yang lebih besar daripada bahaya kekafiran?!

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *