1-5-1 Sang ‘Alim Rabbani – Kisah Hidup ‘Ali Ibn Abi Thalib

KISAH HIDUP ‘ALĪ IBN ABI THĀLIB
(Judul Asli: ‘Alī ibn Abī Thālib)
Oleh: Dr. Musthafa Murad

Penerjemah dan Penyelaras: Dedi Slamet Riyadi. MA.
Penerbit: ZAMAN

Rangkaian Pos: 1-5 Sang 'Alim Rabbani - Kisah Hidup 'Ali Ibn Abi Thalib

Sang ‘Alim Rabbani

(Bagian 1 dari 2)

 

Ilmu berbisik kepada amal

Dan amal mesti menjawabnya

Jika tidak, ilmu menjadi sia-sia.

Penggalan syair itu diungkapkan oleh Sang Gerbang kota ilmu, ‘Ali ibn Abi Thalib. Umat bersepakat bahwa ‘Ali menyimpan khazanah pengetahuan yang sangat luas. Kedekatan dan pergaulannya bersama Nabi s.a.w. serta kecintaannya yang sangat besar kepada ilmu telah memberinya pengetahuan yang kaya dan berharga. Inilah keutamaannya yang paling cemerlang, nyaris tanpa banding. Semua orang mengenalnya sebagai sahabat yang berpengetahuan luas. Ia memiliki beragam pintu ilmu. ‘Ali juga punya semangat dan gairah yang tinngi untuk menuntut ilmu. Ia berkata: “Sepanjang hidupku bersama Rasulullah s.a.w., tidak pernah sekalipun mataku terpejam dan kepalaku terbaring tidur kecuali aku mengetahui pada hari itu apa yang diturunkan oleh Jibril a.s. tentang yang halal dan yang haram atau tentang yang sunat, atau kitab, atau perintah dan larangan, dan tentang siapakah ayat itu turun.

‘Ali mencapai keistimewaan dalam bidang ilmu karena dua sebab. Pertama, karena anugerah yang diberikan Allah kepadanya berupa akal yang cerdas dan lisan yang fasih. Ia pernah berkata: “Allah menganugerahiku akal yang cerdas dan lisan yang fasih.” Kedua, Nabi selalu mendorongnya untuk mencari ilmu. ‘Ali berkata: “Jika aku bertanya, aku pasti mendapatkan jawaban dan jika aku diam, beliau pasti mengajariku.” (291).

Kendati demikian, tetap saja ada sebagian orang yang menolak keutamaan ‘Ali ibn Abi Thalib dalam bidang ilmu dan pemahaman syariat, termasuk di antara mereka adalah kalangan Qadariyah dan Khawarij.

Umat, bahkan Nabi s.a.w. mengakui keluasan ilmu dan kecerdasan ‘Ali ibn Abi Thalib. Alangkah baik jika kita dengarkan nasihatnya tentang etika orang yang berilmu, ‘Ali r.a. berkata: “Pelajarilah ilmu, niscaya kau dikenal dengannya. Amalkan ilmumu, pasti aku menjadi ahli amal. Kelak, akan datang suatu zaman, yang pada saat itu sembilan dari sepuluh orangnya mengingkari kebenaran. Hanya orang yang bertobat dan tunduklah yang akan selamat dari zaman itu. Merekalah para pemimpin yang mendapat petunjuk. Merekalah pelita ilmu. Setiap langkah dan tindak mereka tak pernah tergesa atau sia-sia. Mereka juga tak banyak cakap dan menyia-nyiakan waktu.” (302).

Dalam kesempatan lain ia berkata: “Wahai orang yang berilmu, amalkanlah ilmu kalian karena seorang alim adalah yang mengetahui kemudian mengamalkan. Seorang alim adalah yang ilmunya bersesuaian dengan amalnya. Akan muncul kaum yang membawa ilmu namun tidak mengamalkannya; apa yang tersembunyi pada diri mereka bertolak belakang yang terlihat, ilmunya bertentangan dengan amalnya, mereka duduk saling berhadapan membangga-banggakan ilmunya seraya melecehkan orang lain. Akibatnya, setiap orang marah kepada teman semajelisnya dan meninggalkannya. Ketahuilah, amal mereka itu tidak akan naik kepada Allah Yang Maha Suci.” (313).

Kepada para pencari ilmu ia menyampaikan nasihatnya: “Seorang murid mesti menghormati dan menghargai guru. Tak pantas ia bebani seorang alim dengan banyak pertanyaan. Tak boleh ia memaksa ketika seorang alim enggan; tidak mendesaknya ketika ia malas, tidak menunjuknya dengan tanganmu, tidak menatapnya dengan pandanganmu, tidak bertanya di dalam majelisnya, tidak memohon apa yang tidak ada. Ketika seorang alim tidak hadir, berharaplah agar ia segera kembali dan terimalah dengan baik ketika ia kembali. Tidak patut mengatakan kepada seorang alim: “pendapat seseorang berbeda dengan pendapatmu.” Ia tidak boleh mencari-cari rahasianya, tidak bergibah tentangnya, tidak mengawasinya, baik di dalam maupun di luar majelis. Ia mesti mendoakan keselamatan untuknya. Ia harus menghormatinya dan duduk sopan di hadapannya. Jika seorang alim butuh sesuatu, bergegaslah melayaninya sehingga tidak didahului orang lain. Berusahalah untuk selalu di dekatnya. Seorang alim bagaikan setandan kurma yang hendak jatuh dan memberimu manfaat. Kedudukan seorang alim seperti orang yang berpuasa dan berjuang di jalan Allah, Jika seorang alim mati, terkoyaklah bendera Islam yang tidak bisa ditutupi hingga hari kiamat. Dan akan memintakan ampunan untuknya tujuh puluh ribu penduduk langit.” (324)

Dalam riwayat yang berbeda, ‘Ali berkata: “Jangan merasa puas berkawan dan menemaninya, karena ia bagaikan setandan kurma yang hendak jatuh dan memberimu manfaat.” (335).

Sepanjang hidupnya, ‘Ali ibn Abi Thalib selalu mencari pengetahuan, bertanya tentang apa yang tidak dipahaminya, dan tak melewatkan hari-harinya kosong dari pengetahuan baru. Karena itu, ia anjurkan setiap orang untuk bertanya tentang ilmu. Ia tidak menyukai orang yang bodoh tetapi tidak mau bertanya. ‘Ali berkata: “Janganlah salah seorang di antara kalian malu mencari tahu sesuatu yang tidak diketahuinya. Dan seorang yang bodoh tidak boleh merasa malu menanyakan apa yang tidak diketahuinya.” (346). Ia juga menasihati para pencari ilmu untuk saling berbagi pengetahuan dan saling mempelajari dengan orang lain. Ia berkata: “Kalian harus saling berbagi dan saling mempelajari hadits dan jangan membiarkannya terabaikan.” (357).

Ilmu pengetahuan memiliki kedudukan yang sangat penting pada diri ‘Ali ibn Abi Thalib. Ia menganggap ilmu dan pemahaman sebagai esksistensi kehidupan yang harus dimiliki setiap muslim. Kendati demikian, menurutnya, seorang tidak cukup hanya memiliki ilmu pengetahuan. Seorang alim, baginya, harus menjadi alim yang rabbani, alim yang mengenal Allah dan menjalankan perintah-perintahNya. Alim yang memenuhi hak-hak Tuhan dan hak-hak makhluk. ‘Ali ibn Abu Thalib selalu mengarahkan para ulama untuk menjadi ulama Rabbani. Ia katakan bahwa manusia terbagi ke dalam tiga golongan: alim rabbani, orang yang belajar di jalan keselamatan, dan orang lemah yang mengikuti setiap embusan angin dan bergerak ke mana pun angin bertiup. Mereka tidak menempuh jalan yang diterangi cahaya ilmu, dan tidak bersandar pada tiang serta pondasi yang kokoh.

Salah satu contoh mengenai keluasan ilmunya adalah ketika ia mendengar bahwa suatu kaum menolak bahwa Allah mengetahui segala sesuatu sejak azali. Ia terlihat sangat murka mendengar kabar itu dan langsung mencela mereka. Diriwayatkan dari Abu Sinan, dari al-Dhahhak, dari al-Nizal ibn Sirah (368) bahwa seseorang berkata kepada ‘Ali: “Ada suatu kaum yang mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui apa yang terjadi hingga sesuatu itu terjadi.”

‘Ali r.a. berkata: “Celakalah mereka! Apa dasar ucapan mereka itu?

“Mereka menakwil ayat al-Qur’an “dan Kami pasti akan mengujimu hingga Kami mengetahui orang-orang yang berjihad (mujahidin) di antara kalian dan orang-orang yang sabar, dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) di antara kamu.” (379).

‘Ali r.a. berkata: “Barang siapa berbicara tanpa pengetahuan, ia akan celaka,” kemudian ia naik mimbar, memuji Allah, dan berkata: “Wahai manusia, pelajarilah ilmu dan amalkanlah. Barang siapa merasa kesulitan memahami al-Qur’an, bertanyalah kepadaku. Aku mendengar suatu kaum meyakini bahwa Allah tidak mengetahui apa yang terjadi hingga sesuatu itu terjadi. Mereka berkeyakinan seperti itu berdasarkan firman Allahdan Kami pasti akan mengujimu hingga Kami mengetahui orang-orang yang berjihad (mujahidin) di antara kalian dan orang-orang yang sabar….” (3810). Ketahuilah wahai manusia, sesungguhnya firman Allah s.w.t. hingga Kami mengetahui berarti hingga Kami melihat siapa orang yang berjihad dan bersabar atas ujian yang ditimpakan kepadanya dan apa yang didatangkan kepadanya dari apa yang Ku tetapkan atas dirinya.” (3911)

Riwayat ini menjelaskan dua hal. Pertama, kaum Qadariyah menjadikan ayat al-Qur’an itu sebagai dalil. Lahir ayat itu mengandung pemahaman yang samar sehingga dimaknai bahwa Allah tidak mengetahui apa yang terjadi hingga sesuatu itu terjadi. ‘Ali r.a. menolak pandangan seperti itu dengan argumen yang jelas dan pemahaman yang mendalam. Kedua, kaum Qadariyah pertama kali muncul pada masa ‘Ali r.a. dan ‘Ali melarang kaum muslim menyibukkan diri mereka untuk memikirkan persoalan Ilahi yang sudah pasti, apalagi memikirkan sifat-sifat Allah.

Suatu hari seorang laki-laki bertanya kepada ‘Ali di Masjid Kufah: “Wahai Amir-ul-Mu’minin, dapatkah engkau menggambarkan Allah sehingga kami lebih mencintainya?”

Mendengar pertanyaan itu ‘Ali marah dan berseru: “Ayo kita shalat berjamaah.

Usai shalat, ‘Ali r.a. naik mimbar, memuji kepada Allah, mengagungkan-Nya, lalu berkhutbah hingga sampai pada ucapannya: “…..bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang bahkan para malaikat dan kelompok terdekat dengan Tuhan pun tidak mampu melakukannya. Mereka semata-mata memuliakan dan mengagungkan-Nya serta menyucikan-Nya. Kalangan terdekat di alam malakut-Nya hanya mengetahui sesuai dengan pengetahuan yang diberikan kepada mereka oleh Allah. Mereka adalah para malaikat yang disucikan. Ketika ditanya tentang sesuatu, mereka berkata: “Maha Suci Engkau, kami tidak memiliki pengetahuan kecuali apa yang Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.”

Hai penanya, perhatikanlah sifat-sifatNya seperti yang digambarkan dalam al-Qur’an. Utamakan pemahaman yang kalian dapatkan dari Rasulullah s.a.w. dibanding pengetahuanmu. Sempurnakan pengetahuan itu dan mintalah cahaya hidayah-Nya. Semua itu merupakan nikmat dan hikmah yang diberikan kepadamu maka ambillah dan jadilah orang yang bersyukur. Serahkanlah kepada Allah Yang Maha Suci ketika kau mendengar apa yang dibisikkan setan mengenai sesuatu yang tidak ada dalam Kitab Allah, sunnah Nabi s.a.w., dan tidak diungkapkan oleh para imam hidayah. Dialah puncak segala pengetahuan. Itulah hak Allah yang harus kau penuhi.” (4012).

 

Catatan:


  1. 29). Fadhā’il al-Shaḥābah, jilid 2, hal. 647, dengan sanad yang shaḥīḥ
  2. 30). Riwayat Ahmad dalam az-Zuhd; Abu ‘Ubaidah al-Dinawari sebagaimana disebutkan dalam al-Kanz, jilid 5, hal. 229. 
  3. 31). Riwayat Ibn ‘Abdil Barr dalam al-‘Ilm
  4. 32). Ibn ‘Abdil Barr dalam al-‘Ilm; al-Khathib dalam al-Jāmi‘, juga terdapat dalam al-Kanz, jilid 5, hal. 242 dan al-Muntakhab, jilid 5, 229. 
  5. 33). Tadzkirah al-Sāmi‘, hal. 100. 
  6. 34). Mushannif ibn Abī Syaibah , jilid 13, hal. 284. 
  7. 35). Al-Jāmi‘ li Akhlāq al-Rāwī, jilid 1, hal. 236. 
  8. 36). Al-Nizal ibn Sirah al-Hilali, seorang penduduk Kufah yang dikenal tsiqat (dipercaya). Dikatakan bahwa ia punya sahabat yang meriwayatkan darinya al-Bukhari dan Muslim dalam at-Tamyīz, dan Abu Dawud, dan al-Nasa’i, dan ibn Majah. Lihat Taqrīb al-Tahdzīb, jilid 2, hal. 298. 
  9. 37). Muhammad: 31. 
  10. 38). Ibid
  11. 39). Jāmi‘ Bayān al-‘Ilm, hal. 184-185, bab Fī ibtidā’i al-‘ālim jalsā’ahu bi al-fā’idah. 
  12. 40). Ibn al-Wazir (Muhammad ibn al-Murtadha al-Yamani), ītsār al-ḥaqq ‘alā al-khalq fī radd al-khilāfāt ilā al-madzhab al-ḥaqq fī ushūl al-tawḥīd, hal. 93, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, cetakan kedua, 1407/1987. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *