1-4 Penjelasan Isi Kitab, Makna Raja’, dan Tingkatan Ikhlash – Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

TERJEMAH TAUHID

سَبِيْلُ الْعَبِيْدِ عَلَى جَوْهَرَةِ التَّوْحِيْدِ
Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat
Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah
Penerbit: Sahifa Publishing

Penjelasan Isi Kitab, Makna Raja’, dan Tingkatan Ikhlash.

 

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

وَ هذِهِ أُرْجُوْزَةٌ لَقَّبْتُهَا جَوْهَرَةَ التَّوْحِيْدِ قَدْ هَذَّبْتُهَا
وَ اللهُ أَرْجُوْ فِي الْقَبُوْلِ نَافِعًا بِهَا مُرِيْدًا فِي الثَّوَابِ طَامِعًا.

Dan inilah kumpulan syair berbahar rajaz yang aku beri gelar

‘permata ilmu tauhid’ dan sungguh aku telah membersihkannya”

“Dan hanya kepada Allah aku berharap agar dapat diterima serta

Memberikan manfaat kepada para peminat yang sangat rakus terhadap pahala”.

Karangan yang hadir dalam hatiku yang akan aku tulis itu berupa nazham dari baḥr rajaz (tembang dari baḥr rajaz), berjumlah 140 (seratus empat puluh) bait. Nazham ini aku beri nama Jauharat-ut-Tauḥīd (mutiara ilmu tauhid). Kitab ini aku sarikan dari kitab-kitab besar.

Hanya pada Allah aku meminta dan mengharap diterimanya kitab ini. Semoga bisa bermanfaat bagi orang yang mau mengkajinya. Aku mengharapkan manfaat dari kitab ini karena aku sangat mengharapkan pahala kelak di akhirat.

 

Penjelasan

Kitab Jauharat-ut-Tauḥīd ini telah diseleksi dan disaring, sehingga tidak tercampur akidah-akidah yang rusak dan sesat. Ketahuilah, akidah-akidah yang rusak dan kufur ada bermacam-macam.

1. Madzhab Mu‘tazilah.

Mereka meniadakan sifat bagi Allah. Madzhab ini berkembang menjadi 20 golongan. Ada yang berpendapat bahwa Allah wajib ishlah (berbuat baik) kepada makhluk-Nya, wajib memberi pahala, wajib menjadikan orang beriman. Ada juga yang menghukumi kufur kepada orang yang berbuat dosa besar, dan pendapat-pendapat lainnya.

2. Madzhab Musyabbihah.

Mereka menetapkan anggota badan dan tempat bagi Allah. Madzhab ini berkembang menjadi 20 golongan, semuanya kufur.

3. Madzhab Qadariyyah.

Mereka menetapkan af‘āl bagi manusia (manusia menciptakan perbuatannya sendiri).

4. Madzhab Jabariyyah.

Mereka meniadakan sifat kuasa pada diri manusia, semua atas kekuasaan Allah.

5. Madzhab Khawarij.

Merekan membenci dan tidak mengakui keberadaan sahabat Nabi. Mereka berkeyakinan bahwa orang yang paling mulia setelah Rasulullah adalah sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib. Madzhab ini berkembang menjadi 20 golongan.

6. Madzhab Rawafidh.

Mereka meniadakan sesuatu yang diwajibkan dan yang diharamkan di dalam al-Qur’an. Hal-hal yang disebutkan dalam al-Qur’an hanyalah perumpamaan saja, tidak wajib untuk dilakukan. Mereka juga tidak mengakui keberadaan sahabat Nabi. Madzhab ini berkembang menjadi beberapa golongan, seperti Bāthiniyyah dan Ibāḥiyyah, yakni golongan yang memperbolehkan makan apa saja, tidak mengakui adanya syariat, juga tidak mengakui adanya para Nabi. Wallāhu a‘lam.

Dan beberapa madzhab tersebut, muncullah madzhab dhalālah (sesat) yang berjumlah 72 golongan. Ditambah satu golongan, yakni madzhab kita Ahl-us-Sunnah wal-Jama‘ah, golongan inilah yang akan dijelaskan dalam kitab Jauharat-ut-Tauḥīd ini.

Rajā’ adalah mengharapkan hal-hal yang mungkin adanya disertai melakukan sebab-sebabnya. Seperti berharap mendapatkan pahala dengan cara beramal. (171).

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī mengarang kitab ini dengan harapan akan mendapat pahala dari Allah di akhirat nanti. Hal ini menunjukkan bahwa beramal karena Allah serta mengharap pahala dari-Nya tidaklah dilarang, karena tingkatan ikhlash ada tiga:

1. Ikhlash tingkat tinggi.

Melakukan ‘amal hanya karena Allah dan karena melaksanakan perintah-Nya. Ia memandang kepada Allah adalah Tuhan, sedangkan dirinya adalah hamba. Sehingga dia beribadah bukan karena berharap atau agar terhindar dari sesuatu apapun selain Allah.

2. Ikhlash tingkat sedang.

Melakukan ‘amal karena melaksanakan perintah Allah dengan mengharap pahala dan terhindar dari siksa.

3. Ikhlash tingkat rendah.

Melakukan ‘amal karena merasa sudah dimuliakan oleh Allah dalam kehidupan di dunia dan terhindar dari musibah-musibah dunia.

Jika manusia beramal bukan karena salah satu hal di atas, maka dinamakan riya’ (pamer). (182).

Catatan:


  1. 17). Tuḥfat-ul-Murīd, hal. 63. 
  2. 18). Ibid, hal. 65. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *