001-4
Kewajiban Keempat.
Kewajiban keempat: as-sukūt (diam) dan tidak bertanya macam-macam. Hal ini wajib bagi orang awam karena dengan banyak pertanyaan ia dapat terjebak pada hal di luar jangkauan kemampuannya dan bergulat di arena yang bukan keahliannya. Jika ia bertanya pada orang bodoh, jawaban itu hanya akan menambah kebodohannya bahkan malah bisa melihatkannya dalam kekafiran tanpa disadarinya. Dan jika ia bertanya pada orang ‘ārif, orang ‘ārif ini juga akan susah memahamkannya sebagaimana kelemahan seorang bapak untuk memberi pengeritan kepada anaknya tentang maslahah yang kembali pada si anak jika bapaknya bepergian ke kantor. Sebagaimana juga kelemahan seorang tukang emas untuk memberi pengertian kepada tukang kayu tentang seluk beluk pekerjaannya. Karena meskipun si tukang kayu tahu pekerjaannya, ia tidak akan bisa mengetahui seluk-beluk pekerjaan tukang emas, sebab sepanjang hidupnya ia hanya mempelajari dan menggeluti pertukangan kayu. Hal ini sama dengan orang-orang yang sibuk dengan urusan keduniaan atau kalangan yang berkecimpung dalam disiplin pengetahuan yang tidak termasuk ma‘rifat Allah, maka mereka akan lemah untuk mengetahui masalah-masalah ilāhiah (ketuhanan) sebagaimana kelemahan para penolak keterampilan untuk memahami keterampilan tersebut, bahkan sama halnya dengan kelemahan seorang balita yang masih menyusu untuk mengkonsumsi roti dan daging karena kelemahan-kelemahan dalam fitrah si anak dan bukan karena tidak adanya roti dan daging, atau keduanya kurang cocok baik untuk konsumsi yang kuat, melainkan karakter si lemahlah yang menghalanginya untuk mengkonsumsinya. Jika seorang memberi makan anak kecil yang masih lemah dengan menu daging dan roti, meski ia mampu menelannya, maka ia malah akan mematikan si anak. Begitu juga kaum awam, jika mereka bersikeras bertanya tentang makna-makna ini, mereka harus dicegah dan dipukul. Hal inilah yang dilakukan oleh ‘Umar r.a. pada setiap orang yang mempertanyakan ayat-ayat mutasyābihāt (masih ambigu makna dan pengertiannya, – penj.). Rasūlullāh s.a.w. juga mencela kaum yang beliau lihat berkutat mempertanyakan masalah takdir, di mana ketika mereka bertanya ihwal hal tersebut, beliau bersabda seraya mengingkari:
“Sesungguhnya telah binasa orang sebelum kalian lantaran banyak bertanya-tanya,”
atau dengan bahasa yang semakna sebagaimana termasyhur dalam khabar (hadits).
Berlandaskan hal ini, saya menfatwakan bahwa haram hukumnya bagi para penceramah agama di mimbar-mimbar umum untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menjurus pada ta’wi dan rinci, bahkan wajib bagi mereka membatasi diri dengan hal-hal yang telah kami sebutkan, dan telah digariskan pula oleh kaum Salaf, yaitu memperbanyak porsi taqdīs dan menafikan tasybīh karena sesungguhnya Allah s.w.t. tersucikan dari jismiyyah dan implikasi-implikasinya. Misalnya ia bisa saja berkata: “Tentang semua yang terbetik dalam benak kalian, terbisik dalam nurani kalian, dan terbentuk persepsi dalam pikiran kalian, maka (ketahuilah) sesunggunya Dialah Sang Penciptanya. Tentu saja Dia tersucikan darinya dan dari penyama-nyamaan dengannya. Tidak ada maksud dan pengertian di dalam informasi hadits-hadits yang mengarah pada hal tersebut. Lebih lanjut mengenai esensinya, kalian bukanlah ahlinya untuk mengetahui dan mempertanyakannya. Kalian cukup menyibukkan diri dengan taqwa. Lakukan dan ‘amalkan saja apa-apa yang telah diperintahkan Allah pada kalian, serta jauhi juga semua yang dilarang oleh-Nya. Jangan bertanya apa pun ihwal hal ini. Dan kalau kalian mendengar sesuatu tentang hal tersebut bagaimana pun, diamlah dan katakan saja: “Kami beriman dan membenarkan. Kami hanya dianugerahi sedikit ‘ilmu dan ini tidak termasuk hal yang diajarkan pada kami.”