1-4 Keadilan Sang Khalifah – Kisah Hidup ‘Ali Ibn Abi Thalib

KISAH HIDUP ‘ALĪ IBN ABI THĀLIB
(Judul Asli: ‘Alī ibn Abī Thālib)
Oleh: Dr. Musthafa Murad

Penerjemah dan Penyelaras: Dedi Slamet Riyadi. MA.
Penerbit: ZAMAN

Keadilan Sang Khalifah.

 

Suatu hari, Amirul Mu’minin melihat baju zirahnya, yang telah lama hilang, ada pada seorang Nasrani. Ia tidak tahu, bagaimana baju zirahnya itu bisa berada di tangan Nasrani itu. Ia berusaha meminta baju zirahnya dan menjelaskan bahwa baju zirah itu miliknya. Namun, Nasrani itu enggan memberikan dan bersikukuh bahwa itu baju miliknya. Akhirnya, ‘Ali ibn Abi Thalib membawa laki-laki itu ke pengadilan. Qadhinya saat itu adalah Syarih. Kadi berkata kepada laki-laki Nasrani itu: “Apa pembelaanmu, atas apa yang dikatakan oleh Amirul Mu’minin?”

Nasrani itu berkata: “Baju zirah ini milikku. Amirul Mu’minin tidak berhak menuduhku.”

Syarih berpaling kepada ‘Ali dan berkata: “Wahai Amirul Mu’minin, apakah kau punya bukti?”

‘Ali tertawa dan berkata: “Ya, engkau benar Syarih, aku tidak punya bukti apa-apa.”

“Atau, adalah saksi yang mendukung tuduhanmu?”

“Ada, anakku al-Hasan.”

“Ia tidak dapat menjadi saksi bagimu.”

“Bukankah kau pernah mendengar sabda Rasulullah s.a.w. yang diriwayatkan oleh ‘Umar bahwa al-Hasan dan al-Husain adalah dua pemimpin pemuda ahli surga?”

“Meski begitu, tetap saja ia tidak berhak menjadi saksi untukmu.”

Akhirnya Syarih memutuskan bahwa baju zirah itu milik si Nasrani.

Laki-laki Nasrani itu mengambil baju zirah itu, lalu berjalan pulang ke rumahnya. Namun, belum lagi jauh, ia kembali menemui keduanya dan berkata: “Aku bersaksi bahwa hukum seperti ini adalah hukum para nabi. Amirul Mu’minin membawaku kepada hakim yang diangkat olehnya dan ternyata hakimnya itu menetapkan keputusan yang memberatkannya. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Baju zirah ini, demi Allah, adalah baju zirahmu, wahai Amirul Mu’minin. Aku mengikuti pasukan dan saat itu kau pergi ke Shiffin, dan aku mengambil beberapa barang dari kendaraanmu.”

‘Ali berkata: “Karena kau telah berislam, baju zirah ini untukmu.”

Laki-laki itu membawa baju zirahnya dengan senang. (261).

Kendati telah dibaiat dan ditetapkan sebagai khalifah, ‘Ali ibn Abi Thalib tidak pernah berlaku sewenang-wenang. Ia selalu menempatkan setiap urusan pada tempatnya dan mendelegasikan wewenang kepada orang yang tepat. Kasus baju zirah itu membuktikan keadilan ‘Ali. Ia tidak mau mencampuri atau memengaruhi keputusan qadhi pengadilan. Dan yang sangat menakjubkan, Syarih, yang menjadi qadhi saat itu, tidak merasa takut kepada Amirul Mu’minin dan tetap menjalankan tugasnya tanpa terpengaruh oleh kedudukan ‘Ali.

Dalam kasus lain. Ju‘dah ibn Hubairah menemui ‘Ali dan berkata: “wahai Amirul Mu’minin, dua laki-laki mendatangimu, kau lebih ku cintai dari salah satu di antara keduanya dibanding keluarganya dan hartanya. Dan laki-laki kedua, jika ia bisa membunuhmu, ia akan membunuhmu. Maka putuskanlah antara keduanya.”

‘Ali meninju muka laki-laki itu dan berkata: “Sungguh jika ini menjadi urusanku, aku akan melakukannya, tetapi ini adalah urusan Allah.”

Kedaulatan pemerintahan ‘Ali ibn Abi Thalib berdiri di atas landasan keadilan. Selama masa kekuasaannya, tidak pernah ada seorang pun yang dizalimi kemudian diabaikan atau tidak ditolong oleh penguasa. Khalifah senantiasa menjaga amanatnya dengan baik dan melindungi seluruh rakyatnya dari penindasan dan kezaliman.

Ketika memilih para qadhi yang dianggap layak memimpin lembaga peradilan di wilayah Islam, Khalifah ‘Ali turun langsung menguji mereka dan meneliti keadaan serta kecakapan mereka dalam bidang hukum. Ia juga memerhatikan akhlak dan perilaku keseharian mereka. Ia pernah berkata kepada seorang qadhi: “Apakah kau mengetahui ayat yang menasakh dan ayat yang dinasakh?”

Ia menjawab: “Tidak.”

‘Ali berkata: “Celakalah engkau dan kau akan mencelakakan orang lain.” (272).

Abu al-Aswad al-Du’ali pernah diangkat sebagai qadhi namun kemudian dipecat. Ia berkata kepada ‘Ali: “Mengapa engkau memecatku, sedangkan aku tidak berkhianat dan tidak berbuat salah?”

‘Ali r.a. menjawab: “Aku pernah melihatmu membentak-bentak dua orang yang bertikai.” (283).

Berikut ini beberapa orang qadhi yang diridhai oleh ‘Ali ibn Abi Thalib dan dipercayainya untuk memimpin lembaga peradilan:

1. Syarih ibn al-Harits yang menjadi qadhi di Kufah.

2. Abu Musa al-Asy‘ari yang telah dipercaya sebagai qadhi di Kufah sejak masa ‘Utsman ibn ‘Affan r.a.

3. ‘Ubaidullah ibn Mas‘ud yang menjadi walikota dan qadhi di Yaman.

4. ‘Utsman ibnu Hanif yang menjadi qadhi di Bashrah.

5. Qais ibn Sa‘d yang menjadi qadhi di Mesir.

6. Imarah ibn Syihab yang menjadi qadhi di Kufah.

7. Qatsam ibn al-‘Abbas yang menjadi qadhi di Madinah al-Munawwarah dan sejak 37 H. menjadi qadhi di Makkah dan Tha’if.

8. Ju‘dah ibn Hubairah al-Makhzumi, kemudian Khalid ibn Qurrah al-Yarbu‘i yang menjadi qadhi di Khurasan.

9. ‘Abdullah ibn ‘Abbas yang menjadi walikota Bashrah dan Abu al-Aswad al-Du’ali menjadi qadhinya.

10. Sa‘id ibn Namran al-Hamadani yang menjadi qadhi di Kufah.

11. ‘Ubaidah al-Salami Muhammad ibn Hamzah yang diangkat sebagai qadhi di Kufah setelah Sa‘id al-Hamadani dipecat.

12. Muhammad ibn Yazid ibn Khalidah al-Syaibani yang menjadi qadhi di Kufah.

 

Catatan:


  1. 26). Dalam sanadnya ada Jabir al-Ja‘fi yang dianggap dha‘īf
  2. 27). Sunan al-Baihaqī, jilid 10, hal. 117. 
  3. 28). Al-Mughnī, jilid 9, hal. 104.