1-4 Bejana Yang Boleh Digunakan Sebagai Wadah Untuk Berwudhu’ Dan Sebaliknya – Ringkasan Kitab al-Umm

Ringkasan Kitab al-Umm
Buku 1 (Jilid 1-2)
(Judul Asli: Mukhtashar Kitab al-Umm fil-Fiqhi)
Oleh: Imam Syafi‘i Abu Abdullah Muhammad Idris

Penerjemah: Mohammad Yasir ‘Abd Mutholib
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

BAB: BEJANA YANG BOLEH DIGUNAKAN SEBAGAI WADAH UNTUK BERWUDHU’ DAN SEBALIKNYA.

 

Imām Syāfi‘ī berkata: Dari Ibnu ‘Abbās r.a. bahwasanya ia berkata:

مَرَّ رَسُوْلُ اللهِ (ص) بِشَاةٍ مَيْتَةٍ قَدْ كَانَ أَعْطَاهَا مَوْلَاهُ لِمَيْمُوْنَةَ زَوْجُ النَّبِيِّ (ص)، قَالَ: فهَلَّا انْتَفَعْتُمْ بِجِلْدِهَا. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّهَا مَيْتَةُ، فَقَالَ: إِنَّمَا حَرُمَ أَكْلُهَا.

Nabi s.a.w. pernah melewati bangkai seekor kambing yang telah diberikannya kepada mantan budak Maimūnah, istri Nabi s.a.w., beliau bertanya: “Apakah kamu tidak mengambil manfaat dari kulitnya?” Para sahabat menjawab: “Itu adalah bangkai.” Kemudian Rasūl s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya yang diharamkan hanyalah memakannya.” (221).

Imām Syāfi‘ī berkata: Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās r.a. bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda:

إِذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ.

Apabila kulit telah disamak, maka ia telah suci.” (232).

Imām Syāfi‘ī berkata: Apabila kulit bangkai (dari hewan apapun) telah disamak, maka diperbolehkan berwudhu’ dengan menggunakannya. Demikian halnya dengan kulit binatang-binatang buas yang tidak dimakan dagingnya, karena dianalogikan dengan kulit hewan yang telah menjadi bangkai. Kecuali kulit anjing dan babi, keduanya tidak bisa disucikan meskipun telah disamak, karena najis yang ada pada keduanya ada sejak keduanya hidup.

Adapun kulit hewan yang dapat disucikan dengan disamak hanyalah hewan yang tidak najis ketika masih hidup. Sementara itu, proses menyamaknya dengan menggunakan alat samak yang telah dipakai oleh orang ‘Arab; seperti daun salam atau alat lain yang dapat menggantikan kedudukannya, sehingga dapat mengeringkan lendir-lendirnya, membaguskan serta mencegahnya dari kerusakan apabila terkena air. Kulit bangkai tidak akan suci dengan disamak, kecuali setelah melewati proses yang kami jelaskan. Jika kulit itu berbulu, maka bulunya adalah najis. Apabila disamak dan bulunya dibiarkan lalu menyentuh air, maka airnya dihukumi najis. Namun jika air itu ada di bagian dalam kulit, sementara bulunya di sisi luarnya, maka air tersebut tidak dihukumi najis, sebab tidak bersentuhan dengan bulunya. Adapun kulit setiap binatang yang disembelih dan diperolehkan untuk memakan dagingnya, maka tidak mengapa minum dan berwudhu’ darinya walaupun tidak disamak, karena penyuciannya cukup dengan disembelih.

Imām Syāfi‘ī berkata: Tidak diperbolehkan berwudhu’ dan minum dengan memakai tulang bangkai yang disembelih namun tidak dimakan dagingnya; seperti tulang gajah, singa dan yang sejenisnya, karena proses penyamakan dan pencucian tidak dapat menyucikan tulang tersebut.

Imām Syāfi‘ī berkata: Barang siapa berwudhu’ darinya, maka hendaklah ia mengulangi wudhu’nya dan membasuh apa yang disentuh oleh air yang ada dalam tulang itu.

Catatan:


  1. (22). HR. Muslim, pembahasan tentang Haidh, bab “Menyucikan Kulit dari Hewan yang Sudah Mati dengan Menyamak”, hadits no. 102, jilid 1, hal. 659. 
  2. (23). HR. Muslim, pembahasan tentang Haidh, bab “Menyucikan Kulit dari Hewan yang Sudah Mati dengan Menyamak”, hadits no. 106, jilid 1, hal. 660. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *