1-4-1 Sifat-sifat & Karakternya (Bagian 2) Al-Qasim Bin Muhammad Bin Abi Bakar – Kisah Para Tabi’in

KISAH PARA TĀBI‘ĪN
Judul Asli: ‘Ashr-ut-Tābi‘īn
Penulis Abdul-Mun‘im al-Hasyimi

Alih Bahasa: Faqih Fatwa
Penerbit: UMMUL QURA

Rangkaian Pos: 004 Al-Qasim Bin Muhammad Bin Abi Bakar

Namun, berkaitan dengan enam kitab hadits dan kitab-kitab musnad, serta berbagai mu‘jam (kamus) yang telah disusun, perbedaan pendapat tersebut tidak berlaku padanya, sehingga tidak ada seorang pun yang boleh merubah lafal suatu hadits dalam suatu kitab kemudian menetapkan lafal lain yang semakna sebagai penggantinya, karena keringanan untuk meriwayatkan hadits dengan makna itu berlaku disebabkan adanya kesulitan yang luar biasa yang dihadapi perawi dalam mengungkapkan lafal yang tepat, dan hal ini tentu saja tidak kita temukan dalam kitab hadits yang enam sebagaimana yang telah kami sebutkan. (41).

Oleh karenanya, metode lafzhī atau harfī (redaksional) dari Syaikh yang mulia al-Qāsim bin Muḥammad ini merupakan metode paling detail karena lebih terpercaya dan berpegang pada lafal nash serta diperlukan kesungguhan yang luar biasa untuk menyusunnya.

Lali-laki ini merupakan salah seorang ahli fikih dari umat ini, sampai-sampai ketika Ibnu Sīrīn mengalami sakit keras dan tidak dapat melaksanakan ibadah haji maka dia pun memerintahkan kepada orang-orang yang menunaikan ibadah haji agar memperhatikan bimbingan al-Qāsim, pakaiannya, dan kepribadiannya, lalu mereka pun mengikuti al-Qāsim.

Demikianlah jalan hidupnya dijadikan sebagai salah satu sandaran dari ahli fikih terkenal yang tersebar luas di tengah-tengah manusia, karena al-Qāsim merupakan ahli fikih terbaik dari kalangan tabi‘in. Dalam hal ilmu, dia dianggap sebagai orang tepercaya, jujur, dan saleh. Di antara perkataannya yang terkenal adalah tentang hubungan antara orang yang berilmu dengan orang bodoh, dan amanah dalam memberikan fatwa, serta tanggungjawab dalam menyampaikannya di mana dia mengatakan: “Seseorang yang hidup dalam kebodohan setelah mengetahui hak Allah adalah lebih baik baginya daripada dia mengatakan sesuatu yang tidak dia ketahui.” (52)

Bahkan di hadapan salah seorang penguasa dia pernah mengulang-ulang pernyataan dengan makna serupa dalam ungkapan yang lebih halus: “Sesungguhnya di antara bentuk penghormatan seseorang terhadap dirinya adalah dia tidak mengatakan sesuatu kecuali apa yang dia kuasai ilmunya dengan baik.”

Imām Mālik r.a., imam penduduk Madīnah, pernah mensifati al-Qāsim bin Muḥammad bin Abī Bakar dengan mengatakan: “Al-Qāsim adalah orang yang sedikit bicara dan sangat jarang memberikan fatwa.”

Syaikh al-Qāsim, sang ahli fikih ini memiliki keistimewaan karena kejelasan lisannya ketika berdialog atau berdebat dengan para ulama semasanya, hal inilah yang menjadikan hadits yang diriwayatkan Imām Mālik darinya memiliki kedudukan yang kuat.

Imām Mālik juga berkata: “Ketika terjadi perbincangan tentang suatu perkara antara dia dengan seorang laki-laki, maka al-Qāsim berkata: “Ini, perkara yang engkau pertentangkan denganku adalah milikmu, jika ia benar maka ia milikmu, ambillah dan janganlah memujiku tentangnya. Jika ia milikku, maka ia halal bagimu”.” Melalui riwayat ini kita dapat memerhatikan bahwa dia adalah pemilik hujjah yang kuat, seorang rawi terpercaya (tsiqqah) yang perkataannya dapat diambil (hendaknya sebagian dari kita menerima alasan sebagian yang lain).

Suatu hari, dia pernah terlihat di Minā, penduduk dari berbagai negeri yang berhaji ke Baitullāh pun mengerumuninya dari segala sisi dan menanyainya. Dia pun menjawab pertanyaan mereka sesuai dengan apa yang dia tahu, dan pada setiap pertanyaan yang di tidak tahu, dia katakan: “Aku tidak tahu. Aku tidak mengerti.” Ketika pertanyaan yang mereka lontarkan semakin banyak, lalu dia pun berkata: “Demi Allah, aku tidak mengetahui semua yang kalian tanyakan, kalau saja aku mengetahuinya niscaya aku tidak akan menyembunyikannya, dan tidak halal bagiku untuk menyembunyikan ilmu dari kalian.” (63).

Setiap hari pada waktu yang sama, dia selalu mendatangi Masjid Nabawi yang mulia, lalu melaksanakan shalat tahiyyatul masjid dua raka‘at kemudian mengambil tempatnya yang sudah dikenal di majelisnya yang terletak di Raudhah yang mulia di antara kuburan Rasūlullāh s.a.w. dan mimbarnya. Maka murid-muridnya, para pencari ilmu dari segala tempat berkumpul kepadanya untuk menimba ilmu yang tak akan habis sepanjang hayat.

Dalam waktu singkat, al-Qāsim bin Muḥammad menjadi salah seorang Imam Madīnah yang tepercaya di kalangan umat manusia. Dia adalah salah seorang pemimpin yang ditaati karena keilmuan dan pemahamannya, dia juga merupakan salah seorang ulama yang didengar ucapannya meskipun dia tidak memiliki jabatan dan kekuasaan di sisi khalifah atau hakim. Sungguh, al-Qāsim telah menghiasi dirinya dengan ketaqwaan dan sikap wara‘, serta menyimpan ilmu dan fikih (pemahaman) yang bermanfaat dalam dirinya.

Laki-laki ini menjadi istimewa karena sikap zuhudnya terhadap harta benda yang ada pada orang lain serta keinginannya untuk mendapatkan apa yang ada di sisi Allah ‘azza wa jalla, sehingga sehari pun dia tidak pernah meminta kepada selain Allah, sehari pun tidak pernah dia meminta pertolongan kepada seorang hamba, hanya kepada Allah-lah dia meminta pertolongan. Dia pun mengucapkan kalimat ini dalam menghadapi setiap orang zalim yang hendak berbuat zalim terhadap hak-hak orang lain.

Al-Qāsim bin Muḥammad bin Abī Bakar menyendiri dalam periwayatan sepuluh hadits dari sejumah hadits yang terdapat dalam beberapa musnad. Di antaranya adalah sebagai berikut:

Dari al-Qāsim bin Muḥammad dari ‘Ā’isyah r.a. bahwanya Nabi s.a.w. membaca ayat ini: “Dialah yang menurunkan kitab (al-Qur’ān) kepadamu (Muḥammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok kitab (al-Qur’ān) (74) Lalu Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Jika kalian melihat orang yang bertanya tentang ayat-ayat mutasyabihat, merekalah orang-orang yang Allah sebutkan itu, maka berhati-hatilah terhadap mereka.

Di antara penyendirian lainnya dalam periwayatan hadits adalah bahwa Yaḥyā bin Sa‘īd pernah berkata: “Aku mendengar al-Qāsim bin Muḥammad bin Abī Bakar berkata: “ ‘Ā’isyah r.a. pernah mengeluh: “Aduh (sakitnya) kepalaku!” Lalu Rasūlullāh s.a.w. berujar: “Kalau ketika hal itu terjadi aku masih hidup, niscaya aku akan memintakan ampun untukmu dan mendoakan bagimu!” Lantas ‘Ā’isyah mengatakan: “Duhai malangnya, demi Allah, aku berprasangka engkau menyukai kematianku. Kalaulah benar demikian, lebih baik akhir-akhir harimu engkau habiskan sebagai pengantin di rumah salah seorang istrimu.” Lalu Rasūlullāh s.a.w. menyahut: “Bahkan aku, aduh sakitnya kepalaku! Aku berkeinginan sekali untuk mengutus utusan kepada Abū Bakar dan anaknya dan mewasiatkan (kekhalifahan kepadanya), (karena aku tidak suka) orang-orang berkata (khilafah untukku atau untuk fulan) atau (karena khawatir) orang-orang mengangan-angankannya, kemudian aku katakan: “Allah enggan (kekhalifahan untuk selain Abū Bakar), dan orang-orang mu’min menolak (selain dia),” atau dengan redaksi: “Allah menolak (selain dia) dan orang-orang mu’min enggan (kekhalifahan untuk selain Abū Bakar)”.” (85).

Di antara hadits yang diriwayatkan oleh Nāfi‘, maula ‘Abdullāh bin ‘Umar dari al-Qāsim bin Muḥammad, dari ‘Ā’isyah r.a. bahwa apabila Nabi s.a.w. melihat hujan beliau berdoa:

اللهُمَّ صَيِّبًا هَيِّنًا

Ya Allah, curahkanlah hujan yang menenangkan.

Atau beliau membaca:

اللهُمَّ صَيِّبًا هَنِيْئًا

Ya Allah, curahkanlah hujan yang mensejahterakankan.

Begitupun tentang wanita, telah diriwayatkan sebuah hadits al-Qāsim dari ‘Ā’isyah r.a. bahwa Nabi s.a.w. pernah bersabda:

أَعْظَمُ النِّسَاءِ بَرَكَةً أَيْسَرُهُنَّ مَؤُوْنَةً

Wanita yang paling besar berkahnya adalah yang paling ringan maharnya.” (96).

Di antara penyendirian al-Qāsim dalam periwayatan hadits adalah apa yang diriwayatkan al-Qāsim bin Muḥammad dari ‘Ā’isyah r.a., dia berkata: “Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Tahukah kalian, siapakah orang-orang yang terlebih dahulu berada dalam naungan Allah ‘azza wa jalla pada hari Kiamat?” Para sahabat berkata: “Allah dan Rasūl-Nya lebih tahu.” Rasūlullāh s.a.w. pun bersabda: “Yaitu orang-orang yang jika diberi kebenaran mereka menerimanya dan jika diminta untuk menegakkan kebenaran mereka mencurahkan segenap kemampuan karenanya, dan mereka menghukumi manusia sebagaimana mereka menghukumi diri mereka sendiri.” (107).

Inilah gambaran sekilas dari riwayat-riwayat paling masyhur dari ahli fikih Madīnah, Syaikh al-Qāsim bin Muḥammad bin Abī Bakar ash-Shiddīq, akan tetapi dia berpaling dari tafsir al-Qur’ān atau menentang untuk menafsirkannya. Dia termasuk penghafal kitab Allah yang senior, akan tetapi dia sangat keras seperti Ibnu ‘Umar dan tidak menempuh jalan Ibnu ‘Abbās dalam hal ini.

Sebagaimana yang pernah kami sebutkan bahwa dia menjauhkan diri dari periwayatan hadits mursal dan menyukai ketelitian dalam hal itu. Salah seorang sahabatnya (118) yang bernama ‘Abdullāh bin al-‘Alā telah menyebutkan makna ungkapan ini ketika dia berkata: “Aku pernah meminta al-Qāsim agar mendiktekan beberapa hadits kepadaku, namun dia menolaknya pada zaman ‘Umar, maka ‘Umar pun meminta orang-orang untuk mendatanginya dengan membawa hadits-hadits itu, ketika mereka mendatanginya dia pun memerintahkan mereka untuk merobeknya, kemudian dia berkata: “Ini adalah matsnāt seperti matsnāt ahli kitab.” (129)

Matsnāt adalah kitab yang ditulis oleh para pendeta Bani Isrā’īl setelah wafatnya Mūsā a.s. tentang kejadian yang berlaku di antara mereka sesuai dengan apa yang mereka inginkan di luar kitab suci yang ada pada mereka. Matsnāt ini mereka tulis berdasarkan hawa nafsu mereka dan sama sekali tidak dinukil dari Mūsā a.s.

Demikianlah laki-laki ini bersikap hati-hati terhadap dirinya sendiri dari segala keraguan yang mungkin ada pada setiap riwayat yang dinisbatkan kepada Rasūlullāh s.a.w., dia adalah seorang ahli hadits yang tepercaya (tsiqqah) dan kemampuannya yang tiada bandingnya dalam hal pemikiran dan metode ilmiahnya.

Tahun demi tahun berjalan terus-menerus hingga kondisi fisik al-Qāsim terasa menjadi melemah, matanya tak bisa lagi melihat, dia pun menjadi seorang lelaki tua. Al-Qāsim telah diberi umur yang cukup panjang hampir mencapai tujuh puluh dua tahun.

Dia melaksanakan ibadah haji setiap tahun, majelisnya sangat terkenal dan berkibar di kota Madīnah, murid-muridnya mendapatkan ilmu yang bermanfaat darinya, dia menjadi seorang ulama yang menyinari rumah ash-Shiddīq pada era tabi‘in, dia bersikap rendah hati dengan ilmunya dan tepercaya periwayatannya, dia tidak berhenti mencari dan mengoreksi berbagai riwayat hadits, dia adalah seorang ulama yang berpikiran cemerlang, namun pemahamannya terhadap atsar tetap terjaga. Dia telah mengambil atsar dari para sahabat dan tabi‘in tepercaya. Maka riwayat siapakah yang lebih kuat selain riwayat ‘Ā’isyah? Siapakah orang yang paling terpandang dalam hal periwayatannya selain Abū Hurairah, Ibnu ‘Umar, dan para sahabat lainnya?

Sepanjang tahun dia mendapatkan penghormatan luar biasa dari para penguasa Bani Umayyah yang memang sangat memuliakan para ulama kota Madīnah pada zamannya, dan ‘Umar bin ‘Abd-il-‘Azīz adalah orang yang paling mengenali terhadap ilmu al-Qāsim dan para sahabatnya, demikian pula terhadap Sālim bin ‘Abdullāh bin ‘Umar yang merupakan putra dari bibi (dari pihak ibu) al-Qāsim, sebab Ummu Sālim adalah putri kaisar Yazdajird, raja Persia. Dia adalah salah seorang dari tiga putri Yazdajird yang dibeli oleh ‘Alī bin Abī Thālib r.a., lalu kepada mereka ditawarkan sekelompok pemuda kaum muslimin, maka putri pertama memilih al-Ḥusain bin ‘Alī, cucu Rasūlullāh s.a.w. dan dari keduanya lahirlah Zain-ul-‘Ābidīn.

Putri kedua memilih Muḥammad bin Abī Bakar ash-Shiddīq r.a., dan dari keduanya lahirlah guru kita al-Qāsim bin Muḥammad bin Abī Bakar ash-Shiddīq. Sedangkan putri ketiga memilih ‘Abdullāh bin ‘Umar, dan dari keduanya lahirlah Sālim cucu ‘Umar bin al-Khaththāb r.a., orang yang mendapat kemuliaan paling banyak di antara mereka.

Ketika ‘Umar bin ‘Abd-il-‘Azīz menjadi gubernur Madīnah, dia senantiasa bermusyawarah dengan mereka, dia tidak pernah mengambil suatu keputusan pun tanpa bermusyawarah terlebih dahulu dengan para ulama tersebut. Oleh karenanya, sepanjang hidup hingga akhir hayatnya al-Qāsim selalu dihormati, dia pun memiliki kedudukan yang sangat terkenal di majelis para ulama. Dia merupakan salah satu dari tujuh ahli fikih Madinah yang sangat terkenal. Semoga Allah meridhai mereka semua.

Pada usia tujuh puluh dua tahun, dia berniat untuk melaksanakan ibadah haji, padahal kondisi fisiknya sudah melemah, dia membebani diri dengan perbuatan di luar batas kemampuan dirinya. Dia pun menunggangi untanya dari Madīnah menuju Makkah sambil melafalkan talbiya, kalimat tasbih yang diucapkannya sungguh memenuhi ufuk. Dia memotong jalan panjang ke arah selatan menuju Makkah. Sementara itu, salah seorang putranya mengikutinya dari belakang sambil terus mengucapkan kalimat tasbih. Terkadang dalam perjalanannya dia ditemani kenangan ayah dan sang kakek Abū Bakar ash-Shiddīq yang berjalan kaki saat berhijrah menyusuri jalan ini ketika menemani Rasūlullāh s.a.w.

Dalam perjalanannya, al-Qāsim merasa bahwa ajalnya kian mendekat, dia pun merasa tak sanggup lagi untuk melanjutkan perjalanan menuju Makkah. Laki-laki ini berusaha mencari sorban putihnya ketika tiba-tiba dia merasakan sakit pada bagian kepalanya, maka dia pun berdoa kepada Tuhannya dan beristighfar. Kemudian dia mencari janggutnya yang berwarna kuning yang dicat dengan pohon pacar pada tahun-tahun terakhir dari akhir kehidupannya, lalu dia menoleh ke arah putranya seraya berkata: “Anakku, jika aku mati, kafanilah aku dengan pakaianku yang aku gunakan untuk shalat; baju gamisku, jubahku, dan selendangku, itulah kafan yang digunakan oleh kakekmu Abū Bakar. Ratakanlah kuburanku, kemudian susulkanlah keluargamu. Janganlah kalian berdiri di atas kuburanku dan janganlah kalian mengatakan dahulu dia begini dan begitu, sebab aku bukanlah apa-apa.

Sungguh, engkau adalah salah seorang ahli fikih yang agung di antara tujuh ahli fikih Madīnah, wahai laki-laki. Sungguh, al-Qāsim telah meninggal dan ruhnya yang suci telah naik ke langit. Ketika malam hari itu datang, kota Rasūlullāh s.a.w. pun menjadi sunyi, di jalanan kota itu kita tidak mendengar kecuali suara orang-orang yang sedang berzikir kepada Allah. Sementara itu, dari kejauhan sana, tepatnya di wilayah Qadīd, tempat al-Qāsim dimakamkan terdengar suara yang megulang-ulang firman Allah:

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ. ارْجِعِيْ إِلى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً. فَادْخُلِيْ فِيْ عِبَادِيْ. وَ ادْخُلِيْ جَنَّتِيْ

Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.

(al-Fajr: 27-30).

Maha Benar Allah Yang Maha Agung.

 

Catatan:


  1. 4). Lihat Siyaru A‘lām-in-Nubalā’ dengan komentar yang terdapat pada footnotenya, V/56. 
  2. 5). Siyaru A‘lām-in-Nubalā’, V/57. 
  3. 6). Al-Ḥilyah, Abū Nu‘aim al-Ashfahānī, II/184. 
  4. 7). Āli ‘Imrān: 7. 
  5. 8). Disampaikan oleh Abu Nu‘aim dalam Al-Ḥilyah, II/185-186. 
  6. 9). HR. Aḥmad bin Ḥanbal. 
  7. 10). HR. Aḥmad bin Ḥanbal dari Yaḥyā bin Isḥāq dalam Musnad-nya. 
  8. 11). Siyaru A‘lām-in-Nubalā’, V/58. 
  9. 12). Ibid. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *