Hati Senang

1-4-0 Al-Qasim Bin Muhammad Bin Abi Bakar – Kisah Para Tabi’in

KISAH PARA TĀBI‘ĪN
Judul Asli: ‘Ashr-ut-Tābi‘īn
Penulis Abdul-Mun‘im al-Hasyimi


Alih Bahasa: Faqih Fatwa
Penerbit: UMMUL QURA

AL-QĀSIM BIN MUḤAMMAD BIN ABĪ BAKAR

(Cucu Abū Bakar ash-Shiddīq yang Paling Mirip dengan Kakeknya)

 

Gambaran Global.

“Aku tidak melihat seorang pun yang lebih mengetahui tentang as-Sunnah daripada al-Qāsim bin Muḥammad. Seseorang tidak dianggap sebagai laki-laki sejati hingga dia mengetahui as-Sunnah, dan aku tidak melihat seorang pun yang lebih tajam akalnya daripada al-Qāsim.”Ibnu Abiz-Zinād.

Lihatlah bagaimana seorang ulama yang dididik oleh ‘Ā’isyah Umm-ul-Mu’minīn binti Abī Bakar ash-Shiddīq!? Sementara itu ibunya adalah putri dari raja Persia yang terakhir. Dia tumbuh sebagai anak yatim tanpa kehadiran orang ayah, Muḥammad putra khalifah Rasūlullāh s.a.w., Abū Bakar ash-Shiddīq r.a. Berikutnya anak yatim ini menjadi salah seorang ahli fikih terbaik di kota Madīnah sehingga mereka dikenal sebagai tujuh ahli fikih karena keutamaan para ulama yang mereka miliki, mereka berpendirian teguh dan memberikan fatwa dengan baik. Ra’yu merupakan syiar mereka setelah Kitāb Allah, sunnah Rasūl-Nya, dan apa yang disampaikan melalui lisan para sahabat yang mulia ridhwānullāhi ‘alaihim.

Sungguh, al-Qāsim bin Muḥammad bin Abī Bakar ash-Shiddīq telah mendapatkan kemuliaan karena menjadi bagian dari tujuh ahli fikih Madīnah. Dia termasuk orang yang mengikuti para sahabat dengan sebaik-baiknya selama hampir tujuh puluh dua tahun sepanjang hidupnya, perjalanan hidupnya pun selalu dikenang segala kebaikan dan pengetahuannya hingga hari Pembalasan.

Apakah kita ingin mendengar awal mula anak yatim ini tinggal di Madīnah melalui lisannya sendiri yang menceritakan tentang masa kanak-kanaknya dan bagaimana ia dimulai? Cucu kekasih sekaligus sahabat Rasūlullāh s.a.w. al-Qāsim bin Muḥammad bin Abī Bakar menuturkan: “Ketika ayahku terbunuh di Mesir, pamanku ‘Abd-ur-Raḥmān bin Abī Bakar datang menemuiku lalu membawaku dan adik perempuanku pergi ke kota Madīnah. Sesaat setelah kami tiba di sana, bibiku ‘Ā’isyah r.a. mengutus seseorang kepada kami lalu membawa kami dari rumah pamanku ke rumahnya, dia pun mendidik kami dalam pengasuhannya. Sungguh aku tidak pernah melihat seorang ibu atau pun ayah yang lebih bersikap baik dan lebih penyayang daripadanya. Dia menyuapi kami dengang tangannya, dia tidak ikut makan bersama kami, dan apabila ada sedikit makanan kami yang tersisa dia pun memakannya. Dia sangat menyayangi kami seperti sayangnya seorang ibu menyusui terhadap anak yang disapihnya, dia memandikan badan kami, menyisir rambut kami, dan memakaikan kami pakaian yang putih bersih. Dia tidak pernah berhenti menganjurkan kami terhadap kebaikan dan membiasakan kami untuk melakukannya, dia melarang kami dari keburukan dan membawa kami untuk meninggalkannya.

Dia mendiktekan kepada kami apa yang dapat kami hafalkan dari kitab Allah, dan meriwayatkan kepada kami apa yang dapat kami pahami dari hadits Rasūlullāh s.a.w. Pada dua hari raya bertambahlah kebaikan dan hadiahnya untuk kami. Di sore hari ‘Arafah dia mencukur rambutku, memandikan aku dan adik perempuanku. Apabila pagi telah tiba, dia pun memakaikan baju baru kepada kami, lalu mengutus orang membawa kami ke masjid untuk menunaikan shalai ‘Īd-ul-Adhḥā. Ketika kami kembali, dia lantas mengumpulkan aku dan adik perempuanku lalu memotong hewan kurban di hadapan kami.

Pada suatu hari, pamanku ‘Abd-ur-Raḥmān bin Abī Bakar datang, ketika itu aku dan adik perempuanku sedang duduk di pangkuan bibiku ‘Ā’isyah, lalu bibiku berkata: “Wahai saudaraku, aku masih saja melihatmu berpaling dariku sejak kedua anak ini aku ambil darimu dan aku dekap dalam pelukanku. Demi Allah, aku melakukan hal itu bukan karena merasa lebih tinggi darimu, bukan karena berburuk-sangka kepadamu, dan bukan bermaksud menuduhmu lalai terhadap hak mereka berdua. Akan tetapi, engkau adalah seorang laki-laki yang memiliki banyak istri. Sedangkan mereka berdua adalah anak kecil yang belum mampu mengurusi diri mereka sendiri, maka aku khawatir jika keduanya tidak disukai dan tidak sedap dalam pandangan istri-istrimu. Sehingga aku merasa lebih berhak untuk memenuhi hak keduanya dalam kondisi seperti ini. Nah, kini keduanya telah tumbuh besar dan telah mampu untuk mengurusi diri mereka sendiri. Maka, ambillah keduanya dan bawalah mereka tinggal bersamamu”.” Syaikh al-Qāsim pun melanjutkan kisahnya, dia menuturkan: “Lalu pamanku, ‘Abd-ur-Raḥmān, membawa kami dan menempatkan kami di rumahnya.”

Paman yang mulia ini pun selalu berusaha untuk memuliakan keponakan dari saudaranya, Muḥammad, hingga keduanya tumbuh dewasa di rumah yang diliputi ketaqwaan, kekhusyukan. Dan keislaman dalam pondasi-pondasinya yang berasal dari generasi terbaik, yaitu generasi Rasūlullāh s.a.w. Kendati paman yang penyayang dan murah hati ini telah membawa al-Qāsim selalu dari bibinya, Umm-ul-Mu’minīn ‘Ā’isyah r.a., namun hati al-Qāsim selalu saja bergantung kepada bibinya. Dia sangat dekat dengannya dan sangat menyayanginya, bahkan setiap kali dia meminta sesuatu darinya, dia selalu mengatakan: “Wahai ibuku,” atau mengatakan: “Ibuku ‘Ā’isyah pernah berkata kepadaku.” Dia juga pernah mengatakan tentangnya: “Aku tidak pernah melihat seorang laki-laki atau perempuan pun yang berbicara sebelumnya dan tidak pula setelahnya yang lebih fasih lisannya dan lebih manis tutur katanya daripada ibunda ‘Ā’isyah.”

Saat pemuda ini tumbuh dewasa, dia telah hafal kitab Allah yang mulia, bagaimana mungkin dia tidak menghafalnya sedangkan kakeknya adalah orang pertama yang menghafalkannya dari lisan Rasūlullāh s.a.w. langsung setelah diturunkannya wahyu kepada beliau. Dia juga mengambil hadits Rasūlullāh s.a.w. dari bibinya yang disebut dengan “‘ilm-ul-mahdi” yaitu ilmu yang paling melekat hingga akal pemuda ini benar-benar siap untuk menerima ilmu serta bersungguh-sungguh dalam mempelajari dan memahaminya.

Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.