1-3 Petualangan Cilik – Biografi Imam Syafi’i

Biografi IMĀM SYĀFI‘Ī
(Judul Asli: Silsilat al-Aimmah al-Mushawwarah (2): al-Imām al-Syāfi‘ī)
Oleh: Dr. Tariq Suwaidan

Penerjemah: Iman Firdaus Lc. Q. 16
Penerbit: Zaman

Bab 3

PERTUALANGAN CILIK

 

1. SYĀFI‘Ī DI DUSUN

Saat semangat dan kegigihannya masih kuat di waktu kecil, Syāfi‘ī mulai mendalami bahasa ‘Arab untuk menghindari kesalahan-kesalahan dalam melafalkannya. Kala itu kesalahan dalam pelafalan banyak dialami orang ‘Arab akibat percampuran mereka dengan bangsa-bangsa non-‘Arab, khususnya terjadi di kota-kota besar. Selain itu, motivasi Syāfi‘ī mendalami bahasa ‘Arab adalah keyakinannya bahwa bahasa adalah kunci ilmu pengetahuan.

Cara terbaik untuk mempelajari bahasa ‘Arab, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w., adalah dengan mempelajari ilmu balāghah terlebih dahulu. Rasulullah pernah diasuh di perkampungan Bani Sa‘ad yang merupakan suku ‘Arab terfasih di zamannya. Demikian pula halnya Syāfi‘ī: ia memilih tinggal di dusun kaum Ḥudzail, kaum yang terkenal memiliki jati diri kearaban yang kuat dan mahir di bidang ilmu bayān dan syair.

Kaum Ḥudzail adalah suku ‘Arab yang paling fasih dan andal di bidang syair. Mereka banyak memiliki karya syair yang berkualitas tinggi. Semuanya bernuansa romantis dan menyentuh. Syāfi‘ī menetap di tengah kaum Ḥudzail untuk belajar bahasa dan sejarah ‘Arab. Di sana ia juga mempelajari ilmu nasab dan syair selama tujuh belas tahun (ada yang berpendapat sepuluh tahun).

 

Menghafal Syair dan Sejarah

Tentang hal ini, Syāfi‘ī bertutur: “Aku mengembara ke Makkah. Di sana aku menetap di dusun Bani Ḥudzail untuk mempelajari bahasa dan adat istiadat mereka. Bani Ḥudzail adalah suku ‘Arab yang bahasanya paling fasih. Aku selalu turut serta dalam setiap pengembaraan mereka, ke mana saja. Ketika kembali ke Makkah, aku pun mulai mahir melantunkan syair-syair, mengurut nasab-nasab, dan menyampaikan sejarah atau berita-berita bangsa terdahulu.”

Seperti itulah Syāfi‘ī mempelajari berita-berita tentang ihwal orang-orang dusun dan menghafal syair-syairnya. Namun, Syāfi‘ī lebih memfokuskan perhatiannya pada syair-syair Ḥudzail hingga ia sangat mahir dalam hal itu. Bahkan al-Ashmu‘ī, perawi beragam peninggalan sastra Jahiliah dan Islam, mengakui kepiawaan Syāfi‘ī dalam hal itu. Ia menuturkan: “Aku men-tashḥīḥ syair-syair Ḥudzail di tangan seorang pemuda Quraisy, Muḥammad ibn Idrīs.”

 

Bahasa ‘Arab adalah kunci segala ilmu. Penguasaannya dapat membantu menguasai ilmu lain. Oleh karena itu, Syāfi‘ī memilih tinggal di dusun Bani Ḥudzail, suku ‘Arab paling fasih bahasanya. Di sana ia menghafal syair-syairnya, mempelajari sejarah, dan kesasteraannya.

 

2. LATIHAN MILITER

Di dusun, Syāfi‘ī tidak hanya belajar sejarah, sastra, dan menghafal syair-syair. Ia juga mempelajari tradisi dan adat istiadat mereka yang dianggapnya baik, khususnya di bidang ketangkasan perang. Di dusun Ḥudzail, Syāfi‘ī belajar teknik memanah dan ia sangat menyukainya hingga sangat piawai dalam melakukannya. Bahkan, jika Syāfi‘ī melesatkan sepuluh anak panah, tak satu pun dari anak panah tersebut yang meleset dari sasaran.

Diriwayatkan bahwa Syāfi‘ī pernah berkata kepada murid-muridnya: “Hobiku ada dua: memanah dan menuntut ilmu. Di bidang teknik memanah, aku sangat mahir. Setiap sepuluh anak panah yang ku luncurkan, semuanya tepat mengenai sasaran.” Namun di bidang ilmu, Syāfi‘ī terdiam. Lantas para hadirin berseru: “Demi Allah, di bidang ilmu, kemampuanmu lebih hebat dibandingkan kemampuanmu dalam memanah.”

 

Air Zamzam

Syāfi‘ī menuturkan: “Aku meminum air zamzam untuk tiga hal: pertama, untuk memanah. Tingkat ketepatanku dalam memanah mencapai sembilan puluh hingga seratus persen. Kedua, aku meminum zamzam untuk ilmu. Di bidang ini, aku seperti yang kalian saksikan. Ketiga, aku meminum zamzam untuk meraih surga.”

Syāfi‘ī juga pernah berkata: “Aku selalu berlatih memanah hingga seorang dokter pernah berkata kepadaku: “Aku khawatir kau terkena penyakit kulit karena kau terlalu sering berpanas-panasan di bawah terik matahari.”

 

Penunggang Kuda yang Tidak Tertandingi

Di antara keterampilan yang dipelajari dan diperdalam oleh Syāfi‘ī di dusun adalah teknik menunggang kuda. Tak heran jika Syāfi‘ī menjadi seorang penunggang kuda yang tak tertandingi. Al-Rabi‘ menuturkan: “Syāfi‘ī adalah orang yang paling berani dan paling mahir dalam menunggang kuda. Saat menunggang kuda, ia biasa memegang telinganya sendiri dengan satu tangan, sementara tangan yang satu lagi memegang telinga kudanya. Dan kuda itu terus berlari kencang.” Ini menunjukkan kemahiran Syāfi‘ī dalam menunggang kuda.

Itulah pendidikan awal yang didapat Syāfi‘ī. Tipe pendidikan ‘Arab ideal yang mesti didapat setiap pemuda pada waktu itu: menghafal al-Qur’an, mencari hadits, memperdalam bahasa, berlatih menunggang kuda, mendalami sejarah, dan mengikuti perkembangan orang-orang kota dan desa.

 

Jiwa yang menghendaki kemuliaan tidak akan pernah rela dengan kehinaan dan tidak puas dengan yang sedikit. Syāfi‘ī tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah ia pelajari, bahkan ia ingin menguasai teknik memanah dan menunggang kuda hingga ia menjadi piawai dan tak tertandingi dalam dua hal itu.

 

3. KEMBALI SEBAGAI SEORANG PENYAIR

Setelah menguasai ilmu bahasa, Syāfi‘ī pulang ke Makkah. Hafalan al-Qur’an dan kitab al-Muwaththa’-nya tetap ia jaga, tapi ia belum tergolong orang yang alim. Ia lebih dikenal sebagai penyair dan sastrawan. Ketika itu, para penyair dan sastrawan memiliki kedudukan yang cukup tinggi di kalangan orang ‘Arab. Syāfi‘ī memiliki majelis-majelis khusus untuk melantunkan syair-syairnya, menuturkan kisah-kisah, dan berita-berita ‘Arab, serta ragam sastranya. Banyak orang menyukai majelis-majelis seni sastra seperti ini. Sejak itulah mereka mulai sering berkumpul di sekeliling Syāfi‘ī.

 

Syāfi‘ī kembali ke Makkah sebagai sastrawan dan penyair. Tak pelak, banyak orang menghadiri majelis-majelis syairnya. Kala itu, keilmuan Syāfi‘ī di bidang agama belum menonjol.

 

4. SYĀFI‘Ī BERANGKAT KE MADINAH

Dalam perjalanannya ke Madinah, ada satu kisah menarik yang cukup terkenal. Kisah ini dituturkan sendiri oleh Syāfi‘ī seperti berikut:

“Setelah itu, aku pergi dari kota Makkah dan memilih tinggal di dusun Bani Ḥudzail. Di sana aku mempelajari bahasa dan adat istiadat mereka. Suku Ḥudzail adalah suku ‘Arab yang bahasanya paling fasih dan paling murni. Aku tinggal bersama mereka selama tujuh belas tahun. Aku biasa turut bepergian dengan mereka ke mana saja. Setelah kembali ke Makkah, aku sering melantunkan syair-syair dari Bani Zubair, keluarga pamanku, berkata kepadaku: “Wahai Abū ‘Abdillāh, aku sangat menyayangkan jika kefasihan bahasa dan kecerdasamu ini tidak disertai dengan ilmu fikih. Dengan fikih, kau akan memimpin semua generasi zamanmu.”

Aku lalu bertanya: “Kalau begitu, siapa yang harus ku tuju untuk belajar?”

“Mālik ibn Anas, pemuka kaum muslim,” jawabnya.

“Muncul keinginan untuk belajar fikih dalam hatiku. Aku pun segera mencari kitab al-Muwaththa’. Kitab itu akhirnya ku pinjam dari seseorang di Makkah. Aku langsung menghafalnya dalam sembilan malam. Setelah itu, aku berangkat menemui Gubernur Makkah. Darinya aku mengambil dua pucuk surat rekomendasi: satu ditujukan kepada Gubernur Madinah, yang satu ditujukan kepada Mālik ibn Anas.

Aku langsung berangkat menuju Madinah. Sampai di sana, ku antarkan surat itu kepada Gubernur. Setelah membaca isi surat tersebut, ia bergumam: “Perjalananku dari Madinah ke Makkah tanpa sandal ku rasa lebih ringan daripada aku harus mendatangi Mālik ibn Anas. Aku tidak berani, bahkan untuk berdiri di depan pintu rumahnya.” Gubernur Madinah merasa rendah di hadapan imam kaum muslim, Mālik ibn Anas.

Aku lalu berkata kepadanya: “Semoga Allah memperbaiki kondisi Baginda! Sudilah kiranya Baginda mengirim surat untuk memanggil Imām Mālik?”

Gubernur menjawab: “Mustahil! Sepertinya, untuk mendapatkan apa yang kami inginkan, aku dan orang-orangku harus diterpa debu terlebih dahulu agar bisa diterima di tempat Imām Mālik.” Menurut Gubernur, Imām Mālik mungkin akan terketuk hatinya saat melihat gubernur dan para pengawalnya berjalan kaki ke tempatnya.

Syāfi‘ī melanjutkan: “Akhirnya kami berjanji untuk berkumpul selepas shalat ‘Ashar. Kami berangkat bersama-sama menuju kediaman Imām Mālik. Apa yang dikatakan gubernur benar. Di tengah jalan kami diterpa debu. Setibanya di sana, salah seorang dari kami maju ke depan pintu dan mengetuknya. Seorang budak perempuan hitam keluar dari dalam.

Gubernur berkata kepadanya: “Katakan kepada tuanmu, aku ada di depan pintunya!” Budak itu pun masuk, agak lama, kemudian ia keluar lagi.

Ia berkata: “Tuanku menyampaikan salam kepadamu. Ia berpesan, jika engkau ada satu pertanyaan, tulislah pertanyaanmu, dan ia kan memberikan jawabannya. Jika engkau datang untuk meminta hadits Rasulullah maka engkau pun sudah tahu jadwal majelisnya. Datanglah ke majelis itu pada waktunya!”

Gubernur itu berkata kepada si budak: “Katakan padanya, aku membawa surat dari Gubernur Makkah untuknya. Isinya sangat penting!”

Budak itu lalu masuk dan membawakan satu kursi. Ia mempersilakan Gubernur untuk duduk. Setelah itu Mālik keluar. Penampilannya sangat gagah dan berwibawa. Ia adalah orang tua yang berpostur tinggi dan berjenggot lebat. Ia lantas duduk.

Setelah itu Gubernur menyampaikan surat kepadanya. Mālik pun membacanya. Ketika ia sampai pada paragraf: Ini adalah seorang laki-laki yang sangat berbakat…. Ajari ia hadits dan lakukan apa saja terhadapnya …. (Dalam surat itu tercatat pesan Gubernur Makkah agar Imām Mālik sudi mengajari Syāfi‘ī). Imām Mālik pun melemparkan surat tersebut. Ia marah dan berkata: “Subḥānallāh, apakah ilmu Rasulullah dipelajari dengan perantaraan seperti ini?”

Syāfi‘ī kembali menuturkan: “Aku melihat Gubernur ketakutan dan tak kuasa berbicara dengannya. Aku pun maju dan memberanikan diri untuk berbicara. Kukatakan kepadanya: “Semoga Allah memperbaiki keadaanmu. Aku ini seorang dari Bani Muththalib….” Aku pun lantas menjelaskan latar belakangku dan tujuanku dalam menuntut ilmu.

Setelah mendengar penuturanku, Imām Mālik memandangi aku. Ia memendam firasat khusus tentang aku.

“Siapa namamu?” tanyanya kepadaku.

“Muḥammad,” jawabku.

Ia lalu berkata: “Muḥammad, bertakwalah kepada Allah dan jauhi maksiat. Karena, kelak kau menjadi orang besar. Allah telah menurunkan cahaya di hatimu maka jangan kau padamkan cahaya itu dengan maksiat. Esok, datanglah kemari!”

Syāfi‘ī melanjutkan: “Di pagi hari, aku datang ke tempatnya. Aku mulai membaca kitab al-Muwaththa’ di hadapannya, sementara kitab tersebut ku pegang. Sesekali ku perhatikan Mālik, dan aku menghentikan bacaanku. Ia kagum akan bacaan dan kemampuanku meng-i‘rāb (mengeja kata-kata secara gramatikal) kata perkata.

Kemudian Imām Mālik berkata kepadaku: “Tambah lagi, wahai anak muda!”

Aku pun melanjutkan bacaanku hingga aku berhasil merampungkan kitab al-Muwaththa’ dalam beberapa hari saja. Sejak itu, aku tinggal di Madinah sampai Mālik ibn Anas wafat.”

 

Syāfi‘ī bertekad menuntut ilmu fikih ke tempat Mālik ibn Anas dengan petunjuk seorang keluarga pamannya. Ia pergi ke Madinah al-Munawwarah dan tinggal di kediaman Imām Mālik sampai Mālik wafat. Ia menuntut ilmu langsung dari Mālik dan membaca kitab al-Muwaththa’ di hadapannya.

 

5. MURID IMĀM MĀLIK

Syāfi‘ī berguru langsung kepada syaikh para ahli fikih, bahkan ulama kaum muslim terbesar di zamannya, yaitu Imām Mālik. Ia tumbuh di bawah bimbingannya, memperdalam ilmu fikih, dan mempelajari masalah-masalah yang telah difatwakan olehnya. Ketika itu, usia Syāfi‘ī telah matang.

Selama tinggal bersama Mālik, sesekali Syāfi‘ī melakukan perjalanan ke negeri-negeri Islam untuk mencari ilmu, mempelajari adat istiadat penduduknya, serta mendalami sejarah dan kondisi sosial mereka. Ia juga sering pergi ke Makkah untuk menjenguk ibunya dan meminta nasihat darinya. Ibunda Syāfi‘ī merupakan sosok muslimah yang mulia dan berakhlak tinggi. Ia sangat memahami kondisi Syāfi‘ī yang sibuk menuntut ilmu. Masa belajar Syāfi‘ī di tempat Imām Mālik tidak menghambatnya untuk mengembara dan mencari pengalaman pribadi dari berbagai pelosok negeri.

Syāfi‘ī orang yang cerdas, tanggap, dan mudah menghafal. Ia banyak menimba ilmu dari Imām Mālik, selain dari ulama-ulama yang lain. Yang membuat Syāfi‘ī cepat menguasai ilmu fikih dan mengalahkan orang-orang di zamannya adalah dua hal: kecerdasan dan kemampuan hafalannya yang luar biasa, serta tingkat kefasihan dan kemahirannya dalam bahasa.

 

Kecerdasan dan kemampuan menghafal Syāfi‘ī disertai kefasihan bahasanya membuat Syāfi‘ī mengungguli teman-temannya di bidang ilmu dan fikih. Ia banyak mendapatkan ilmu dan sastra dari Imām Mālik, selain dari ulama-ulama lainnya.

 

Manfaat Pengembaraan

Syāfi‘ī sangat menganjurkan mengembara dan menuntut ilmu. Tentang hal ini ia menulis syair:

Orang yang berakal dan berbudaya takkan tenang berdiam di satu tempat

Karena itu, tinggalkanlah kampung halaman dan mengembaralah!

Pergilah, niscaya kau akan menemukan ganti dari orang yang kau tinggalkan

Dan berusahalah karena kenikmatan hidup ada dalam usaha

Aku melihat genangan air dapat merusak air tersebut

Sekiranya air itu mengalir, niscaya ia menjadi baik, jika ia diam maka ia menjadi rusak

Seekor singa, jika tidak meninggalkan hutan, ia tidak akan menjadi buas

Anak panah, jika tidak meninggalkan busur, ia tidak akan mengenai sasaran

Jika matahari selamanya tetap pada orbitnya

Niscaya orang ‘Arab dan non-‘Arab akan bosan melihatnya

Emas itu seperti tanah jika dibiarkan di tempat aslinya

Dahan yang jatuh ke tanah hanya akan menjadi kayu bakar

Jika seseorang mengembara maka pencariannya akan mulia

Jika ia mengembara maka ia akan mulia seperti emas.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *