1-3 Mush’ab Bin ‘Umair – Biografi 60 Sahabat Nabi

BIOGRAFI 60 SAHABAT NABI
(Judul Asli: Rijalun haular-Rasul)
Penulis: Khalid Muhammad Khalid

Alih Bahasa: Agus Irawan
Penerbit: UMMUL QURA

Rangkaian Pos: Mush'ab Bin 'Umair - Biografi 60 Sahabat Nabi

ORANG-ORANG MULIA DI SISI RASULULLAH s.a.w.

 

MUSH‘AB BIN ‘UMAIR

(Bagian 3)

Data Islam Pertama

 

Hari berganti hari dan tahun demi tahun terus berjalan hingga tiba waktu Rasulullah s.a.w. bersama para sahabat beliau hijrah ke Madinah. Orang-orang Quraisy semakin terbakar oleh dendam. Mereka menyiapkan segala yang diperlukan untuk melanjutkan tindak kezaliman terhadap hamba-hamba Allah yang saleh. Perang Badar meletus dan kaum Quraisy pun harus menelan pil pahit yang menghabiskan sisa-sisa pikiran sehat mereka, hingga mereka berusaha untuk menuntut balas.

Setelah itu Perang Uhud menjelang dan kaum muslimin pun bersiap-siap mengatur barisan. Rasulullah s.a.w. berdiri di tengah barisan itu, menatap setiap wajah orang beriman, untuk memilih siapa di antara mereka yang berhak membawa bendera perang. Beliau pun memanggil “Mush‘ab Yang Baik”, dan akhirnya ia tampil sebagai pembawa panji perang kaum muslimin.

Peperangan berkobar dan berkecamuk dengan sengitnya. Namun, sayang, pasukan pemanah melanggar perintah Rasulullah s.a.w. Mereka meninggalkan posisinya di puncak bukit setelah melihat orang-orang musyrik mundur dan menderita kekalahan. Perbuatan mereka itu secepatnya mengubah suasana, hingga kemenangan kaum muslimin beralih menjadi kekalahan. Pasukan kaum muslimin dikagetkan oleh serangan balik pasukan berkuda Quraisy yang menyatroni mereka dari puncak bukit. Mereka diserang saat dalam keadaan lengah dengan pedang-pedang yang haus darah dan mengamuk bagai orang gila.

Ketika musuh melihat barisan kaum muslimin porak-poranda, mereka pun mengalihkan serangan ke arah Rasulullah s.a.w. untuk membunuh beliau. Mush‘ab bin ‘Umair menyadari ancaman yang berbahaya tersebut. Dia pun mengangkat panji perang setinggi-tingginya dan bagaikan raungan singa ia bertakbir sekeras-kerasnya. Ia berjalan ke depan, melompat, mengelak dan berputar lalu menerkam. Ia memfokuskan semua upaya untuk menarik perhatian musuh kepadanya dan melupakan Rasulullah s.a.w. Ia bertahan sendirian bagaikan satuan pasukan.

Sungguh, walaupun seorang diri, Mush‘ab bertempur laksana pasukan tentara besar. Sebelah tangannya memegang bendera bagaikan tameng kesaktian, sedangkan yang sebelah lagi menebaskan pedang dengan matanya yang tajam. Tetapi, musuh kian bertambah banyak, mereka hendak menyeberang dengan menginjak-injak tubuhnya untuk mencapai posisi Rasulullah s.a.w.

Sekarang marilah kita perhatikan saksi mata yang akan menceritakan saat-saat terakhir dalam kehidupan Mush‘ab bin ‘Umair. Ibnu Sa‘ad menuturkan: “Ibrahim bin Muhammad bin Syurahbil al-Abdari menceritakan kepada kami dari ayahnya yang berkata:

Mush‘ab bin ‘Umair adalah pembawa bendera di Perang Uhud. Tatkala barisan kaum muslimin kocar-kacir, Mush‘ab tetap bertahan pada posisinya. Ibnu Qami‘ah datang berkuda, lalu menebas tangan kanannya hingga putus. Mush‘ab mengucapkan: “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang utusan, yang sebelumnya telah didahului oleh beberapa utusan.” Kini ia memegang bendera dengan tangan kirinya sambil membungkuk melindunginya. Musuh pun menebas tangan kirinya itu hingga putus pula.

Mush‘ab membungkuk ke arah bendera, lalu dengan kedua pangkal lengan, ia mendekap bendera ke dada sambil mengucapkan: “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang utusan, yang sebelumnya telah didahului oleh beberapa utusan.” Musuh menyerangnya kembali dengan tombak, dan menusukkannya hingga patah. Mush‘ab akhirnya gugur, dan bendera perang pun jatuh.” (11)

Mush‘ab gugur dan panji perang jatuh. Ia gugur sebagai bintang dan mahkota para syuhada. Hal itu dialaminya setelah mengarungi kancah pengorbanan dan keimanan dengan keberanian yang luar biasa. Saat itu Mush‘ab yakin bahwa sekiranya ia gugur, tentu jalan para pembunuh akan terbuka lebar menuju Rasulullah s.a.w. tanpa ada pembela yang akan melindungi beliau.

Karena cintanya yang tiada terbatas kepada Rasulullah s.a.w., dan cemas memikirkan nasib beliau bila seandainya ia gugur, maka setiap sabetan pedang menebas tangannya, ia mengucapkan: “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang utusan, yang sebelumnya telah didahului oleh beberapa utusan.” Kalimat yang kemudian dikukuhkan sebagai wahyu ini selalu diulang dan dibaca sampai selesai, hingga akhirnya menjadi ayat al-Qur’an yang selalu dibaca orang.

Setelah pertempuran sengit itu selesai, jasad pahlawan ulung yang syahid itu ditemukan dalam keadaan terbaring dengan wajah menelungkup ke tanah digenangi oleh darahnya yang mulia. Tubuh yang telah kaku itu seolah-olah masih khawatir bila menyaksikan Rasulullah s.a.w. ditimpa bencana, sehingga wajahnya disembunyikan agar tidak melihat peristiwa yang sangat tidak ia inginkan itu. Atau, mungkin juga ia merasa malu karena telah gugur sebelum hatinya tenteram oleh kepastian akan keselamatan Rasulullah s.a.w. sebelum ia selesai menunaikan tugasnya dalam membela dan mempertahankan Rasulullah s.a.w.

Wahai Mush‘ab, cukuplah Allah bagimu. Namamu harum semerbak dalam kehidupan.

Rasulullah s.a.w. bersama para sahabat meninjau medan pertempuran untuk menyampaikan kata perpisahan kepada para syuhada. Ketika sampai di tempat terbaringnya jasad Mush‘ab, air mata beliau mengucur deras. Khabbab bin al-Arat menuturkan: “Kami hijrah bersama Rasulullah s.a.w. dengan mengharap ridha Allah, maka Allah memberikan balasan kepada kami. Di antara kami ada yang meninggal dan belum mendapatkan balasan (dunia) sedikit pun; di antaranya adalah Mush‘ab bin ‘Umair yang gugur pada Perang Uhud.

Kami tidak mendapatkan sesuatu untuk mengafaninya kecuali sepotong kain. Jika kami menutup kepalanya, kedua kakinya tersingkap dan jika kami menutup kakinya, kepalanya tersingkap. Nabi s.a.w. bersabda: “Tutupilah kepalanya dengan kain (mantel) dan tutuplah kakinya dengan idzkhir (rumput berbau harum yang biasa digunakan dalam penguburan)”. (22).

Kepedihan yang mendalam memang dialami oleh Rasulullah atas terbunuhnya paman beliau, Hamzah, dan jasadnya dipotong-potong oleh orang-orang musyrik sedemikian rupa. Air mata beliau bercucuran dan hati beliau bergolak oleh duka. Medan pertempuran penuh dengan mayat para sahabat beliau yang masing-masing bagi beliau merupakan panji-panji ketulusan, kesucian dan cahaya. Namun, semua pemandangan yang menyedihkan itu tidak memalingkan Rasulullah s.a.w. untuk berhenti di dekat jasad duta beliau yang pertama, untuk melepaskan kepergiannya dan mengungkapkan duka belasungkawa.

Rasulullah s.a.w. berdiri di depan jasad Mush‘ab bin ‘Umair dengan pandangan mata yang penuh dengan cahaya kesetiaan dan kasih-sayang. Beliau membacakan ayat di hadapannya:

Dan di antara orang-orang mu’min itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. (al-Aḥzāb: 23).

Kemudian dengan penuh rasa iba beliau memandangi kain yang digunakan untuk menutupi jasadnya, seraya bersabda: “Ketika di Makkah dulu, tidak ada seorang pun yang aku lihat yang lebih halus pakaiannya dan lebih rapi rambutnya daripada dirimu. Namun, sekarang, engkau (gugur) dengan rambutmu yang kusut masai dan hanya dibalut sehelai kain.

Setelah itu, pandangan beliau tertuju ke medan pertempuran dengan pemandangan jasad syuhada rekan-rekan Mush‘ab yang tergeletak di atasnya, Rasulullah s.a.w. bersaba: “Sungguh, Rasulullah akan menjadi saksi pada hari kiamat nanti bahwa kalian semua adalah syuhada di sisi Allah.

Kemudian beliau berpaling ke arah sahabat yang masih hidup, dan bersabda: “Wahai manusia, berziarahlah dan berkunjunglah kepada mereka. Ucapkanlah salam untuk mereka. Demi Dzat yang jiwaku di Tangan-Nya, tiada seorang muslim pun yang mengucapkan salam kepada mereka sampai hari kiamat, kecuali mereka pasti membalas salamnya.

Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, wahai Mush‘ab.

Semoga keselamatan dilimpahkan kepada kalian, wahai para syuhada.

Semoga keselamatan, kerahmatan, dan keberkahan dilimpahkan kepada kalian semua.

Catatan:


  1. 1). Mush‘ab dibunuh oleh Ibnu Qami‘ah yang mengira Mush‘ab adalah Rasulullah. Lihat: Ibnu Hisyam II/73 dan Zādul Ma‘ād: II/97 – edt. 
  2. 2). Shaḥīḥ al-Bukhārī: II/579-584. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *