1-3 Mengenal Allah – ‘Aqa’iduna – Syaikh Makarim Syirazi

Inikah Keyakinan Kita?
Oleh: Nasir Makarim Syirazi
(Judul Asli: ‘Aqū’idunā)

Penerjemah: Toha al-Musawa
Penerbit: Penerbit al-Mu‘ammal

Diketik oleh: Zaidah Melani

Rangkaian Pos: 001 Mengenal Allah | 'Aqa'iduna - Syaikh Makarim Syirazi

Mukjizat Para Nabi Terwujud dengan Izin Allah SWT

Kita meyakini, tauḥīd af‘āl pun menguatkan hal ini; semua mukjizat yang dibawa para nabi terjadi dengan izin Allah SWT. Sebagaimana, tentang Nabi ‘Īsā A.S., al-Qur’ān berkata: Dan (ingatlah) waktu kamu menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak dengan izin-Ku, dan (ingatlah) ketika kamu mengeluarkan orang yang mati dari kubur (menjadi hidup) dengan izin-Ku…. (al-Mā’idah: 110)

Begitu pula, ketika menjelaskan tentang peristiwa yang berkaitan dengan salah satu wazir Nabi Sulaimān as, al-Qur’ān berkata:

Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari al-Kitāb, “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.” Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, dia pun berkata, “Ini termasuk karunia Tuhan-Ku.” (al-Naml: 40)

Oleh karena itu, tindakan penyembuhan penyakit yang tidak ada obatnya dan dihidupkannya kembali orang mati, yang dilakukan Nabi Isa as, semua itu berlangsung dengan izin Allah SWT. Dalam al-Qur’ān pun telah dijelaskan bahwa peristiwa itu merupakan perwujudan dari tauhid itu sendiri.

Para Malaikat Allah SWT

Kita meyakini tentang keberadaan para malaikat, dengan tugas mereka masing-masing. Sebagian bertugas menyampaikan wahyu kepada para nabi, sebagaimana tercantum dalam Surat al-Baqarah ayat ke-7. Sebagian bertugas menjaga amal perbuatan manusia, sebagaimana tercantum dalam surat Al-Infithār ayat ke-10. Sebagian bertugas mencabut nyawa, sebagaimana tercantum dalam surat al-A‘rāf ayat ke-37. Sebagian bertugas menolong orang mukmin, sebagaimana tercantum dalam surat Fushshilat ayat ke-30. Sebagian bertugas memberikan pertolongan kepada orang mukmin dalam peperangan, sebagaimana tercantum dalam surat al-Aḥzāb ayat ke-9. Sebagian bertugas membalas setimpal kaum yang semena-mena, sebagaimana tercantum dalam surat Hūd ayat ke-77. Dan tugas-tugas penting lainnya yang berkaitan dengan kejadian di alam semesta.

Tidak diragukan lagi, lantaran semua tugas ini dilaksanakan dengan izin Allah SWT dan dengan kuasa serta kehendak-Nya, maka semua itu tidak bertentangan dengan dasar tauḥīd perilaku Tuhan (af‘āl) dan tauḥīd rubūbiyyah, bahkan memperkuat apa yang telah disebutkan di atas.

Dengan demikian, jelaslah bahwa dikarenakan syafaat para nabi, para manusia suci, dan para malaikat serta sesuatu terwujud dengan izin Allah SWT. Semua tindakan itu tidak lain merupakan perwujudan dari tauhid itu sendiri, sebagaimana difirmankan Allah SWT:

Tiada seorang pun yang memberi syafaat kecuali dengan izin-Nya.(Yūnus: 3)

Lebih rinci tentang syafaat dan tawassul ini akan dikaji dalam pembahasan tentang pengutusan para nabi.

Ibadah Khusus untuk-Nya

Kita meyakini, ibadah hanyalah khusus untuk-Nya. Oleh karena itu, siapa saja beribadah kepada selain-Nya, ia terkena hukum sebagai musyrik. Begitu pula, dakwah seluruh Nabi bertumpu pada persoalan ini: sembahlah Allah SWT, tiada yang patut disembah selain Allah SWT.

Ungkapan seperti ini berkali-kali di singgung dalam al-Qur’ān, yang dinukil dari para nabi, sebagaimana tercantum dalam surat al-A‘rāf ayat ke-59, 65, 73, 85, dan sebagainya. Suatu hal yang menarik adalah bahwa kita, sebagai orang Islam, tatkala menunaikan ibadah sholat, pada saat membaca surat al-Fātiḥah, kita selalu mengulang ulang pesan tersebut, dengan mengatakan:

Hanya kepada-Mu kami menyembah, dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.(al-Fātiḥāh: 5)

Jelaslah, keyakinan terhadap syafaat para nabi dan para malaikat (harus disertai dengan keyakinan bahwa hal itu) hanya akan terwujud dengan izin dan perintah Allah SWT, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’ān. permintaan syafaat tidak mengandung pengertian bahwa itu merupakan ibadah kepada selain Allah SWT. Begitu pula bertawassul kepada para nabi, dengan tujuan meminta kepada mereka agar memohon kepada Allah SWT untuk mengabulkan permintaannya. Ini tidak dapat dianggap sebagai bentuk penyembahan dan ibadah, tidak juga bertentangan dengan tauhid dalam konteks “perilaku” Tuhan (tauḥīd af‘āl) atau tauhid dalam aspek peribadatan (tauḥīd fil ‘ibādah) yang akan dijelaskan dalam kajian tentang konsep kenabian.

Hakikat Dzāt Allah SWT yang Tersembunyi

Kita meyakini, walaupun kesan keberadaan Tuhan terwujud pada seluruh alam semesta, tetapi hakikat Dzāt-Nya tak seorang pun dapat mengetahui-Nya. Karena Dzāt-Nya tidak terbatas dari segala sisinya, sementara kita memiliki keterbatasan dari segala sisi. Dengan argumen semacam ini, mustahil bagi kita untuk dapat melingkupi-Nya. Ini sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’ān:

Ingatlah sesungguhnya Dia melingkupi segala sesuatu.(Fushshilat: 54)

Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman:

Dan Allah melingkupi mereka semua. (al-Burūj:20)

Rasūlullāh SAW bersabda:

Tiada Kusembah diri-Mu sebagaimana layaknya Engkau di sembah, dan Tiada pula aku mengenal-Mu sebagaimana layaknya Engkau dikenal.

Namun, ungkapan ini hendaknya tidak disalahpahami. Ungkapan ini memang menunjukkan bahwa kita tak mungkin mengetahui (secara semestinya) dan rinci tentang Dzāt Allah SWT, akan tetapi ini bukan berarti bahwa kita dapat begitu saja melepaskan diri dari upaya mengenal Allah SWT kendati secara global. Mencukupkan diri dalam mengenal Allah SWT dengan hanya menyebutkan kata-kata yang tidak kita pahami masih termasuk dalam kategori Non aktifkan akal (ta‘tīl-ul-‘aql) dalam persoalan mengenal Allah SWT, yang berarti pula kita tidak (belum) menerima dan meyakini kebenaran hal tersebut. Ini dikarenakan al-Qur’ān dan seluruh Kitāb Samāwī diturunkan untuk mengenal Allah SWT.

Banyak contoh yang dapat kita ajukan terkait dengan persoalan ini. Meskipun kita tidak mampu mengetahui hakikat ruh, namun tidak diragukan bahwa kita memiliki pengetahuan tentangnya, walau secara global. Kita tahu bahwa ruh itu ada, dan kita juga menyaksikan pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh ruh tersebut. Dalam sebuah hadis yang menarik dan sesuai dengan pembahasan kita di sini, Imām Muḥammad bin ‘Alī al-Bāqir a.s. berkata:

“Segala sesuatu yang engkau bedakan melalui khayalanmu dengan pengertian yang detil tak lain adalah hasil ciptaanmu dan itu seperti dirimu serta akan kembali kepadamu (sementara Allah SWT lebih utama dan lebih tinggi dari hal itu).”

Dalam sebuah hadis lain, ketika menjelaskan cara yang teliti dalam mengenal Allah SWT, dengan ungkapan yang sangat indah serta gamblang, Imām ‘Alī a.s. berkata:

“Allah tidak akan dapat dideteksi oleh akal dalam perkara pembatasan sifat-sifatNya, dan (akal) tiada yang dapat menghalangi gelombang pengenalan-Nya.”

Penafian atas Konsep Penonaktifan Akal (Ta‘tīl) dan Penyamaan (Tashbīh)

Kita meyakini, sebagaimana penonaktifan akal dalam pengenalan Allah SWT beserta segala sifat-Nya tidak dapat dibenarkan, penyamaan Allah SWT dengan selain-Nya pun tak dapat dibenarkan dan termasuk dalam kategori syirik. Dalam pengertian, kita tidak dapat mengatakan bahwa jalan menuju pengenalan terhadap Allah SWT telah sama sekali tertutup. Sebagaimana, kita juga tidak dapat menyatakan bahwa Allah SWT memiliki kesamaan dengan makhluk ciptaan-Nya. Kedua pemikiran ini merupakan jalur berfikir yang telah keluar dari garis keseimbangan; serba lebih dan serba kurang (ifrāth wa tafrīth). Yang benar adalah bahwa Allah SWT dapat dikenali melalui pengaruh-pengaruh yang dimiliki-Nya yang dapat kita baca di alam semesta. Cobalah Anda Renungkan!

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *