Hati Senang

1-3 Memperhatikan Zikir & Doa di Dalam Shalat – Belajar Khusyuk

Memperhatikan Zikir Dan Doa di Dalam Shalat

Memperhatikan bacaan setiap zikir dan doa di dalam shalat artinya memahami dan memperhatikan makna di dalamnya dalam bentuk upaya menghadirkan hati (hudhūr al-qalb), memuji Allah dengan lidah, dan hati senantiasa fokus pada setiap makna bacaan yang diucapkan. Dengan kata lain, saat shalat, kita memuji Allah dengan hati dan lidah sekaligus; tidak mengingat bacaan lain meski bacaan tersebut lebih baik. Sebab, tiap-tiap gerakan memiliki bacaannya sendiri.

Begitulah aturan pada setiap bacaan. (141) Selain itu, kita juga mesti berupaya penuh mendengarkan bacaan al-Qur’an dengan sikap penghambaan yang sebenarnya di hadapan Rabb yang Maha Agung, di samping memperhatikan setiap makna bacaan, serta tidak boleh disibukkan oleh makna-makna selain

Lihatlah kebaikan-kebaikan dan keberkahan yang terhimpun di dalam shalat. Diawali dengan menyebut nama Allah s.w.t., kemudian dilanjutkan dengan permohonan hal-hal terpenting dalam kehidupan. Lalu, diakhiri dengan pujian-pujian kepada-Nya dalam taḥiyyāt.

makna bacaannya, meskipun makna bacaan itu dianggap lebih utama. Sebab, dengan demikian, berarti ia telah menolak mendengarkan firman Tuhan. Ini adalah tata cara yang buruk yang bisa memberi kesempatan pada setan untuk menggoda para ahli makrifat.

Setan membuat kita sibuk memikirkan hal-hal lain di luar bacaan al-Qur’an. Seandainya setan tidak berhasil dengan cara begitu lantaran hamba yang sedang digodanya adalah seorang yang taat dan ahli makrifat, maka setan akan mengalihkan perhatian hamba itu dari makna bacaan al-Qur’an kepada bacaan dan zikir lain yang tidak ada kaitannya dengan shalat. (152) Saking pentingnya hal di atas diperhatikan, Yahyā ibn Mu‘ādz al-Rāzi pernah mengatakan: “Sesungguhnya setan mengalihkan kekhusyukanku dalam shalat dengan mengingat surga dan neraka.”

Jika tengah membaca ayat-ayat yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah s.w.t., hendaknya kita tidak memperhatikan hal-hal lain. Ketika membaca ayat-ayat yang berkaitan dengan suatu kisah, hendaknya kita memperhatikan pelajaran dan teladan di dalamnya. Demikian pula ketika membaca ayat-ayat perintah dan larangan, hendaknya kita memperhatikan apa saja yang diperintahkan maupun yang dilarang sembari bertekad untuk menaati dan mempraktikkannya. (163).

Sebagai contoh, saat kita mengucapkan subḥāna rabbiyal ‘azhīmi (Maha Suci Rabbku yang Maha Agung), hendaknya ia memperhatikan kembali makna tasbih, yaitu menyucikan Zat dan sifat-sifat Allah dari segala kekurangan, di samping makna rububiyah dan ‘ubudiyah Allah di dalam kalimat rabbī. Karena, kalimat tersebut memadukan dua makna sekaligus: makna keagungan (rubūbiyah) dan kemahasuican (tasbīh).

Selain itu, kita juga mesti memperhatikan makna al-‘uluw (ketinggian) di dalam kalimat subḥāna rabbiyal a‘lā. Jika tidak, berarti kita telah melalaikan zikir hati sebagai zikir paling utama.

Pada saat mengucapkan iyyaka na‘budu (hanya kepada-Mu kami menyembah), mestinya kita memperhatikan makna ibadah; yaitu ketaatan dan ketundukan.

Pada saat membaca iyyaka nasta‘īn (hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan), hendaknya ia memperhatikan makna isti‘ānah (pertolongan), dan apa yang berkaitan dengan Allah s.w.t. secara khusus sebagai satu-satunya yang boleh dimintai pertolongan. (173).

Jika ia memohon hidayah (dengan membaca ihdinā ash-shirāth al-mustaqīm), hendaknya ia memperhatikan makna hidayah dan menggambarkan makna keindahan makrifat di dalam hatinya.

Ia juga mesti memperhatikan makna ash-shirāth yang berarti tauhid atau “agama Islam” dan mengerjakan kewajiban-kewajibannya. Dan, saat seorang mushalli telah sampai pada bacaan tahiyyat dan shalawat atas Rasulullah s.a.w., hendaknya ia memperhatikan makna dari setiap kata yang dibacanya.

Shalat seperti inilah yang dimaksud oleh Allah s.w.t. dalam firman-Nya:

إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَ الْمُنْكَرِ

“…. mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (al-‘Ankabūt [29]: 45). Memperhatikan makna setiap bacaan shalat akan membuat hati kita merasakan getaran kebesaran Allah s.w.t. dan kepatuhan terhadap-Nya, sehingga kita dapat menghindarkan diri dari perbuatan keji dan mungkar.

Dengan merenungi sifat-sifat Allah saat membaca ayat al-Qur’an: “Qul huwa Allāh aḥad.” (Katakanlah: wahai Muhammad, bahwa Dia adalah Allah Yang Maha Esa) (al-Ikhlāsh [112]: 1), mestinya ia memperhatikan pula makna Maha Esa, Maha Tunggal, baik dalam Zat maupun sifat-sifatNya, Maha Abadi dan Zat-Nya tiada tertandingi. Dia Tunggal dalam af‘āl (perbuatan)-Nya; tiada pencipta selain Dia. Dia Tuhan yang sebenarnya; tiada Tuhan selain Dia. Perintah dan larangan-Nya mesti ditaati, sebab tiada ketetapan yang paling lurus selain ketetapan-Nya. Dia Maha Esa, Maha Agung, Maha Sempurna, Maha Pemberi nikmat dan karunia. Sungguh, tiada yang mampu berbuat sesuatu selain Dia.

Kemudian, dengan memperhatikan makna “ash-Shamad.” Yakni, bahwa Dia adalah Tuhan yang kebaikannya tidak pernah berhenti mengalir. Dari segi sifat Zat-Nya, Dialah tempat bergantung saat kita tengah membutuhkan sesuatu. Dari segi af‘āl-Nya, Dia bersifat nonmateri, tidak berfisik.

Jika diperhatikan lebih jauh, pada ayat-ayat yang telah disebutkan, terdapat makna tauhid, seperti:

Lam yalid” (Dia tidak melahirkan) adalah bentuk pengingkaran akan adanya sesuatu yang

Itulah sebabnya kita diwajibkan bertakbir pada setiap perpindahan gerakan shalat. Sebab, konsentrasi yang penuh terhadap bacaan-bacaan shalat kerap kali membuat kita lalai akan kebesaran Allah s.w.t.

menyerupai-Nya. Seorang anak saja tidak serupa dengan bapaknya.

Wa lam yūlad” (dan Dia tidak dilahirkan) adalah bentuk pengingkaran akan adanya keserupaan terhadap wujud Allah s.w.t.

Wa lam yakun lahu kufuwan aḥad.” (dan tiada sesuatu pun yang menyamai-Nya) adalah bentuk pengingkaran terhadap keserupaan sesuatu dengan-Nya dalam segala hal.

Karena kandungan surah al-Ikhlāsh yang merangkum makna tauhid secara menyeluruh inilah maka nilai surah ini kemudian dianggap sama dengan sepertiga al-Qur’an, (184) sebagaimana ayat Kursi disebut sebagai ayat paling agung. (195) Selain itu, di antara ayat-ayat al-Qur’an lain terdapat beberapa ayat yang dianggap lebih utama dibandingkan dengan yang lain, meski pada dasarnya seluruh surah di dalam al-Qur’an sama mulianya, sebab bersumber dari Allah s.w.t. Tentu, firman Allah s.w.t. yang berisi gambaran tentang Diri-Nya sendiri lebih utama nilainya dibandingkan dengan firman-Nya yang berkenaan dengan gambaran tentang selain-Nya. Sebab, firman jenis yang pertama memiliki dua kemuliaan: pertama, mulia lantaran ia memuat sifat-sifatNya. Dan, kedua, mulia lantaran kandungannya berkaitan dengan Allah s.w.t., sebagaimana perkataan kita tentang Allah s.w.t. tentu lebih utama dibandingkan dengan perkataan kita tentang selain-Nya. (206)

Para ahli makrifat menyatakan bahwa jika segala sesuatu bertitik tolak dari Allah s.w.t. dan bermuara pada hal-hal yang berhubungan dengan-Nya, maka hal itu tentu lebih utama dibandingkan dengan hal lain. Sebab, apa pun yang dimulai dari-Nya dan kembali kepada-Nya, lebih mulia dibandingkan dengan sesuatu yang dimulai dari-Nya tapi tidak kembali kepada-Nya.

Sebagai contoh, ada ungkapan yang mengatakan bahwa maḥabbah (cinta) memiliki dua aspek: pertama, jamāl (keindahan) dan kamal (kesempurnaan). Kedua, in‘ām (anugerah nikmat) dan ifdhāl (karunia). Siapa saja yang mencintai-Nya lantaran keagungan dan kesempurnaan-Nya, maka hal itu jauh lebih utama dibandingkan dengan mereka yang mencintai-Nya lantaran Dia menganugerahi nikmat dan karunia kepada mereka. Sebab, cinta kepada Allah s.w.t. atas dasar keagungan dan kesempurnaan-Nya, berkaitan langsung dengan Zat dan sifat-sifatNya. Sedangkan, cinta yang didasari atas anugerah nikmat dan karunia semata, tak lebih dari kesibukan diri pada selain-Nya.

Orang yang mencintai Allah lantaran keagungan dan kesempurnaan, sesungguhnya telah menyibukkan diri dengan Allah s.w.t. dan keagungan-kesempurnaanNya sekaligus. Sedangkan, orang yang mencintai-Nya lantaran anugerah dan karunia-Nya, sesungguhnya ia telah menyibukkan diri dengan-Nya pada satu sisi, dan dengan anugerah nikmat pada sisi yang lain.

Para ahli makrifat juga menyatakan bahwa perasaan malu dan ta‘zhim kepada Allah jauh lebih utama dan agung dibandingkan dengan perasaan khauf (takut) dan rajā’ (harap). Sebab, perasaan malu dan ta‘zhim kepada-Nya merupakan pujian yang lebih mulia dibandingkan dengan sekadar memperhatikan Zat dan sifat-sifatNya. Sedangkan, rasa khauf (takut) dan rajā’ (harap) hanya bersumber dari Zat dan sifat-sifat Allah s.w.t.; tetapi, itu masih merupakan sebuah kesibukan dengan selain-Nya. Sementara, perasaan malu dan ta‘zhim kepada-Nya merupakan kesibukan hanya dengan dan kepada-Nya. (217)

Adapun makna doa di antara dua sujud adalah sebagai berikut:

Makna kalimat rabbī ighfir lī (wahai Tuhanku, ampunilah aku) (228) diawali dengan pengakuan akan Allah s.w.t., Tuhan sekalian makhluk

Memperhatikan makna setiap bacaan shalat akan membuat hati kita merasakan getaran kebesaran Allah s.w.t. dan kepatuhan terhadap-Nya, sehingga kita dapat menghindarkan diri dari perbuatan keji dan mungkar.

(tauhīd rubūbiyah), kemudian disusul dengan pengakuan akan kehinaan diri sebagai seorang hamba. Ucapan ighfir lī mengandung arti “hapuskan dosaku, hilangkan aibku.” Kata al-ghafr pada mulanya memiliki arti “tirai”. Dari kata inilah muncul kata al-mighfar yang berarti “kain penutup kepala”.

Warḥamnī mengandung arti “perlakukan aku dengan penuh kasih sayang dan berilah aku rahmat.” Salah satu bentuk rahmat-Nya adalah limpahan anugerah dan perlindungan dari berbagai bahaya.

Wajburnī berakar dari kata al-jabr yang berarti “perbaikan”, seperti kalimat: “Aku berbuat baik terhadap orang yang lebih besar dan orang miskin.”

Warfa‘nī berakar dari kata rif‘ah (ketinggian) yang maksudnya adalah tingginya kedudukan dengan makrifat dan ketaatan.

Warzuqnī berakar dari kata rizq yang berarti segala sesuatu yang diberikan atau dihadiahkan kepada manusia, lalu bermanfaat baginya.

Doa ini menghimpun kebaikan di dunia dan akhirat. Saat membacanya kita hendaknya memperhatikan tiap maknanya dan mengarahkan permohonan hanya kepada-Nya.

Tentang bacaan at-taḥiyyāt di dalam tasyahud, para ulama bersilang pendapat. Sebagian mereka mengatakan bahwa kata ini bermakna “kekuasaan hanya milik Allah s.w.t.,” seperti ungkapan syair: “Apa pun yang dimiliki orang lain, aku pun memilikinya, kecuali “al-taḥiyyāt””. (239) Al-Taḥiyyāt di sini diartikan dengan “kekuasaan”.

Sebagian mereka mengatakan bahwa at-taḥiyyāt berarti al-‘azhamah (keagungan). Ini pendapat Ibnu ‘Abbas. Sebab, menurutnya, para raja diagungkan dengan menggunakan kata at-taḥiyyāt.” Jadi, kata ini digunakan untuk menunjukkan keagungan. Sedangkan tambahan alif dan lām di dalam kata ini dimaksudkan untuk memperkaya makna keagungan. Ada juga yang mengatakan bahwa kata at-taḥiyyāt memiliki makna al-baqā’ (keabadian).

al-Mubārakāt diambil dari kata al-barakah yang berarti tumbuh dan bertambahnya kebaikan serta ketetapannya. Semua itu adalah milik Allah s.w.t.

Ash-Shalawāt maksudnya adalah segala bentuk shalawat (doa) yang dianjurkan. Ia juga bisa berarti segala bentuk ta‘zhīm (penghormatan) dan ijlāl (pengagungan) dengan hati, lisan, dan fisik. Semua itu adalah milik Allah s.w.t.

Ath-Thayyibāt berakar dari kata thayyibah (baik), mencakup segala bentuk pujian yang hanya ditujukan kepada Allah s.w.t., seperti di dalam firman-Nya: Dan, kepada-Nyalah kalimat yang baik itu naik (Fāthir [35]: 10). Maksudnya di sini adalah mengesakan dan memuji-Nya.

Bacaan tahiyyat diawali dengan sesuatu yang amat penting, yaitu pujian-pujian kepada Allah, dilanjutkan dengan shalawat atas Rasulullah sebagai pujian terpenting kedua setelah pujian kepada Allah. Setelah itu, doa untuk diri sang mushalli, sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w.: “Mulailah dari dirimu.” (2410) Kemudian, ditutup dengan doa untuk seluruh hamba yang saleh, sebagaimana ucapan Nabi Ibrahim a.s.: “Wahai Rabb kami! Ampunilah aku, kedua orangtuaku, dan seluruh orang beriman pada hari perhitungan.” (Ibrāhīm [14]: 41).

Nabi Ibrahim mulai berdoa untuk dirinya sendiri, baru kemudian untuk kedua orangtuanya, dan ditutup dengan doa untuk kaum beriman. Nabi Nuh a.s. pun demikian, beliau berdoa: “Wahai Rabbku! Ampunilah aku, kedua orangtuaku, siapa saja yang masuk ke rumahku dalam keadaan beriman, dan bagi kaum beriman; baik yang laki-laki maupun perempuan.” (Nūh [71]: 28). Nabi Nuh a.s. memulai dengan doa untuk dirinya sendiri, lalu untuk kedua orangtuanya, orang yang ia kenal, dan seluruh umat beriman.

Kalimat asyhadu an lā ilāha illā Allāh (aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah) merupakan bentuk pengakuan bahwa yang berhak disembah (ma‘būd berakar dari ibadah) hanyalah Allah, bukan selain-Nya. Sementara, makna ibadah itu sendiri adalah ketaatan dan ketundukan dengan menghinakan diri di hadapan Allah s.w.t. Tentu, tak ada yang berhak diperlakukan seperti itu selain Dia yang memiliki segala sifat keindahan dan kesempurnaan. Kalimat itu kemudian dilanjutkan dengan pengakuan atas kebenaran risalah yang dibawa Nabi Muhammad s.a.w. sebagai penegas komitmen keislamannya. Bukankah salah satu rukun Islam itu adalah mengakui risalah beliau?

Kalimat allāhumma shalli ‘alā Muḥammad wa ‘alā āli Muḥammad (Ya Allah, limpahkan shalawat atas Nabi Muhammad dan keluarganya). Kata shalli berakar dari ash-shalāh yang berarti doa. Jika ash-shalāh itu dilakukan oleh Allah s.w.t., maka maksudnya adalah rahmat-Nya. Kalimat ini menjadi petunjuk akan hak-hak Rasulullah s.a.w., tidak buat orang lain.

Kalau toh orang lain mendapatkan doa ini, itu pun setelah Rasulullah s.a.w., seperti di dalam bacaan allāhumma shalli ‘alā Muḥammad wa ‘alā āli Muḥammad (Ya Allah, limpahkan shalawat atas Nabi Muhammad dan keluarganya). Kata “dan” di atas merupakan hak kita. Sedangkan hak beliau adalah mendoakan siapa saja yang dikehendakinya, seperti kalimat: “Ya Allah, limpahkan shalawat (doa) atas ayah dan ibuku.” Doa seperti itu adalah hak beliau. Rasulullah s.a.w. juga berhak memberikan doanya kepada setiap umatnya; siapa pun dia, sementara kita tidak berhak mencampuri hak beliau. (2511).

Shalat adalah penyejuk hati orang yang mencintai Allah, nikmat bagi siapa pun yang mengesakan-Nya, taman indah bagi para ahli ibadah, kesenangan jiwa bagi kalangan yang khusyuk, kemuliaan bagi orang yang meyakini kebenaran janji-Nya, penanda kemurnian kalangan yang menempuh jalan-Nya, dan rahmat Allah bagi hamba-hambaNya yang beriman.

Selanjutnya, kalimat kamā shallaita ‘alā Ibrāhīm, atau boleh juga kamā shallaita ‘alā Ibrāhīm wa ‘alā āli Ibrāhīm innaka ḥamīd majīd (2612) (sebagaimana Engkau limpahkan shalawat atas Ibrahim dan keluarganya, Engkau Maha terpuji lagi Maha Mulia). Ada banyak pertanyaan seputar kalimat ini, di antaranya, apakah kalimat ini menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim a.s. lebih mulia dibandingkan dengan Nabi Muhammas s.a.w.?

Kami akan menjawab pertanyaan ini dari dua aspek, yaitu:

Pertama, sesungguhnya Allah s.w.t. menyerupakan shalawat atas keluarga Nabi Muhammad dengan shalawat atas Nabi Ibrahim a.s.

Kedua, dan ini yang lebih mendekati kebenaran, yaitu bahwa Allah s.w.t. menyerupakan shalawat atas Muhammad dan keluarganya dengan shalawat atas Ibrahim a.s. dan keluarganya. Artinya, rahmat dan rida Allah yang diberikan kepada Muhammad dan keluarganya hampir sama banyaknya dengan yang diterima oleh Ibrahim dan keluarganya. Sebab, anak keturunan Ibrahim rata-rata adalah para nabi, termasuk nabi kita, Muhammad s.a.w. Dari keseluruhan shalawat itu masih dibagikan kepada Nabi Muhammad dan keluarganya.

Memang, shalawat yang diterima keluarga Muhammad tidak sebanyak yang diterima keluarga Ibrahim. Sebab, keluarga Ibrahim sebagian besar adalah para nabi; sementara keluarga Muhammad tak seorang pun yang menjadi nabi. Meski demikian, rahmat Allah kepada Muhammad dan keluarganya tetap melimpah ruah. Ini menunjukkan bahwa Muhammad s.a.w. sendiri lebih utama dibandingkan dengan Ibrahim a.s. (2713)

Kemudian innaka ḥamīd majīd. Kata hamīd di sini berarti yang terpuji. Sebab, kata yang di-fā‘il-kan lebih tegas dibandingkan dengan kata yang di-maf‘ūl-kan. Artinya, Allah s.w.t. adalah Zat Yang paling berhak atas segala bentuk pujian. Sebab, kata majīd atau al-majd mengandung arti asy-syarf (kemuliaan), dan kata majīd adalah sīghah mubālaghah (superlatif) dari kata mājid (mulia). Singkatnya, kalimat ini berarti: “Engkaulah Yang paling berhak atas segala bentuk pujian, sebab Engkau memiliki segala sifat mulia.”

 

Sementara itu, doa qunut sesungguhnya merupakan himpunan doa kebaikan di dunia dan di akhirat. Sebab, bacaannya berisi permohonan kebaikan sekaligus perlindungan dari berbagai bahaya, baik di dunia maupun di akhirat.

Allāhumm-ahdinī fī man hadait adalah permohonan kebaikan saat ini, yaitu kebaikan dalam hal agama. Kalimat ini lebih didahulukan lantaran keutamaan agama di sisi Tuhan.

Wa ‘āfinī fī man ‘afait adalah permohonan kesehatan fisik setelah diberi kesempurnaan beragama.

Wa tawallanī fī man tawallait merupakan bentuk ketaatan. Sebab, Allah s.w.t. cukup memperhatikan hamba yang diangkatnya; baik dengan melimpahkan rahmat atau menolak bahaya darinya.

Wa bārik lī fī mā a‘thait adalah permohonan agar diberi tambahan manfaat dalam beragama.

Shalat juga akan meluaskan rezekinya dan menjadikannya hamba yang dicintai hamba-hamba lainnya. Tidak hanya itu, malaikat pun akan mencintainya, begitu pula seluruh isi bumi, gunung-gunung, pepohonan, dan sungai-sungai.

Wa qinī syarra mā qadhait berisi permohonan perlindungan dari segala bahaya, di dunia dan di akhirat.

Setelah itu, dilanjutkan dengan puji-pujian kepada Allah s.w.t. Dia Yang Menguasai dan tidak dikuasai oleh apa dan siapa pun. Dia Yang Maha Memaksa dan tidak ada yang dapat memaksa-Nya. Dia Yang Menetapkan aturan, bukan Dia yang menaati peraturan.

Fa innaka taqdhī wa lā yuqdhā alaik, innaka lā yadzillu man walait, tabārakta wa ta‘ālait. (2814) Tidak akan hina orang yang menjadikan Allah s.w.t. sebagai pelindungan. Seluruh ciptaan dan segala urusan adalah milik-Nya. Maha Agung Allah, Tuhan semesta alam.

Catatan:

  1. 14. Dalam Qawā’id-ul-Aḥkāmi, 1/240, Pasal Tanwī‘-ul-‘Ibādat-il-Badaniyyah, ‘Izz-ud-Dīn menyatakan: “…dan, tidaklah layak bagi seorang mushalli ketika tengah shalat untuk menyibukkan diri dengan berbagai arti dari ayat al-Qur’an dengan memperhatikan arti lain (yang tidak berhubungan dengan shalat), meskipun arti lain itu lebih utama. Makruh hukumnya membaca ayat al-Qur’an saat rukū‘, sujud, dan membaca tasbih saat duduk di antara dua sujud, iftirāsy, dan tawarru‘, yang menjadi waktu utnuk berdoa. Kalaupun ingin berdoa, perhatikanlah tata aturan dengan penuh ketundukan dan dengan suara lirih, sebagaimana firman Allah s.w.t.: “Berdoalah kepada Rabbmu dengan penuh ketundukan dan dengan suara lirih.” (al-A‘rāf [7]: 55). Menghadapkan hati, sebagaimana disebutkan di atas, hanya kepada Allah s.w.t. adalah menghadapkan “organ” terbaik manusia. Nilai menghadapkan anggota tubuh tidak sama nilainya dengan menghadapkan hati. Sebab, menghadapkan hati amat penting demi mencapai segala kebaikan dalam ibadah dan menjadi kunci ketaatan. Dengan itu, jasmani akan menjadi baik, badan menjadi “lurus”. Dan, siapa pun yang shalat dengan mengikuti aturan ini, berarti shalatnya telah sempurna dan dapat menghindarkan pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar, sebagaimana firman Allah s.w.t.: “…sesungguhnya shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (al-‘Ankabūt [29]: 45). Penggunaan alif dan lam dalam kata ash-shalāh mengindikasikan kesempurnaan. Siapa yang mengerjakan hal-hal tersebut, ia akan mudah mendapatkan janji (Allah s.w.t.), yaitu dijauhkan dari perbuatan keji dan mungkar.
  2. 15. Oleh sebab itu, di dalam Qawā’id-ul-Aḥkāmi, 1/38, ‘Izz-ud-Dīn berpendapat, menjadi hal penting bagi seseorang untuk mengakhirkan shalat dari awal waktu demi menghindari gangguan.
  3. 16. Di dalam Fawā’idu fī Musykīl-il-Qur’ān, hal. 223, tentang maksud ayat: “….dan adapun dia yang tunduk di tengah malam dengan sujud dan berdiri (shalat), dengan selalu merasa awas terhadap akhirat dan mengharap rahmat Rabbnya…” (az-Zumar [39]: 9), Imam ‘Izz-ud-Dīn mengatakan bahwa maksudnya adalah qunūt (tunduk) di dalam shalat. Kalimat “merasa awas terhadap akhirat” adalah ḥāl (keterangan) untuk kata qā’im (berdiri) dan sājid (sujud). Sebab, saat shalat, manusia harus menyibukkan diri hanya dengan hal-hal yang berhubungan dengan shalat. Jika dia membaca ayat yang berbicara tentang siksaan, ia harus merasa “awas” terhadap akhirat. Jika ia membaca ayat yang berbicara tentang nikmat, ia harus mengharap rahmat Allah s.w.t. Jika ia membaca ayat tentang ta‘zhim kepada Allah s.w.t., maka ia harus mengagungkan-Nya, dan mendekatkan dengan makna-makna khauf dan rajā’. Hal seperti ini harus dilakukan dalam setiap rukun shalat. ‘Izz-ud-Dīn juga mengatakan: “Jika hal itu dibiasakan, maka sujudnya pasti hanya akan diisi dengan permohonan dan ketundukan, dan ruku‘ diisi dengan pengagungan. Khauf dan rajā’ pun akan muncul ketika membaca ayat-ayat tentang rahmat dan ancaman. Allah s.w.t. dipuji dengan sifat-sifatNya yang indah. Maka, sungguh tak layak seorang mushalli untuk “memperhatikan urusan akhiratnya” kecuali saat berdiri, sebagaimana firman-Nya: “… jauh lambung mereka dari tempat tidur (untuk) berdoa kepada Rabb mereka dengan penuh rasa khauf dan raja’.” (as-Sajdah [32]: 16). Maksud tatajāfā (jauh) adalah saat shalat malam. Dan, doa hanyalah satu bagian di dalam shalat. Sebab, tidaklah mungkin sepanjang shalat isinya hanya doa. Doa hanya dilakukan saat sujud.”
  4. 18. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhārī, Muslim, Abū Dāwūd, at-Tirmidzī, an-Nasā’ī, Ibn Mājah, ad-Dārimī, Ahmad, al-Bazzār, ath-Thabrānī, dan Abū ‘Ubaid dalam Fadhā’il al-Qur’ān, dan al-Baihaqi dalam as-Sunan. Di dalam Zād-ul-Ma‘ād, 1/137, bab hadyatun fis-sunani war-rawatib, Ibn al-Qayyūm menyatakan bahwa hadis ini mutawatir; as-Suyūthī dalam al-Azhār-ul-Mutanātsirah; az-Zubaidī dalam Luqat-ul-La’āliy-al-Mutanātsirah, hal. 173; al-Munawi dalam Faidh-ul-Qadīr, 4/520; dan al-Kattānī dalam Nuzhum-ul-Mutanātsir, hal. 112. al-Kattānī mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan dengan jalur sanad dari 20 orang sahabat. Al-Munāwī menyatakan bahwa ucapan “Qul huwallāhu aḥad” sama dengan sepertiga al-Qur’an. Sebab, kandungan maknanya merangkum tiga pengetahuan: ilmu tauhid, syariat, dan akhlak. Dan, surah al-Ikhlash memuat bagian termulia dari ketiga ilmu ini, yaitu ilmu tauhid, yang menjadi dasar keduanya. Ibn Taymiyyah juga menulis risalah tentang topik ini dengan judul Jawābu ahl-il-‘ilmi wal-īmān, bi taḥqīqi mā akhbara bihi Rasūl-ur-Raḥmān, min anna Qul huwallāhu aḥad ta‘dilu tsuluts-al-Qur’ān (jawaban ahli ilmu dan iman untuk mengukuhkan apa yang diucapkan Rasul, bahwa nilai surah al-Ikhlāsh menyamai sepertiga al-Qur’an).
  5. 19. Hadis tentang ini diriwayatkan oleh Ahmad di dalam al-Musnad, 5/142, dari Ubayy, jilid 5/178 dari Abū Dzarr, jilid 5/265 dari Abū Umāmah al-Bāhilī; oleh at-Tirmidzī, jilid 8/99, bab Mā jā’a fī sūrah Ᾱli ‘Imrān; ath-Thabrānī dalam Majma‘-uz-Zawā’id, 6/233, dari Abū Mas‘ūd secara mauqūf, dengan sanad yang sahih; oleh ad-Darimi (3380) dengan judul Fadhā’il-ul-Qur’ān bab Fadhā’ilu awwali sūrat-il-Baqarati wa āyat-ul-Kursi, dari ‘Aifa’-ul-Kala’i, dari seseorang (tidak diketahui namanya).
  6. 20. Penulis juga menyatakan hal serupa di penghujung kitab Fawā’idu fi Musykil-il-Qur’ān, hal. 264. Lihat pada bagian ke-73 dengan judul Afdhal-ul-Qur’ān wa Fadhā’iluhu dalam kitab al-Itqān karya as-Suyūthī, 4/117.
  7. 21. Penulis juga menguraikan hal serupa dalam Qawā’id-ul-Aḥkām, 1/32: “Karena sikap ta‘zhīm dan ijlāl terhadap Allah s.w.t. muncul dari perhatian terhadap Zat dan sifat-sifatNya, maka sikap seperti ini memiliki dua kemuliaan: Pertama, didapat dari sumbernya. Kedua, didapat dari hal yang berkaitan dengannya. Sedangkan khauf muncul dari perhatian terhadap hukuman Allah s.w.t. (atas dosa), sebagaimana rajā’ muncul dari perhatian terhagap pahala Allah s.w.t. (atas kebaikan). Berdasarkan kedua sumbernya, maka khauf dan rajā’ berada dua tingkat lebih rendah dibandingkan dengan sikap ta‘zhīm dan ijlāl.”

    Di dalam al-Fawā’idu fī Mukhtashar-il-Qawā’id, (10/alif), beliau juga mengatakan: “…sikap maḥabbah (pengakuan cinta terhadap Allah s.w.t.) dan ijlāl lebih utama dibandingkan dengan khauf dan rajā’. Jika kau ingin mengetahui keutamaan para wali, maka lihatlah pengaruh makrifat dan keadaan batin yang tampak dari dalam diri mereka. Siapa saja di antara mereka yang memiliki sifat utama, seperti ta‘zhīm dan ijlāl, mereka itulah orang yang terbaik. Dan, siapa di antara mereka yang memiliki sifat-sifat di bawah sifat utama tadi, semisal khauf dan rajā’, maka mereka itulah orang yang lebih rendah derajatnya.”

  8. 22. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbās r.a. dalam sebuah hadis yang menceritakan keadaannya pada saat menginap di rumah bibinya. Maimūnah r.a., dan tentang shalat Rasulullah s.a.w. pada suatu malam. Hadis itu menuturkan: “….jika mengangkat kepalanya dari sujud, Rasulullah s.a.w. mengucapkan: “Rabb-ighfir lī, warḥamnī, wajburnī, warfa‘nī, warzuqnī, wahdinī.” Di dalam riwayat Abū Dāwūd dan al-Ḥākim ditambahkan kalimat wa ‘āfinī. Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Abū Dāwūd (850) di dalam kitab Shalāh bab Mā yaqūlu baina sajdatain; Ibn Mājah (898) dengan judul Iqāmat-ush-Shalāt bab Mā yaqūlu bain sajdatain; al-Baihaqī di dalam as-Sunan, 2/122; dan al-Ḥākim di dalam al-Mustadrak, 1/262 dan 271. Hadis tersebut dinyatakan sahih oleh al-Ḥākim, kemudian ditegaskan oleh adz-Dzahabī. Namun, an-Nawāwī, di dalam al-Adzkār-nya (168) menyatakan bahwa hadis ini berstatus hasan.
  9. 23. Dari Lisān-ul-‘Arab, syair ini ditulis oleh Zuhair ibn Janab al-Kalbī, sebagaimana terdapat di dalam al-Lisān pada entry kata hayya. Menurut penulis, pendapat bahwa syair ini digunakan untuk memohon kepada raja, adalah pendapat yang lemah. Sebab Ibn ‘Arabi menyatakan bahwa Zuhair sendiri adalah seorang raja. Ada pun maksud kata al-baqā’ adalah at-taḥiyyah. Hal ini mengindikasikan bahwa syair ini diucapkan sang penyair menjelang ajalnya.
  10. 24. Dikutip dari sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim (997) dengan judul Zakāt bab al-ibtidā’u fin-nafaqati bin-nafs tsumma ahlah tsumm-al-qarābah, dari Jabir r.a.
  11. 25. Di dalam Syajarat-ul-Ma‘ārifi wal-Aḥwālu wa Shālih-ul-Af‘āl wal-A‘māl, hal. 146, penulisnya mengatakan: “Shalawat (doa) kita atas Rasulullah s.a.w. tentu tidak bisa menolong manusia istimewa seperti beliau. Namun, Allah s.w.t. telah memerintahkan kita untuk membalas sebisanya terdapat orang-orang yang berbuat baik kepada kita. Jika tidak sanggup membalas kebaikan dengan yang setara, maka kita boleh berdoa untuknya sebagai balasan atas apa yang kita dapatkan darinya. Pada saat kita tidak sanggup mengimbangi apa yang dilakukan oleh Muhammad s.a.w., sang manusia terbaik, Allah s.w.t. tetap memerintahkan kita untuk mendoakan beliau, agar dengan doa kita (yang sederhana itu) kita dapat “membalas” kebaikan beliau kepada kita, meskipun kita tahu bahwa kebaikan Rasulullah s.a.w. kepada kita tidak akan pernah sanggup ditandingi dengan apa pun.”
  12. 26. Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukharī (3370) dengan judul Ahādīts-ul-Anbiyā’, bab 10, dari Ka‘b ibn Ajzah r.a.
  13. 27. Kesimpulan ‘Izz-ud-Dīn ini juga dikutip oleh as-Sakhawī dalam pasal kesembilan karyanya, al-Qaul-ul-Badī‘i fī Shalāti ‘alasy-Syāfi‘, hal. 131. Al-Qarranī juga mengutip jawaban ‘Izz-ud-Dīn mengenai masalah ini di dalam karyanya, al-Farūq. 1/86 dan 2/48.
  14. 28. Bacaan doa qunut ini diriwayatkan oleh Ahmad di dalam al-Musnad, 1/199; Abū Dāwūd (1425 dan 1426) dengan judul Shalāh bab al-Qunūtu fil-Witr; at-Tirmidzī (464) dengan judul Shalāh bab Mā jā’a fil-Qunūti fil-witr; an-Nasā’i, 3/248. dengan judul Qiyām-ul-Laili bab ad-Du‘ā’u fil-Witr; Ibn Mājah (1178) dengan judul Iqāmah ash-Shalāh bab Mā jā’a fil-Qunūti fil-witr; al-Ḥākim dalam al-Mustadrak, 3/172; dan al-Baihaqī dalam as-Sunan, 2/209 dan 497, dengan sanad yang sahih dari Hasan ibn ‘Alī r.a.
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.