1-3 Hukum ‘Aqli – Terjemah Syarh Umm al-Barahin

MENUJU KEBENINGAN TAUHID BERSAMA AS-SANUSI
Terjemah Syarḥ Umm-ul-Barāhin
Penulis: Al-Imam Muhammad bin Yusuf as-Sanusi

Penerjemah: Ahmad Muntaha AM.
Penerbit: Santri Salaf Press-Kediri

Rangkaian Pos: Hukum 'Aqli - Syarh Umm al-Barahin | Al-Imam Muhammad bin Yusuf as-Sanusi

Hukum ‘Aqlī

(Bagian 3 dari 3)

 

وَ قَوْلُهُ “وَ الْجَائِزُ مَا يَصِحُّ فِي الْعَقْلِ وُجُوْدُهُ وَ عَدَمُهُ” يَعْنِيْ أَيْضًا إِمَّا ضَرُوْرَةٌ وَ إِمَّا بَعْدَ سَبْقِ النَّظَرِ.

Ungkapan Kitab Asal: “Jā’iz adalah hukum yang wujud dan tidaknya sah (tertashawwurkan) di dalam akal”, maksudnya adakalanya yang bersifat dharūrī maupun nazharī.

فَمِثَـالُ الْأَوَّلِ اتِّصَافُ الْجِرْمِ بِخُصُوْصِ الْحَرَكَةِ مَثَلًا، فَإِنَّ الْعَقْلَ يُدْرِكُ ابْتِدَاءً صِحَّةَ وُجُوْدِهَا لِلْجِرْمِ وَ صِحَّةِ عَدَمِهَا لَهُ.

Contoh yang pertama adalah benda fisik bersifat bergerak saja umpamanya, sebab sungguh akal dari awal memahami keabsahan wujud dan tidak wujudnya gerakan baginya.

وَ مِثَالُ الثَّانِيْ تَعْذِيْبُ الْمُطِيْعِ الَّذِيْ لَمْ يَعْصِ اللهَ قَطُّ طَرْفَةَ عَيْنٍ، فَإِنَّ الْعَقْلَ إِنَّمَا يَحْكُمُ بِجَوَازِ هذَا التَّعْذِيْبِ فِيْ حَقِّهِ عَقْلًا بَعْدَ أَنْ يَنْظُرَ فِيْ بُرْهَانِ الْوَحْدَانِيَّةِ لَهُ تَعَالَى وَ يُعْرَفُ أَنَّ الْأَفْعَالَ كُلَّهَا مَخْلُوْقَةٌ لِمَوْلَانَا جَلَّ وَ عَزَّ لَا أَثَرٌ لِكُلِّ مَا سِوَاهُ تَعَالَى فِيْ أَثَرِ مَا الْبَتَةَ.

Contoh yang kedua adalah penyiksaan (di akhirat) bagi orang yang taat yang sama sekali tidak pernah bermaksiat kepada Allah sekejap pun, sebab akal hanya menghukumi bolehnya penyiksaan itu baginya secara akal setelah melakukan pemikiran tentang dalil waḥdāniyyah Allah ta‘ālā, dan akal mengerti bahwa semua perbuatan merupakan ciptaan-Nya, sama sekali tidak ada pengaruh (menciptakan) apapun bagi selain Allah ta‘ālā terhadap sesuatu yang tercipta.

فَيَلْزَمُ مِنْ ذلِكَ اسْتِوَاءُ الْإِيْمَانِ وَ الْكُفْرِ وَ الطَّاعَةِ وَ الْمَعْصِيَةِ عَقْلًا، وَ أَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْ هذِهِ يَصْلُحُ أَنْ يُجْعَلَ أَمَارَةً عَلَى مَا جُعِلَ الْآخِرُ أَمَارَةً عَلَيْهِ، وَ الظُّلْمُ عَلَى مَوْلَانَا جَلَّ وَ عَزَّ مَسْتِحِيْلٌ كَيْفَمَا فَعَلَ أَوْ حَكَمَ، إِذِ الظُّلْمُ هُوَ التَّصَرُّفُ عَلَى خِلَافِ الْأَمْرِ، وَ مَوْلَانَا جَلَّ وَ عَزَّ هُوَ الْآمِرُ النَّاهِيْ الْمَبِيْحُ، فَلَا أَمْرَ وَ لَا نَهْيَ يَتَوجَّهُ إِلَيْهِ مِمَّنْ سِوَاهُ، إِذْ كُلُّ مَا سِوَاهُ مِلْكٌ لَهُ جَلَّ وَ عَلَا، لَا يُبْدِئُ شَيْئًا وَ لَا يُعِيْدُهُ، وَ لَا أَثَرَ لَهُ فِيْ شَيْءٍ الْبَتَةَ، وَ لَا شَرِيْكَ لَهُ تَعَالَى فِيْ مُلْكِهِ، وَ لَا يُسْئَلُ عَمَّا يَفْعَلُ.

Dan hal itu terpastikan kesamaan antara iman dan kekufuran, ketaatan dan maksiat, menurut akal; dan terpastikan bahwa masing-masing dari keempat hal ini pantas dijadikan sebagai tanda sesuatu (siksaan atau pahala) yang selainnya dijadikan sebagai tandanya. Kezaliman bagi Allah – jalla wa ‘azza – adalah mustaḥīl, bagaimanapun Allah bertindak dan menghukumi, sebab zalim adalah tasharruf (tindakan) yang tidak bertentangan dengan perintah, sementara Allah – jalla wa ‘azza – adalah Zat Yang Maha Memerintah, Maha Mencegah, dan Maha Membolehkan. Karena itu, tidak ada perintah dan larangan dari selain Allah yang diarahkan kepada-Nya, sebab semua hal selain Allah adalah milik-Nya, yang sama sekali tidak dapat menciptakan sesuatu tanpa permulaan, tidak dapat mengembalikan sesuatu setelah ketiadaannya, dan tidak mempunyai pengaruh (menciptakan) apapun kepada sesuatu. Tidak ada sekutu bagi Allah dalam mengatur makhluk-Nya, dan Dia tidak diminta pertanggungjawaban atas perbuatan-Nya.

فَصَحَّ إِذَنْ أَنْ يُدْرِكَ الْعَقْلُ لِكُلٍّ مِنَ الْمُؤْمِنِ وَ الْكَافِرُ وَ الْمُطِيْعِ وَ الْعَاصِيْ صِحَّةُ وُجُوْدِ الثَّوَابِ وَ الْعِقَابِ أَوْ عَدَمِهِمَا، وَ اخْتِصَاصُ كُلِّ وَاحِدٍ بِمَا اخْتَصَّ اخْتِيَارِ مَوْلَانَا جَلَّ وَ عَزَّ، لَا بِسَبَبٍ عَقْلِيٍّ اقْتَضَى ذلِكَ، لَكِنْ إِدْرَاكُ الْعَقْلِ لِجَوَازِ هذَا الْمَعْنَى مَوْقُوْفٌ عَلَى تَحْقِيْقِ النَّظَرِ الَّذِيْ قَدَمْنَاهُ.

Bila demikian, maka benar akal memahami keabsahan wujudnya pahala dan siksaan, atau ketiadaan keduanya bagi setiap mu’min dan kafir, orang yang taat dan yang maksiat. Kekhususan masing-masing dengan pahala atau siksaan yang dikhususkan baginya, hanyalah merupakan murni pilihan dari Allah – jalla wa ‘azza – , bukan karena sebab ‘aqlī yang menuntutnya, namun pemahaman akal atas bolehnya hal ini tergantung pada penalaran yang benar atas dalil waḥdāniyyah Allah yang telah aku sebutkan tadi.

فَبَانَ لَكَ بِهذَا أَنَّ الْجَائِزَ يَنْقَسِمُ أَيْضًا إِلَى ضَرُوْرِيٍّ وَ نَظَرِيٍّ كَمَا انْقَسَمَ الْقِسْمَانِ اللَّذَانِ قَبْلَهُ، وَ اتَّضَحَ بِهذَا أَنَّ الْأَقْسَامَ الثَّلَاثَةَ قَدْ تَفَرَّعَتْ إِلَى سِتَّةِ أَقْسَامٍ مِنْ ضَرْبِ ثَلَاثَةٍ فِي اثْنَيْنِ، إِذْ كُلُّ قِسْمٍ مِنْهَا فِيْهِ قِسْمَانِ.

Dengan penjelasan ini maka menjadi jelas bagi anda, sungguh hukum jā’iz juga terbagi pada jā’iz dharūrī dan jā’iz nazharī, sebagaimana pembagian hukum wājib dan mustaḥīl sebelumnya. Dengan ini pula menjadi jelas, sungguh ketiga bagian hukum ini bercabang menjadi enam bagian, dari hasil mengkalikan tiga pada dua, sebab dalam masing-masing ketiga hukum itu ada dua bagian.

وَ إِنَّمَا قَيَّدْنَا الصِّحَّةَ بِالْعَقْلِ فِيْ حَقِّ الْجَائِزِ فَقُلْنَا فِيْهِ “مَا يَصِحُّ فِي الْعَقْلِ” لِيَدْخُلَ فِيْهِ نَحْوُ جَوَازِ الْعَذَابِ فِيْ حَقِّ الْمُطِيْعِ، فَإِنَّ الْعَقْلَ هُوَ الْحَاكِمُ بِصِحَّةِ وُجُوْدِ الْعَذَابِ وَ عَدَمِهِ فِيْ حَقِّهِ بِمَعْنَى أَنَّهُ لَوْ وَقَعَ كُلٌّ مِنْهُمَا لَمْ يَلْزَمْ مِنْ وُقُوْعِهِ نَقْصٌ فِيْ حَقِّهِ تَعَالَى وَ لَا مُحَالٌ الْبَتَةَ.

Aku batasi kata sah dengan kata menurut akal dalam definisi hukum jā’iz, sehingga aku katakan: “Yang sah (tertashawwurkan) di dalam akal”, agar mencakup semisal bolehnya siksa bagi orang yang taat, sebab hanya akal yang menghakimi keabsahan wujud dan tidak wujudnya siksa baginya. Artinya, andaikan masing-masing dari kedua hal itu terjadi maka tidak menetapkan kekurangan bagi Allah ta‘ālā dan tidak mustaḥīl sama sekali.

أَمَّا الشَّرْعُ فَقَدْ بَيَّنَ أَنَّ اللهَ تَعَالَى قَدِ اخْتَارَ بِمَحْضِ فَضْلِهِ لِلْمُؤْمِنِ الْمُطِيْعِ أَحَدَ الْأَمْرَيْنِ الْجَائِزَيْنِ فِيْ حَقِّهِ تَعَالَى، وَ هُوَ الثَّوَابُ وَ النَّعِيْمُ الْمُقِيْمُ كَمَا اخْتَارَ تَعَالَى بِعَدْلِهِ لِلْكَافِرِ الْجَائِزُ الْآخَرُ، وَ هُوَ النَّارُ وَ الْعَذَابُ الْأَلِيْمُ.

Adapun syariat maka telah menjelaskan, bahwa dengan murni anugerah-Nya, Allah ta‘ālā telah memilihkan salah satu dari dua hal yang jā’iz bagi-Nya – yaitu pahala dan kenikmatan abadi – untuk orang mu’min yang taat kepada-Nya, sebagaimana Allah ta‘ālā dengan keadilan-Nya telah memilihkan hal jā’iz lain – yaitu neraka dan siksa yang pedih – untuk orang kafir.

وَ اعْلَمْ أَنَّ الْحَرَكَةَ وَ السُّكُوْنَ لِلْجِرْمِ يَصِحُّ أَنْ يُمَثَّلَ بِهِمَا لِأَقْسَامِ الْحُكْمِ الْعَقْلِيِّ الثَّلَاثَةِ، فَالْوَاجِبُ الْعَقْلِيُّ ثُبُوْتُ أَحَدِهِمَا لَا بِعَيْنِهِ لِلْجِرْمِ، وَ الْمُسْتَحِيْلُ نَفْيُهُمَا مَعًا عَنِ الْجِرْمِ، وَ الْجَائِزُ ثُبُوْتُ أَحَدِهِمَا بِالْخُصُوْصِ لِلْجِرْمِ.

Ketahuilah, sungguh gerakan dan diam untuk benda fisik itu sah ditamsilkan pada ketiga bagian hukum akal. Wājib ‘aqlī, yaitu tetapnya salah satu dari keduanya bukan karena zatnya untuk benda fisik; mustaḥīl ‘aqlī, yaitu penafian keduanya secara bersamaan dari benda fisik; dan jā’iz ‘aqlī, yaitu tetapnya salah satunya bagi benda fisik.

وَ اَعْلَمْ أَنَّ مَعْرِفَةَ هذِهِ الْأَقْسَامِ الثَّلَاثَةِ وَ تَكْرِيْرُهَا تَأْنِيْسٌ لِلْقَلْبِ بِأَمْثِلَتِهَا حَتَّى لَا يَحْتَاجُ الْفِكْرُ فِي اسْتِحْضَارِ مَعَانِيْهَا إِلَى كُلْفَةٍ أَصْلًا مِمَّا هُوَ ضَرُوْرِيٌّ عَلَى كُلِّ عَاقِلٍ يُرِيْدُ أَنْ يَفُوْزَ بِمَعْرِفَةِ اللهِ تَعَالَى وَ رُسُلِهِ عَلَيْهِمُ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ، بَلْ قَدْ قَالَ إِمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَ جَمَاعَةٌ: “إِنَّ مَعْرِفَةَ هذِهِ الثَّلَاثَةِ هِيَ نَفْسُ الْعَقْلِ، فَمَنْ لَمْ يَعْرِفْ مَعَانِيْهَا فَلَيْسَ بِعَاقِلٍ”، وَ اللهُ الْمُوَفِّقُ.

Ketahuilah, sungguh mengetahui ketiga bagian hukum ‘aqlī ini – dan mengulang-ulang berbagai contohnya merupakan penentram hati, sehingga untuk menghadirkan maknanya pikiran sama sekali tidak membutuhkan usaha yang berat – termasuk kebutuhan primer bagi setiap orang berakal yang menghendaki kesuksesan mengenal Allah ta‘ālā dan para rasul-Nya. Bahkan Imām al-Ḥaramain dan segolongan ulama mengatakan:

Sungguh mengetahui ketiga hukum ‘aqlī ini merupakan akal sejati. Sebab itu, orang yang tidak mengetahui maknanya, maka bukanlah orang berakal.”

Wallāhu muwaffiq.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *